jfid – Pada 21 Oktober 1941, Serbia menjadi saksi bisu dari satu dari sejumlah tragedi tergelap dalam sejarahnya.
Kota Kragujevac, yang saat itu diduduki oleh tentara Jerman Nazi, menjadi tempat terjadinya pembantaian massal yang memakan ribuan nyawa warga sipil Serbia.
Tragedi ini bukan hanya mencoreng sejarah Perang Dunia II di Yugoslavia, tetapi juga meninggalkan luka mendalam dalam ingatan masyarakat Serbia yang masih dirasakan hingga saat ini.
Peristiwa mengerikan ini bermula dari serangan pemberontak di distrik Gornji Milanovac, yang menewaskan 10 tentara Jerman dan melukai 26 lainnya.
Sebagai balasan, Perwira Jerman Walter Kuntze memerintahkan eksekusi 100 orang Serbia untuk setiap nyawa tentara Jerman yang hilang, dan 50 orang Serbia untuk setiap tentara Jerman yang terluka.
Dalam rentang waktu singkat, antara 2.778 hingga 2.794 laki-laki Serbia, termasuk siswa SMA yang sedang belajar, kehilangan nyawa mereka dalam pembantaian ini.
Kekejaman ini tidak hanya mengguncang seluruh wilayah Serbia, tetapi juga menciptakan gelombang ketegangan politik di dalam negeri.
Pembantaian Kragujevac memperburuk perselisihan antara dua gerakan gerilya utama pada masa itu: Partisan yang dipimpin oleh komunis, dan Chetnik yang beraliran nasionalis dan royalis.
Pembantaian ini mempengaruhi strategi perang dan mengubah pandangan pemimpin Chetnik Draža Mihailović.
Mihailović merasa bahwa serangan terhadap Jerman akan mengakibatkan lebih banyak lagi kematian warga sipil Serbia, yang sebelumnya sudah mencapai angka yang sangat menghancurkan.
Namun, meskipun Jerman awalnya menerapkan kebijakan eksekusi massal, mereka dengan cepat menyadari ketidakefektifan dan kontraproduktivitas tindakan tersebut.
Pada bulan Februari 1943, rasio eksekusi 100:1 dan 50:1 dikurangi setengahnya. Bahkan, pada tahun yang sama, kebijakan ini sepenuhnya dihapuskan.
Tindakan kejam tersebut tidak hanya menciptakan trauma mendalam dalam sejarah Serbia, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi dunia tentang kebrutalan perang dan perlunya mencari jalan damai dalam konflik.