Kampanye di Lembaga Pendidikan: Solusi atau Masalah?

ZAJ By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
4 Min Read
- Advertisement -

Aturan kampanye di lembaga pendidikan yang baru saja ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan berbagai reaksi dari peserta pemilu, baik partai politik maupun calon legislatif (caleg).

Beberapa menyambut baik aturan tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan edukasi politik, namun ada juga yang menolak karena khawatir akan mengganggu proses belajar mengajar dan menimbulkan konflik di kalangan civitas akademika.

Salah satu partai politik yang mendukung aturan kampanye di lembaga pendidikan adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengatakan bahwa kampanye di lembaga pendidikan merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi dan pengetahuan politik kepada generasi muda.

Ad image

Ia juga menegaskan bahwa PKS akan menghormati aturan KPU yang melarang penggunaan atribut kampanye dan mengharuskan mendapat izin dari penanggung jawab lembaga pendidikan.

“Kami sangat mendukung kampanye di lembaga pendidikan, karena itu bagian dari edukasi politik. Kami juga akan mengikuti aturan KPU, tidak membawa atribut kampanye dan mendapat izin dari pihak lembaga pendidikan. Kami akan mengedepankan dialog dan debat yang santun dan beradab,” kata Mardani.

Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menilai bahwa aturan kampanye di lembaga pendidikan tidak perlu dilakukan karena sudah ada media sosial yang lebih efektif dan efisien untuk menyampaikan visi misi dan program kerja.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa PDIP lebih memilih untuk fokus pada kampanye terbuka yang melibatkan masyarakat luas daripada kampanye tertutup yang hanya menyasar segmen tertentu.

“Kami tidak perlu kampanye di lembaga pendidikan, karena kami sudah memiliki media sosial yang lebih luas jangkauannya dan lebih mudah diakses oleh masyarakat. Kami lebih suka kampanye terbuka yang bisa menarik simpati dan partisipasi masyarakat secara massal. Kami tidak mau terjebak dalam kampanye tertutup yang hanya menyasar segmen tertentu,” ujar Hasto.

Di sisi lain, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia menolak keras adanya kampanye di lembaga pendidikan, khususnya yang berada di bawah naungan Muhammadiyah.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan bahwa kampanye di lembaga pendidikan akan mengganggu proses belajar mengajar dan merusak independensi akademik.

Ia juga mengkhawatirkan adanya potensi konflik dan bullying akibat perbedaan pilihan politik di kalangan civitas akademika.

“Kami menolak segala bentuk kampanye di lingkungan pendidikan Muhammadiyah, baik sekolah maupun perguruan tinggi. Kami menganggap itu sebagai gangguan terhadap proses belajar mengajar dan independensi akademik. Kami juga khawatir akan ada konflik dan bullying akibat perbedaan pilihan politik di kalangan civitas akademika,” tegas Abdul Mu’ti.

Aturan kampanye di lembaga pendidikan merupakan salah satu perubahan yang dilakukan oleh KPU RI dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Kampanye Pemilu.

Perubahan ini merupakan tindak lanjut dari putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang melarang total kampanye di tempat ibadah, namun masih memperbolehkan kampanye di tempat pendidikan dengan syarat mendapat izin dari penanggung jawab instansi dan tidak membawa atribut kampanye.

PKPU ini masih dalam tahap uji publik dan akan segera ditetapkan setelah mendapat masukan dari berbagai pihak.

- Advertisement -
Share This Article