jfid – Eddy Hiariej, Wakil Menteri Hukum dan HAM yang dikenal sebagai guru besar hukum pidana di Universitas Gadjah Mada (UGM), kini harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp7 miliar dari seorang pengusaha.
Kasus ini berawal dari laporan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso pada Maret 2023. Sugeng melaporkan Eddy diduga menerima uang Rp7 miliar dari Helmut Hermawan, pemilik PT CLM, sebuah perusahaan tambang nikel yang sedang bersengketa dengan Zainal Abidinsyah terkait kepemilikan saham.
Menurut Sugeng, Helmut meminta konsultasi hukum kepada Eddy, yang saat itu masih menjadi dosen UGM, terkait sengketa tersebut. Eddy kemudian mengarahkan Helmut ke asisten pribadinya, Yogi Ari Rukman (YAR), yang juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Sugeng mengklaim memiliki bukti berupa rekaman percakapan antara Helmut dan YAR, serta dokumen transfer uang Rp7 miliar dari rekening Helmut ke rekening YAR. Sugeng juga menyebut ada keterlibatan seorang pengacara bernama Denny Indrayana, yang juga merupakan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM.
Eddy membantah semua tuduhan tersebut. Ia mengatakan bahwa laporan IPW cenderung mengarah ke fitnah. Ia juga mengklarifikasi bahwa ia tidak pernah menerima uang dari Helmut, melainkan hanya memberikan saran hukum secara profesional.
Namun, KPK tidak percaya dengan penjelasan Eddy. Setelah melakukan penyelidikan, KPK menaikkan status perkara ini ke penyidikan pada Mei 2023. KPK juga menggeledah rumah dan kantor Eddy, serta menyita sejumlah barang bukti.
Pada November 2023, KPK akhirnya menetapkan Eddy sebagai tersangka. KPK juga menetapkan Helmut sebagai tersangka pemberi suap dan gratifikasi, serta YAR dan Denny sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi.
KPK menjerat Eddy dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang penerimaan hadiah atau janji oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara terkait dengan jabatannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ancaman hukumannya adalah pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Eddy, yang dilantik sebagai Wamenkumham pada Desember 2020, kini harus menghadapi proses hukum yang panjang dan berat. Ia juga harus menanggung malu dan kecewa atas kasus yang menimpanya.
Eddy, yang dikenal sebagai ahli hukum pidana dan pernah mengkritik UU Cipta Kerja, kini harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan tidak terlibat dalam praktik korupsi. Apakah ia akan mampu meyakinkan hakim dan publik, atau justru akan terjerat dalam jerat hukum yang ia pelajari selama ini?