Karna

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
7 Min Read
- Advertisement -

jfid – Banyak dalang, setahu saya, sangat menyukai Karna—atau setidaknya memandangnya berbeda. Tentang ketragisan nasib, saya kira memang anak Bathara Surya itulah yang tak ada tandingannya. Tapi saya tak akan mengupas Karna dan kisah hidupnya di sini, suatu hal yang telah banyak orang menyinggungnya dalam segala bentuk ekspresi kesenian.

Dalam khazanah budaya Jawa, tembung kawi kuping adalah karna. Dan memang, konon, Karna sang tokoh pewayangan itu, lahir dari kuping dan bukannya vagina laiknya manusia biasa. Barangkali, nilai simbolis kuping, di antara berbagai piranti indera manusia, memang berkaitan dengan kisah Karna dalam pewayangan dan Rahwana pula yang mewakili kuping dalam lakon Sastrajendra.

Sejak lama kuping telah menjadi sesuatu yang istimewa. Tercatat, Nietzsche pernah menyatakan bahwa di era Yunani purba bentuk seni yang dapat mewakili kehidupan yang pada dasarnya chaos, dimana lewat logos manusia menjadikannya cosmos, lebih bersifat auditif yang tentu saja berkaitan dengan kuping yang berbeda dengan seni-seni visual yang berhubungan dengan mata. Pada yang pertama, Nietzsche menarik garis genealoginya dari Dionysius, sang dewa kemabukan. Pada yang kedua, filosof yang melajang sampai akhir hayatnya itu menisbahkannya pada Apollo, sang dewa keindahan. Dan tentu saja, sesudah The Birth of Tragedy, anak seorang pendeta itu lebih memilih Dionisios yang seturut orientasi filsafatnya pada the will to power.

Ada satu film tentang Nietzsche, When Nietzsche Wept, yang saya teringat benar dengan salah satu gumaman sang filosof menjelang kegilaannya: “Wagner you’ve made music sick!.” Sebermulanya Nietzsche cukup mengagumi Richard Wagner, seorang komponis ternama Jerman, yang barangkali karenanya pula filosof godam ini juga pernah membuat beberapa komposisi musik klasik. Pada Nietzsche orang seperti memahami bahwa selera ternyata bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia dapat berubah secara radikal seturut dengan pemikiran.

Ad image

Sejak muda Nietzsche memang menyukai pesimisme Arthur Schopenhauer, seorang filosof yang bagi saya “setengah Buddhis.” Sebab, Schopenhauer cukup mengambil kesimpulan Sang Buddha bahwa hidup itu samsara, tapi ia tak pernah menelisik lebih jauh tentang nirvana dan 8 jalan pembebasan. Jadi, Schopenhauer hanya menjumput 1 dari 4 kebenaran mulia dalam Buddhisme. Hal ini, dengan menjadi “setengah Buddhis,” rupanya juga berlaku pada Kurt Cobain yang menyatakan bahwa orang tak dapat membeli kebahagiaan yang ujungnya, entah berkaitan atau tidak, seorang yang pernah disebut-sebut sebagai juru bicara generasi X itu memilih mengakhiri hidupnya dengan meledakkan kepalanya sendiri.

Nietzsche pun pernah pula memandang hidup secara muram, yang entah ada kaitannya atau tidak, sebagaimana Kierkegaard dan Schopenheur sendiri, memilih melajang dan menghindari komitmen dengan perempuan. Tapi Nietzsche bukanlah seorang epigone, ia mampu meracik pemikirannya sendiri. Setelah penemuannya atas teori “keberulangan abadi dari yang sama” dan “kehendak berkuasa” sebagai konsekuensinya, ia lantas menyimpulkan bahwa Schopenheur dan Wagner hanyalah para pembabar dekadensi kebudayaan yang karenanya, saya kira, memberi ruang bagi munculnya ideologi ultra-nasionalisme Hitler dan Nazinya di kemudian hari—yang oleh beberapa pengulas Nietzsche, yang kemudian dibantah oleh para postrukturalis, juga dinisbahkan pada konsep Ubermensch atau supermannya Nietzsche.

Hitler dan rezim Nazinya memang terkenal dengan proyeknya untuk menciptakan manusia-manusia super penuh semangat yang bergelegak dan diharapkan dapat meremajakan bangsa Jerman yang tengah “lembek” hingga mampu menjadi ras arya yang unggul yang menguasai jagat. Fasisme kemudian kumandang sebagai gerakan ideologis sang Fuhrer yang berupaya mati-matian untuk menyeragamkan orang dan menjadikannya mesin—atau yang kini setara dengan semangat yang berapi-api akan AI dan revolusi industri 4.0.

Ideologi ultra-nasionalisme memang anti apapun yang ditengarai “lembek.” Baginya, manusia mestilah setangguh dan sejenius mesin. Tak ada ruang bagi apapun yang menunjukkan sisi kemanusiaannya manusia: nurani, welas asih, orang-orang sepuh dan kasepuhannya, adab, dst. Ambisius dan ekspansif hanyalah beberapa sifat yang menonjol dari para ultra-nasionalis yang penuh gelegak. Sejarah mencatat, atas ambisiusitas dan ekspansivitas itulah Hitler dan Nazinya ngenas menjadi “sang masturbasif” Eropa dan akhirnya bubar dikeroyok orang dalam perang dunia II. Sementara, sang Fuhrer memilih untuk menggapai ambisinya di akhirat: bunuh diri. Patut dicatat, Hitler dan Nazinya kala itu lahir dari apa yang kini dikenal sebagai populisme yang sebenarnya sangat percaya pada irasionalisme semacam “Ratu Adil” dan “Sang Pemimpin.”

Kuping, ternyata, memang ada kaitannya dengan semua hal di atas. Kuping sungguh tak peduli pada orang yang sedang sakit, sedang sekarat, sedang beribadah, sedang bekerja, dst. Dengan kata lain, daripada mata, kuping memang kurang beradab dalam melihat dan menimbang segala sesuatu atau dijadikan sumber dalam mengidentifikasi persoalan. Bayangkan, bagaimana seandainya para wartawan hanya berbekal kuping semata?

Terlebih, sikap “masturbasif” ternyata juga ada kaitannya dengan kuping. Dalam ungkapan Jawa, tak ada yang namanya “ngabangke mata,” tapi “ngabangke kuping.” Kuping pun rupanya terkait erat dengan empedu yang dapat menyesakkan dada. Karena itulah, dalam lakon wayang Sastrajendra, Rahwana, yang mewakili jiwa amarah, terlahir pula dari kuping. Dan al-Qur’an ternyata memberi penilaian yang rendah atas jiwa amarah yang berwatak “masturbasif” ini: “ammarah bi al-suu’”(Radikalisme, Konsep dan Transformasi Diri dalam Tasawuf, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev).

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

- Advertisement -
Share This Article