jfid – Penghapusan jurusan di jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama kontroversi ini adalah komunikasi yang tidak terkoordinasi antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dengan para pemangku kepentingan pendidikan lainnya.
Akibatnya, penerapan kebijakan tersebut di lapangan menjadi bermasalah.
“Menurut Dede Yusuf, komunikasi yang kurang efektif antara Kemendikbud-Ristek dengan stakeholder pendidikan lainnya menjadi penyebab utama kontroversi ini,” dilaporkan oleh Kompas (19 Juli 2024).
Ia menambahkan bahwa kurangnya koordinasi ini telah menimbulkan kebingungan di kalangan guru, siswa, dan orang tua.
Selain itu, pengamat pendidikan Indra Charismiadji menyoroti bahwa infrastruktur sekolah dan kesiapan guru masih jauh dari memadai untuk mendukung model pendidikan tanpa jurusan tersebut.
“Infrastruktur sekolah dan kemampuan guru belum siap menghadapi model pendidikan baru ini,” ujarnya dalam wawancara dengan CNN Indonesia (20 Juli 2024).
Menurut Indra, perubahan besar dalam sistem pendidikan memerlukan persiapan matang yang melibatkan berbagai aspek, termasuk pelatihan guru dan peningkatan fasilitas sekolah.
Kebijakan penghapusan jurusan ini awalnya diperkenalkan sebagai upaya untuk memberikan kebebasan lebih besar kepada siswa dalam menentukan mata pelajaran yang ingin mereka pelajari, dengan harapan dapat meningkatkan minat dan bakat individu.
Namun, implementasinya di lapangan ternyata menimbulkan berbagai kendala. Salah satu guru SMA di Jakarta, yang enggan disebutkan namanya, mengeluhkan bahwa belum ada panduan yang jelas mengenai bagaimana mengelola kelas dengan siswa yang mengambil mata pelajaran berbeda-beda.
“Kami di sekolah merasa bingung dengan kebijakan ini karena belum ada panduan jelas dari pemerintah,” ujarnya kepada Tempo (20 Juli 2024). Guru tersebut juga menambahkan bahwa sebagian besar sekolah masih kekurangan sumber daya untuk mendukung perubahan ini.
Menyikapi hal ini, Kemendikbud-Ristek berjanji akan segera melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap kebijakan tersebut. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim, menyatakan bahwa pihaknya akan lebih aktif berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan kebijakan ini dapat diterapkan dengan lebih baik.
“Kami akan memperbaiki koordinasi dan komunikasi agar kebijakan ini dapat diterima dan dijalankan dengan baik di lapangan,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta (21 Juli 2024).
Namun, banyak pihak merasa bahwa perbaikan komunikasi saja tidak cukup. Dede Yusuf menekankan pentingnya peningkatan infrastruktur dan pelatihan guru sebagai prioritas utama. “Tanpa infrastruktur yang memadai dan guru yang terlatih, kebijakan sebaik apa pun tidak akan berhasil,” tegasnya.
Di sisi lain, beberapa pihak mendukung kebijakan ini dengan alasan bahwa sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman. “Anak-anak perlu memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi minat mereka sejak dini,” kata seorang ahli pendidikan dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Bambang Sudibyo. Ia percaya bahwa dengan persiapan yang tepat, kebijakan ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi mendatang.
Polemik mengenai penghapusan jurusan ini menunjukkan bahwa perubahan dalam sistem pendidikan memerlukan perencanaan dan implementasi yang matang, serta dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.
Dengan evaluasi dan penyesuaian yang tepat, diharapkan kebijakan ini dapat memberikan dampak positif bagi pendidikan di Indonesia.