jfid – Korupsi adalah salah satu masalah besar yang menghambat pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia. Banyak pejabat negara yang terjerat kasus korupsi, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan, beberapa di antaranya adalah keturunan dari pejabat yang pernah terlibat korupsi sebelumnya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah keturunan koruptor bisa menjadi pejabat bersih dan tidak mengulangi kesalahan orang tuanya? Atau sebaliknya, apakah mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan korupsi karena faktor genetik atau lingkungan?
Menurut pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia, Dr. Hamdi Muluk, tidak ada hubungan langsung antara keturunan koruptor dengan perilaku korupsi. Ia mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku korupsi adalah kompleks dan bervariasi, seperti sistem hukum, budaya, moral, motivasi, kesempatan, dan lain-lain.
“Keturunan koruptor bukan berarti pasti korupsi. Tapi juga bukan berarti pasti tidak korupsi. Semua tergantung pada pilihan individu dan kondisi sosial yang memungkinkan atau mencegah perilaku korupsi,” ujar Hamdi kepada Kompas.com.
Hamdi menambahkan bahwa keturunan koruptor sebenarnya memiliki peluang untuk menjadi pejabat bersih jika mereka belajar dari pengalaman orang tuanya dan tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Namun, mereka juga harus mampu menahan godaan dan tekanan dari lingkungan politik yang seringkali tidak sehat.
“Keturunan koruptor harus punya komitmen kuat untuk tidak terlibat korupsi dan bersikap transparan dan akuntabel dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik. Mereka juga harus punya integritas dan etika yang tinggi serta mendapat dukungan dari masyarakat dan media massa,” tutur Hamdi.
Sementara itu, menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya ada 15 eks narapidana kasus korupsi yang akan bertanding dalam pemilihan legislatif (pileg) tahun 2024 di tingkat nasional. Sebanyak 9 di antaranya maju sebagai bacaleg DPR RI, sedangkan 6 lainnya terdaftar sebagai calon anggota DPD RI.
Salah satu nama yang mencuri perhatian adalah Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi dalam dana nonbudgeter di Departemen Kelautan dan Perikanan senilai Rp 31,7 miliar. Ia kemudian divonis 4,5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung setelah mengajukan peninjauan kembali.
Rokhmin Dahuri kini maju sebagai bacaleg DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di daerah pemilihan Jawa Barat VIII. Ia mengaku sudah mendapat restu dari Megawati untuk kembali ke dunia politik. Ia juga mengklaim sudah mendapat pengampunan dari Presiden Joko Widodo melalui surat grasi pada tahun 2019.
“Alhamdulillah saya sudah mendapat grasi dari Pak Jokowi. Saya juga sudah minta maaf kepada masyarakat atas kesalahan saya. Saya ingin memberikan kontribusi positif bagi bangsa dan negara melalui jalur legislatif,” kata Rokhmin saat dihubungi Kompas.com.
Rokhmin mengatakan bahwa ia memiliki visi untuk memajukan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam yang melimpah. Ia juga berjanji akan bersih dari praktik korupsi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
“Saya yakin saya bisa menjadi pejabat bersih dan profesional. Saya sudah belajar dari pengalaman saya di masa lalu. Saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Saya akan bekerja keras untuk mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai poros maritim dunia,” ucap Rokhmin.
Namun, langkah Rokhmin menuai kritik dari sejumlah pihak, termasuk ICW. Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, eks narapidana korupsi seharusnya tidak diperbolehkan menjadi caleg karena akan merusak citra demokrasi dan menurunkan kualitas legislasi.
“Kami menilai ini sebagai bentuk impunitas bagi para koruptor. Mereka seolah-olah tidak merasa bersalah dan malah ingin kembali ke panggung politik. Ini akan mengancam upaya pemberantasan korupsi dan merugikan kepentingan publik,” kata Kurnia kepada Kompas.com.
Kurnia menyarankan agar masyarakat tidak memilih eks narapidana korupsi sebagai wakil rakyat. Ia juga mendesak agar partai politik lebih selektif dalam menentukan calon legislatifnya dan tidak mengusung orang-orang yang bermasalah dengan hukum.
“Kami mengimbau agar masyarakat cerdas dalam menggunakan hak pilihnya. Jangan sampai kita memilih orang-orang yang tidak berkualitas dan tidak berintegritas. Kami juga meminta agar partai politik lebih bertanggung jawab dalam merekrut calegnya dan tidak mengorbankan moralitas demi kepentingan pragmatis,” tegas Kurnia.