jfid – Pada masa ketika perubahan konstitusi masih merupakan hal yang mustahil, Profesor Sri Soemantri telah menulis buku klasik ini, “Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi” (1979), yang diangkat dari disertasi yang disusunnya. Kita tahu, pada masa itu memang mustahil membayangkan bisa terjadi perubahan konstitusi. Pada 1983 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, maka MPR terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum. Tap MPR tersebut dikuatkan oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983. Kemungkinan bagi terjadinya perubahan konstitusi telah dikunci.
Hanya, kerja intelektual memang selalu berusaha melampaui ufuk kemungkinan. Apa yang kemudian kita sebut sebagai “Reformasi” ternyata bisa bergulir pada 1998, kurang lebih dua puluh tahun sejak Sri Soemantri pertama kali mengutarakan gagasannya. MPR hasil Pemilu 1999 berhasil merealisasikan gagasan perubahan itu melalui empat kali amandemen UUD 1945 dalam rentang antara 1999 hingga 2002. Makanya tidak mengherankan jika dalam proses perubahan UUD 1945 itu, Sri Soemantri menjadi salah satu Tim Ahli Bidang Hukum dan Politik, bersama dengan, misalnya, Ismail Suny, Hasjim Djalal, Dahlan Thaib, dan lain-lain.
Ketika dibentuk Komisi Konstitusi, yang bertugas untuk menyempurnakan empat kali perubahan UUD itu, Sri Soemantri terpilih menjadi ketuanya.
Di atas kertas, apa yang telah dilakoni Sri Soemantri tadi sepertinya menjadi gambaran kerja intelektual yang sempurna. Pada masa ketika perubahan konstitusi masih dianggap muskil, ia sudah memikirkannya. Ketika pada akhirnya pintu perubahan itu terbuka lebar, ia berkesempatan terlibat di dalamnya. Apa lagi yang bisa lebih sempurna dari itu?!
Sayangnya, tak demikian halnya bagi Sri Soemantri sendiri. Tak lama sesudah amandemen empat kali diselesaikan, ia termasuk orang pertama yang memberikan penilaian bahwa sejumlah perubahan atas UUD 1945 itu telah melenceng dari relnya. Dan ia tak sendiri. Di masa akhir hidupnya, Profesor Dahlan Thaib, yang juga terlibat sebagai Tim Ahli Bidang Hukum dan Politik, sangat getol menggalang dukungan agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli.
Meski tidak sedrastis usulan Dahlan Thaib, Sri Soemantri, misalnya, berpandangan bahwa posisi dan kedudukan MPR harus dikembalikan lagi seperti semula, dan GBHN harus dihidupkan lagi.
Bagaimana kita memahami pemikiran orang-orang yang terlibat dalam proses perubahan UUD 1945, seperti Sri Soemantri dan Dahlan Thaib tadi, namun kemudian berpandangan bahwa proses perubahan konstitusi yang sudah terjadi telah melenceng dari relnya?! Rel manakah yang mereka maksudkan?!
Salah satu poin kritik Sri Soemantri atas keseluruhan perubahan UUD 1945 adalah bahwa seluruh perubahan itu telah membuat konstitusi kita kehilangan identitas nasionalnya. Dan sebuah bangsa yang kehilangan identitas nasionalnya akan kehilangan orientasi dan tujuan dalam kehidupan bernegara.
Apa yang dimaksud sebagai “identitas nasional” olehnya, dalam kerangka tata negara, tidaklah abstrak. Setiap konstitusi selalu berpijak di atas tradisi tertentu. Jadi, terikat kepada sejarah sosial masyarakatnya. Banyak orang seringkali lupa, bahwa apa yang disebut sebagai “gagasan-gagasan modern” yang Eropasentris itu, sesungguhnya juga berakar pada tradisi, yaitu tradisi Yunani Antik.
Jika direkonstruksikan, UUD 1945 berpijak di atas tiga pilar, yaitu pertama adalah hukum adat, yang mewakili tradisi banyak suku bangsa di Indonesia; kedua adalah hukum Islam, yang banyak mewarnai kebudayaan-kebudayaan besar, seperti Jawa, Aceh, Minangkabau, dan Bugis; dan ketiga tentu saja adalah hukum Barat. Tiga pilar itulah yang telah mengkonstruksi UUD 1945. Perdebatan yang terjadi terutama antara Soepomo, Soekarno, Hatta dan Yamin dalam proses penyusunan konstitusi kita tujuh puluh tahun silam, pada dasarnya terkait dengan tiga simpul tadi.
Nah, seluruh proses amandemen UUD 1945 telah merusak konstruksi tradisional tadi, sehingga membuat konstitusi kita menjadi hanya sepenuhnya berpijak pada gagasan Barat, menanggalkan akar-akar gagasan tradisionalnya. Akar-akar tradisi demokrasi lokal, misalnya, telah dibuang dari konstitusi kita. Meskipun kemudian akar-akar gagasan tradisional itu diadopsikan ke level pemerintahan yang lebih kecil sesudah Reformasi, semisal melalui kebijakan otonomi daerah, dan kini “otonomi desa”, namun penghilangan gagasan “hukum adat” dari konstitusi kita telah membuat kita berhadapan dengan situasi politik nasional yang serba gamang, sebagaimana yang dihadapi hari ini.
Tidak adanya lembaga tertinggi negara, yang dulu merupakan posisi MPR, ternyata tak membuat lembaga tinggi negara bisa saling mengontrol, melainkan justru saling menyandera dan bertransaksi. Dan ketika politik transaksional dan saling sandera itu terjadi, kita berhadapan dengan kebuntuan yang tak terselesaikan.
Ironisnya, ketika gagasan hukum adat dikeluarkan dari konstruksi konstitusi kita, posisi hukum agama malah dibuat semakin menguat melalui penegasan posisi peradilan agama di dalam UUD 1945. Maraknya Perda-perda syariah yang sering memancing polemik, sebagaimana yang sempat diramaikan beberapa tahun silam, selain merupakan turunan dari soal otonomi daerah, juga bisa dibaca sebagai imbas dari perubahan konstruksi konstitusi kita tadi.
Kembali ke soal tradisi dalam konstitusi, dirusaknya konstruksi tradisional konstitusi kita itu tadilah yang telah merisaukan ahli-ahli hukum seperti Sri Soemantri dan Dahlan Thaib. Tak ada “nasion” tanpa sebuah “identitas nasional”. Setiap konstitusi bukan hanya harus memuat prinsip, norma, aturan ,dan institusi yang memang harus dimiliki oleh oleh lazimnya sebuah negara modern, melainkan juga harus mengandung identitas nasional yang membedakannya dengan konstitusi negara lain.
Identitas nasional itulah yang membuat negara modern Inggris tidak menghapus monarkinya. Dan identitas nasional itu pula yang telah membangun negara modern Malaysia, yang terdiri dari sejumlah monarki. Meski sudah menjadi negara modern, Cina pada dasarnya tetap sebuah kekaisaran, meskipun “kekaisaran” itu kini diinstitusikan dalam bentuk Partai Komunis Cina.
Sementara kita, sejak zaman Polemik Kebudayaan, sepertinya memang selalu jatuh memaknai “modernitas” sebagai hanya “proses pencarian keluar”. Kita selalu gagal berkomunikasi dengan tradisi kita sendiri. Persis di situ orang-orang seperti Sri Soemantri, atau Dahlan Thaib, menjadi penyaksi penting, bahwa modernitas semestinya (juga) adalah sebuah “proses pencarian ke dalam”, atau yang disebut Soedjatmoko sebagai “pencarian unsur-unsur dinamis kebudayaan kita sendiri”.
Kritik terhadap UUD 1945 hasil amandemen bukanlah kritik yang hendak membalik jarum sejarah, melainkan kritik bahwa perubahan konstitusi yang sudah kita lakukan telah merusak kompas sejarah. Itu sebabnya hari ini kita bingung membaca masa depan.