jfid – Jakarta – Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dihantam gelombang korupsi. Setelah sebelumnya ada 5 menteri yang tersangkut kasus korupsi, kini giliran Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Eddy diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 7 miliar dari pengusaha bernama Helmut Hermawan yang meminta konsultasi hukum. Selain Eddy, ada 3 tersangka lain yang ditetapkan oleh KPK, yaitu Helmut Hermawan, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur, dan seorang staf KPK bernama Rizky.
Eddy merupakan anggota kabinet Jokowi yang ke-7 yang terjerat korupsi. Sebelumnya, ada 6 menteri yang juga tersandung kasus serupa, yaitu:
- Syahrul Yasin Limpo, mantan Menteri Pertanian, yang diduga terlibat kasus pemerasan dalam jabatan, gratifikasi, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
- Juliari Batubara, mantan Menteri Sosial, yang diduga menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial (bansos) Covid-19.
- Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, yang terbukti menerima suap terkait izin ekspor benih lobster.
- Imam Nahrawi, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, yang terbukti menerima suap dan gratifikasi terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).
- Idrus Marham, mantan Menteri Sosial, yang terbukti menerima suap terkait proyek pembangunan PLTU Riau-1.
- Rini Soemarno, mantan Menteri BUMN, yang diduga terlibat kasus dugaan suap terkait proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Kasus-kasus korupsi yang menimpa anggota kabinet Jokowi ini menimbulkan pertanyaan tentang komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi. Padahal, Jokowi pernah berjanji akan memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan menegakkan supremasi hukum.
Namun, kenyataannya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang diterbitkan oleh Transparency International menunjukkan penurunan yang signifikan. Skor IPK Indonesia pernah mencapai titik tertinggi yakni 40 pada 2019. Akan tetapi, pada 2020 skor IPK Indonesia turun menjadi 37. Sempat naik lagi menjadi 38 pada 2021, tetapi kemudian IPK Indonesia anjlok menjadi 34 pada 2022.
Sedangkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menurun sebesar 3,92. Skor itu menurun dibandingkan IPAK 2022 yang mencapai 3,93.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi masalah serius yang menggerogoti kepercayaan publik dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi dan introspeksi terhadap kinerja dan integritas para pejabat negara, termasuk anggota kabinet.
Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan dukungan penuh kepada lembaga penegak hukum, khususnya KPK, dalam menjalankan tugasnya. KPK harus diberi kewenangan dan sumber daya yang memadai untuk mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi negara, tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun.
Korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas tanpa pandang bulu. Kabinet Jokowi harus menjadi contoh dan teladan bagi seluruh masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi. Jika tidak, maka kredibilitas dan legitimasi pemerintahan Jokowi akan terus tergerus dan dipertanyakan oleh rakyat.