Komunisme; Kapitalis Bermerek Merah

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read
nisiazm
nisiazm
- Advertisement -

Jurnal Faktual – Tak ada satu pun ideologi yang benar-benar “kudet”, hanya karena kita tutup mata dan tutup telinga. Coba tanya pada Prof Anhar Gonggong, guru besar sejarah Indonesia, dia akan memberitahumu bahwa semua bergantung pada seberapa besar kita membuka pintu dan jendela untuk ideologi tersebut. Sederhananya, itu seperti mendapatkan peluang naik panggung. Gimana mau main drama kalau panggungnya ditutup terus?

Komunisme juga sama. Ideologinya tak akan kabur ke mars. Kadang ia memilih untuk sementara menghilang dari layar kaca, tapi jika ada kesempatan, dia akan muncul lagi di layar bioskop terdekat. Sebaliknya, kalau tak ada tempat di jantung masyarakat, komunisme akan menikmati tidur siangnya. Jadi, drama ideologi itu tayang atau tidak, tergantung bagaimana sutradara dan pemainnya bekerja sama.

Ambil Rusia sebagai contoh. Negara ini seperti bekas kekasih yang putus dari pasangannya, Uni Soviet, yang dikenal sebagai pendiri kafe “Komunisme”. Sekarang, setelah hubungan mereka berakhir, komunisme dijauhkan. Putin, sang manajer, menggantikan komunisme dengan agama, membiarkan gereja dan masjid tumbuh seperti jamur di musim hujan. Sementara itu, konsep dan aktivitas yang sangat anti-Tuhan, seperti LGBT, dijauhkan lebih jauh lagi dari UU. Kenapa? Karena, seperti ikan yang tak bisa hidup di darat, agama dan keyakinan manapun pasti menolak perkawinan sejenis.

Komunisme itu seperti benalu. Menempel pada pohon kuat, tapi di akhir cerita, ia justru membawa pohon tersebut mati. Uni Soviet dulu adalah pohon yang kuat, tapi akhirnya juga tumbang. Komunisme juga merajalela di zaman Orde Lama, tapi akhirnya kalah dalam pertarungan brutal dengan Orde Baru. Lihat, tanah Pancasila kita ini tidak suka benalu semacam komunisme, terutama yang mencoba mengerdilkan sila pertama: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Ad image

Ketika Orde Baru tumbang dan Pak Harto mengundurkan diri, muncul suasana meriah reformasi di semua sektor, seperti festival musik yang dihadiri semua orang. Satu hal yang ingin semua orang lakukan: membersihkan segala jejak Orde Baru, seperti menghapus bekas tato yang tak lagi disukai. Liberalisme, seperti tsunami, menghancurkan semua struktur negara yang dibangun oleh Orde Baru. Menghancurkan pintu dan pilar yang dulu mengekang komunisme.

Di sinilah komunisme mendapat momentum. Setelah lama terbaring kaku, tanpa bisa bergerak oleh Orde Baru, kini ia bangkit, berdiri, dan bergerak lagi. Pasca-Orde Baru, komunisme menjelajahi arus liberalisme seperti peselancar di ombak besar.

Mari kita bicarakan liberalisme sekarang. Tentu saja, seperti HAM dan demokrasi, liberalisme adalah pilar yang menopang kapitalisme. Ideologi ini diperjuangkan sebagai musuh bebuyutan dari komunisme. Tapi, apa benar demikian? Ternyata tidak. Komunisme dan kapitalisme adalah dua sisi dari koin yang sama. Seperti sate dan bumbu kacang, berbeda tapi tidak bisa dipisahkan.

Modus operandi keduanya sama, misalnya mencari bahan baku dengan harga termurah dan/atau menjangkau pasar terluas. Bedanya hanya dalam pelaksanaannya. Kapitalisme didominasi oleh segelintir elit swasta, sementara komunisme dikendalikan oleh segelintir elit negara. Bahkan ada anekdot yang menyebut komunisme sebagai “kapitalis bermerek merah”. Jadi, kapitalis memiliki monopoli atas modal, sementara komunis memiliki monopoli atas rakyat. Sama saja. Hanya beda pola.

Ketika China menerapkan prinsip “satu negara, dua sistem”, hasilnya sangat mengejutkan. Mereka mengendalikan rakyat, memiliki modal, dan bermain dalam dua dunia: menggunakan taktik komunisme di dalam dan menggunakan strategi kapitalisme ke luar, mencari bahan baku termurah dan pasar terluas. Begitulah.

- Advertisement -
Share This Article