jfID – Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga menuai kritikan. Rancangan regulasi tersebut, dinilai menghilangkan peran agama yang luhur dan spiritual dalam aspek kehidupan masyarakat. Selain itu, dalam rumusan RUU tersebut, terdapat konsep mendasar yang salah terkait dengan peran negara dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara, dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa (3/3). Menurut Anggara, ada beberapa catatan dari rumusan dan Naskah Akademik RUU Ketahanan Keluarga yang perlu diperhatikan. Pertama, RUU Ketahanan Keluarga itu mengerdilkan peran agama dalam membimbing pembentukan fungsi keluarga yang dinamis.
“RUU ini menguraikan banyak hal terkait dengan kewajiban peran-peran tertentu yang belum tentu selalu dalam setiap keluarga,” katanya.
Ia contohkan, dalam Pasal 15 ayat (1) RUU Ketahanan Keluarga, dijelaskan kewajiban keluarga salah satunya berperan serta dalam penyelenggaraan ketahanan keluarga di lingkungannya untuk mewujudkan keluarga Indonesia yang tangguh dan berkualitas. Lalu dalam Pasal 16 ayat (1) dimuat kewajiban anggota keluarga yang terdiri dari kewajiban menaati perintah agama dan menjauhi larangan agama, menghormati hak anggota keluarga lainnya, melaksanakan pendidikan karakter dan akhlak mulia, serta mengasihi, menghargai, melindungi, menghormati anggota keluarga.
“Dalam Pasal 24 ayat (2) RUU ini juga menguraikan kewajiban suami istri untuk saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain. Pasal 25 mewajibkan suami istri untuk melaksanakan norma agama,” katanya.
Menurutnya, kewajiban-kewajiban yang diuraikan tersebut tidak bisa dijangkau oleh kewenangan negara. Karena negara tidak bisa melihat atau menguraikan konsekuensi atas pelanggaran kewajiban-kewajiban tersebut. Selain kewajiban yang diuraikan dalam RUU itu adalah ruang spiritualitas seseorang. Misalnya, kewajiban untuk saling mencintai pada suami istri. Kewajiban tersebut adalah kewajiban luhur yang diatur dalam norma agama, konsekuensi pelanggaran atas kewajiban tersebut adalah kepercayaan seseorang pada agamanya dengan konsep dosa atau pahala.
“Dengan mengaturnya pada level UU, maka kita merendahkan kewajiban luhur tersebut, menyatakan pelanggaran atas kewajiban tersebut sebagai pelanggaran hukum, yang memberikan kewenangan negara untuk melakukan intervensi, ” cetusnya.
Dengan demikian, kata dia, negara sama saja mengambil kewenangan agama dalam mengatur. Bahkan bukan tidak mungkin kedepannya banyak hal terkait dengan ruang spriritualitas dan kepercayaan seseorang bisa diatur sewenang-sewang dengan kewenangan negara. Anggara juga menyita materi tentang hak dan kewajiban anak yang diatur dalam Pasal 101 ayat (2) RUU Ketahanan Keluarga. Pasal 101 ayat (2) mewajibkan anak untuk menghormati orang tua, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, melaksanakan etika dan akhlak mulia, mengikuti pendidikan dan pengajaran sesuai dengan minat dan bakatnya dengan bimbingan orang tua, mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa, dan negara.
” Lewat pasal ini, maka akan ada stigma dari negara terhadap anak yang tidak memenuhi kewajibannya misalnya untuk mengukuti pendidikan dan pengajaran,” katanya.
Padahal, kata dia, fungsi negara adalah menyediakan akses terhadap pendidikan kepada seluruh anak di Indonesia secara merata. Bukan untuk menyatakan bahwa anak yang tidak mengikuti pendidikan dan pengajaran sebagai pelanggar hukum. Catatan, kedua terkait dengan rumusan dalam RUU Ketahanan Keluarga yang bertentangan dengan semangat pengarusutamaan gender yang menjadi tujuan Pemerintah Indonesia.
“Dalam Pasal 2 huruf k RUU ini dimuat bahwa ketahanan keluarga berasaskan non diskriminasi. Namun hal ini tidak tergambar dalam rumusan hak dan kewajiban suami istri dalam relasi perkawinan. Dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 25 ayat (3) diuraikan kewajiban suami istri secara berbeda, dengan pengaturan bahwa hanya suami yang dapat disebut sebagai kepala kelurga dan berkewajiban dalam aspek ketahanan kelurayg yang lebih menyeluruh,” urainya.
Termasuk, kata dia, kewenangan untuk menyelenggarakan resolusi konflik dalam keluarga. Sedangkan istri diatur dengan kewajiban hanya dalam ranah domestik, yaitu wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga serta memperlakukan suami dan anak secara baik. Memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang- undangan.
” Yang kami pertanyakan, pengakuan peran perempuan yang juga bisa sebagai kepala keluarga dengan fungsi ganda sebagai dalam keluarga dan juga berperan besar di publik dan juga di keluarga,” ujarnya.
Pengaturan menurut Anggara, dalam tataran UU merupakan kemunduran besar terutama jika dikaitkan dengan upaya pemerintah untuk melakukan pengarusutamaan gender. Sejak tahun 2000 lewat Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, Pemerintah menginstruksikan seluruh jajaran pemerintah untuk menyusun kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender. Tak hanya itu dalam RPJMN 2020-2024 pun telah dimuat ditetapkan 6 pengarustamaan sebagai bentuk pendekatan inovatif yang akan menjadi katalis pembangunan nasional yang berkeadilan dan adaptif dengan indikator kemajuan pada Indeks Pembangunan Gender dan Indeks Pemberdayaan Gender.
“Dengan adanya RUU ini, maka Pemerintah Indonesia harusnya marah, karena upaya-upaya pengarusutamaan gender justru dikerdilkan dengan pengaturan kewajiban istri hanya dalam ranah domestik. Pemerintah Indonesia akan gagal menjamin perempuan dan laki-laki memiliki akses terhadap pembangunan yang sama,”ujarnya.