jfID – Pandemi corona masih berkepanjangan di Indonesia. Jumlah kasus yang terus tercatat meningkat, sementara belum ditemukan vaksin dan obat yang pasti.
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk memulai lembaran baru, hidup berdampingan dengan wabah corona : new normal. Masyarakat akan kembali beraktivitas secara normal, namun dengan banyak hal baru yang harus mulai menjadi budaya sosial. Setidaknya untuk tiga hal ; jaga jarak, rajin cuci tangan, dan selalu bermasker.
Selain dampak sosial ekonomi, pemerintah juga memikirkan dampak politik dari pandemi corona. Pilkada Serentak di sejumlah daerah di Indonesia, mau tak mau harus menyesuaikan dengan kondisi pandemi ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020, terkait gelaran Pilkada serentak, pada 4 Mei 2020. Perppu tersebut mengatur penundaan Pilkada serentak setelah mewabahnya Covid-19 (Corona Virus Disease).
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Hamonganan Laoly menjelaskan, Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tersebut berisi tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 terkait Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.
Dalam Perppu tersebut ditetapkan bahwa waktu pemungutan suara pilkada di 270 daerah yang semula dijadwalkan pada 23 September diundur hingga Desember 2020. Penundaan tersebut disepakati oleh DPR, KPU bersama Pemerintah.
Tapi, 9 Desember pun belum bisa dipastikan. Menurut Yasonna, dalam Perppu tersebut dijelaskan bahwa penundaan pelaksanaan Pilkada serentak ditetapkan demi menjaga pelaksanaan pilkada yang demokratis, berkualitas, serta untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri.
Artinya, pelaksanaan Pilkada serentak akan dilaksanakan jika Covid-19 sudah dapat dikendalikan.
“Bahkan jika sampai Desember pandemi Covid-19 belum berakhir, penundaan bisa diperpanjang,” ujar Yasonna.
Penetapan penundaan pelaksanaan Pilkada Serentak dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan DPR.
Di Provinsi NTB, setidaknya ada tujuh Pilkada Kota/Kabupaten yang juga turut terdampak. Terkait penundaan Pilkada tahun ini, Lembaga Kajian Politik Mi6 menilai, ada pihak yang diuntungkan dan ada juga yang justru buntung.
“Ya pasti ada plus minus dampaknya jika Pilkada ditunda. Terutama kepada pada calon dan mesin partainya masing-masing,” kata Direktur Mi6 Bambang Mei Finarwanto SH, melalui siaran pers, Selasa Malam (26/5).
Pria ramah yang akrab disapa Didu ini mengungkapkan, Mi6 mendukung pemerintah yang memutuskan Pilkada Serentak ditunda. Apalagi di masa pandemi corona saat ini, tentu prioritas harus dilakukan untuk menjaga keselamatan dan kesehatan seluruh warga negara.
Istilah Didu, saat ini kita sedang berjibaku menghadapi bencana non alam, wabah corona. Kurang elok jika di tengah jeritan masyarakat kecil, pesta lima tahunan malah dipaksakan berjalan.
“Malah Mi6 memprediksi, Pilkada serentak ini bisa jadi ditunda cukup lama bisa sampai 2021. Kalau Desember 2020, sangat kecil kemungkinannya karena pandemi saat ini masih berjalan dengan curva yang belum menunjukan melandai,” papar Didu.
Analisa Mi6 dalam skenario Pilkada ditunda hingga tahun depan, maka kekuatan semua calon, baik calon Bupati dan Wakilnya maupun Calon Walikota dan Wakilnya yang bertarung di tujuh daerah di NTB, akan kembali setara. Sama-sama perlu effort untuk menggenjot elektabilitas dan kecitraan politiknya di tengah masyarakat pemilih.
Para calon yang sudah mengambil start sosialisasi sebelumnya, tidak membuat memiliki nilai lebih dari lainnya.
“Soalnya masyarakat saat ini juga nampak sudah kurang tertarik dengan politik. Dukung-mendukung calon saat ini sudah perlahan tergerus dengan isu corona dan dampak ekonomi yang langsung dirasakan masyarakat,” imbuhnya.
Baginya, Pilkada Serentak tahun depan, bisa menjadi medan baru yang perlu strategi baru untuk meraih kemenangan. Sebab, suasananya jelas beda, pola pemungutan suara pun belum bisa dipastikan nantinya seperti apa.
Kampanye identik dengan pengumpulan massa, dan ini tentu sangat dilarang dalam protokol Covid-19. Pemungutan suara di TPS, pun demikian pula, sangat sulit mencegah menumpuknya banyak orang di hari H pesta pemilihan itu.
“Bagi calon Petahana juga begitu. kalau Desember 2020 ini, mereka masih punya power dan bisa memainkan pencitraannya. Tapi kalau tahun depan, sama saja. Para calon akan bertarung dengan lebih fair, setara di garis start yang sama dengan kontestan lainnya,” kata Didu.
Mi6 menilai di tengah pandemi corona saat ini, hal baik yang mungkin bisa dipetik ialah akan sangat minim terjadinya praktik politik uang. Baik dalam bentuk bantuan pangan, maupun bentuk sumbangan lainnya. Pasalnya, saat ini banyak bantuan sudah disalurkan untuk masyarakat yang sebagian besar terdampak corona. Baik bantuan pemerintah, BUMN, maupun sektor swasta.
Didu menyarankan para calon untuk ambil hikmahnya saja. Tetap giat membantu masyarakat dengan bantuan-bantuannya, tanpa harus berpikir timbal baliknya untuk dipilih.
Di sisi lain penyelenggara Pemilu, KPU dan Bawaslu juga diharapkan tidak terlalu ketat seperti di saat kondisi normal, dalam menyikapi penyaluran bantuan dari Parpol atau calon Kepala Daerah di lapangan.
“Karena ini kan kondisinya beda. Masyarakat memang sangat butuh bantuan dan perhatian. Para calon juga nggak apalah membantu, jangan melulu dilihat sebagai bargain politik,” tukasnya.
Para Baron Pasti Memainkan Celah
Dalam skenario jika Pilkada ditunda hingga tahun depan atau dua tahun kemudian, Mi6 menduga akan menjadi peluang bagi para Baron Elit Politik mengambil celah.
“Yang jelas, akan berlaku care taker atau penjabat pengganti Kepala Daerah yang sudah habis masa jabatannya, sementara Pilkada masih ditunda,” kata Didu.
Gubernur dan Wakil Gubernur dinilai memiliki kans besar dalam menunjuk siapa penjabat pengganti Kepala Daerah. Konflik interes tak mungkin bisa dihindari, sebab, celah ini bisa dimanfaatkan dengan baik sebagai umpan lambung menyonsong Pilkada sebenarnya.
Didu mengatakan, manuver-manuver koalisi partai politik juga akan terjadi dalam meramaikan Pilkada nantinya.
“Apa yang nampak hari ini, masih sekedar entertain politik. Konfigurasi Politik masih bisa berubah, termasuk peta dukungan maupun strategi calon di masing-masing daerah,” ujarnya .
Didu menambahkan, pandemi corona juga menjadi panggung cat walk politik yang baik bagi para calon petarung di Pilkada mendatang. Masyarakat bisa menakar seperti apa kepedulian sosial para kontestan di masa pandemi ini.
Medan pandemi corona ini bisa menjadi tolok ukur sementara, tentang siapa pemimpin daerah sesungguhnya yang kelak akan terpetakan oleh masyarakat untuk Pilkada Provinsi NTB 2024 mendatang.
“Tanpa disadari, pandemi ini seperti tester bagi pemimpin-pemimpin kita, bagaimana mengambil keputusan tepat di tengah bencana. Dan masyarakat bisa menilainya karena sistem informasi dan komunikasi saat ini kan sangat transparan/terbuka,” tandasnya.