Kain Lap dan Peradaban

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
4 Min Read
- Advertisement -

jfID – Masih menyembul di kepala kita dagelan Srimulat yang popular di awal 90-an yang ditayangkan di televisi. Kebanyakan adegan pertama atau pembuka adalah seorang pembantu yang selalu saja memegang ataupun menyampirkan selembar kain lap di bahunya. Beberapa saat ia seperti umumnya dagelan ketoprak tradisional maupun ludruk, tampil sendiri bermonolog. Barangkali, di antara kita ada yang berpikir, kenapa pembantu rumah tangga pada dagelan Srimulat selalu saja membawa kain lap?


Secara sekilas pembantu rumah tangga terkait dengan pekerjaannya untuk bersih-bersih, seperti halnya petani dengan cangkulnya. Martin Heidegger mengistilahkan hal ini sebagai ready to hand (zuhanden), sebuah obyek yang terletak pada nilai fungsinya dimana ketika digunakan oleh manusia akan memunculkan makna. Dengan kata lain, makna hidup bagi Heidegger bukanlah sesuatu yang besar dan terletak di seberang kehidupan ini sebagaimana agama maupun spiritualitas mendongengkannya. Tapi ia hadir dalam dan di tengah interaksi manusia dengan konteks yang melingkupinya.


Dengan melihat seorang pembantu dan sehelai kain lap yang menggantung pada bahunya, maka makna manusia dengan pemandangan seperti itu tentu akan berbeda dengan seorang yang berjas, berdasi, dan menenteng sebuah tas kerja. Yang pertama adalah melayani sang majikan, sementara yang kedua adalah melayani rakyat. Meskipun sama-sama melayani, benarkah makna keduanya juga sama? Di sinilah pada akhirnya Heidegger, dalam Being and Time (1962), mengetengahkan pula apa yang ia sebut sebagai “Jemeinegkeit” (in each case mine). Pengalaman seorang pelayan majikan dan pelayan rakyat, karena itu, sungguh tak dapat disepadankan. Dengan kata lain, pengalaman mereka adalah pengalaman khas masing-masing.


Dalam konteks inilah pada dasarnya Heidegger tengah menggugat universalisme yang merupakan metanarasi modernisme, seumpamanya bahwa manusia adalah makhluk rasional. Tentu, dalam terang Heidegger, rasionalitas seorang pelayan majikan dan seorang pelayan rakyat sama sekali tak sama. Seorang pelayan majikan umumnya tak dapat protes atau berbau “orang penting” yang serasa memiliki bargaining position yang kuat. Ketika seorang pembantu itu dirasakan sang majikan sudah bekerja secara tak benar, maka dengan gampangnya sang majikan akan segera mencari penggantinya. Lantas bagaimana dengan seorang pelayan rakyat, tak mudah bukan untuk menentukannya?

Ad image


Dalam logika modernisme tentu segala hal akan diukur berdasarkan prinsip universalitas, misalnya, pada kasus pelayan majikan dan pelayan rakyat, adalah pada konsep melayani. Maka segala teori, dan barangkali juga kebijakan, akan lahir dengan sifat seragam dan menyeragamkan sehingga keunikan yang dapat membuat seorang manusia berkata, “Jemeinegkeit,” akan menjadi hilang atau tercerabut. Ia pun pada akhirnya hanya akan menjadi manusia kerumunan atau manusia abstrak (Dasman) yang tak punya otentisitas. Pada titik inilah pada dasarnya modernisme dengan segala anak kandungnya—liberalisme-kapitalisme, komunisme-sosialisme, dst.—dengan sendirinya akan bersifat totaliter. Dan faktor itu pula yang dalam bidang sosiologi menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis modernitas yang kemudian melahirkan postmodernitas dimana manusia dan kehidupannya mengalami dispersitas atau keterpecahan. Dari mulai fenomena politik identitas, gugatan-gugatan pada konsep negara-bangsa, adalah beberapa bukti bahwa modernisme dan modernitas telah sampai pada titik-nadirnya.


Dengan demikian, hidup di masa transisi adalah sebentuk kehidupan yang sama sekali tak gampang, serupa interregnum dalam kacamata Gramsci dan Bauman (Berlalu di Zaman [yang Tak Benar-Benar] Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev), dimana pada akhirnya kita selaiknya kain lap yang berfungsi untuk membersihkan kotoran yang mau tak mau mesti ikut kotor pula.


(Heru Harjo Hutomo/ penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)        

- Advertisement -
Share This Article