Izin Lokasi Reklamasi Teluk Benoa

Rusdianto Samawa By Rusdianto Samawa
28 Min Read
- Advertisement -

jf.id – Betapa sakti surat aparat Negeri ini atas rencana reklamasi Teluk Benoa mulai muncul ke permukaan setelah SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika pada 26 Desember 2012, diberitakan secara besar-besaran oleh media. Pemberitaan ini mengundang perhatian masyarakat Bali dan semakin santer karena pada Juli 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengesahkan Peraturan Menteri yang mengizinkan reklamasi di zona non-inti.

Setelah kabar mengenai rencana reklamasi tersebar dan ditentang secara luas oleh masyarakat dan sejumlah aktivis lingkungan hidup, pada Agustus 2013 Gubernur Bali mencabut SK 2138/02-C/HK/2012. Namun, langkah yang dilakukan Gubernur Bali ternyata lagi-lagi dinilai kontroversial oleh masyarakat. Pasalnya, setelah mencabut satu SK, Made Mangku Pastika menerbitkan SK lainnya (PDF) tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa.

Selama beberapa bulan izin untuk mereklamasi Teluk Benoa simpang siur, karena surat keputusan yang menjadi landasan hukum bagi pengembang berkali-kali ditentang oleh masyarakat. Namun, pada 30 Mei 2014, kesimpangsiuran itu berakhir dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 yang isinya mengizinkan reklamasi reklamasi di kawasan konservasi Teluk Benoa.

Berapa banyak Aliansi masyarakat sipil Bali berkali-kali melakukan upaya untuk menghentikan rencana reklamasi tersebut, di antaranya dengan melaporkan Gubernur dan DPRD Bali ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi dalam keluarnya izin reklamasi Teluk Benoa. Selain itu, mereka juga sempat melayangkan surat kepada Rektor Universitas Udayana, yang isinya mendesak agar pimpinan universitas melarang akademisinya terlibat dalam studi kelayakan reklamasi Teluk Benoa.

Ad image

Pada 22 Januari 2014, masyarakat Bali melakukan aksi damai dengan membacakan penolakan atas rencana reklamasi. Tanda tangan dan cap jempol darah pun dikumpulkan untuk menguatkan tekanan publik. Setelah terkatung-katung selama beberapa tahun, untuk sementara kasus ini berakhir dengan kedaluwarsanya izin yang dipegang PT. Tirta Wahana Bali Internasional per tanggal 25 Agustus 2018.

Muncul Menteri Kelautan dan Perikanan dianggap keliru dan di duga pelanggaran Undang-Undang dan peraturan turunan lainnya. Tentu berdampak pada jabatan dan wewenangnya sebagai Menteri. Herannya, justru Menteri KKP menyalahkan masyarakat Bali. Dengan meminta masyarakat Bali agar upaya peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 yang diterbitkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait dengan reklamasi Teluk Benoa.

Hal itu disebabkan sesuai Undang – Undang Nomor 26 tentang Penataan Ruang sebagai review terhadap perpres tersebut hanya bisa dilakukan selama lima tahun sekali mengingat wewenang dari pemerintah mereview keputusannya sendiri. Artinya, perpres (terkait reklamasi Teluk Benoa) baru bisa dilakukan tahun 2019 supaya ada kepastian hukum untuk memenuhi keadilan masyarakat.

Menurut Taufan (2018) bahwa apa yang diungkapkan Menteri KKP beberapa waktu yang lalu tidak memiliki efek apa-apa. Hal itu disebabkan, seandainya inginkan review terhadap Perpres Nomor 51 Tahun 2014 tersebut tak bisa dilakukan. Menteri KKP harus bekerja sesuai konstitusi, bukan konstituen. Sesuai tata urutan perundang-undangan tentunya menteri tak bisa merevisi aturan yang ada di atasnya (perpres) karena tingkatnya ada di bawah itu.

Sebelumnya, dalam keterangan persnya Menteri KKP meminta Perpres Nomor 51 Tahun 2014 yang mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan ditinjau kembali. Pernyataan itu dikeluarkan Menteri KKP menyusul adanya protes kelompok masyarakat Bali usai Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan izin pemanfaatan ruang / lokasi sesuai dengan pedoman teknis dalam Perpres 51/2014. Menteri KKP meminta review secara independen yang didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis dengan memperhatikan dinamika publik.

Ahmad Hussein (2016) dalam karya ilmiahnya (tesis) yang melakukan penelitian secara menyeluruh atas masalah reklamasi Teluk Benoa, bahwa proses politik hukum pengaturan reklamasi Teluk Benoa terutama mengatur tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Kedepan harus ada antisipasi dampak reklamasi terhadap lingkungan hidup Teluk Benoa dan sekitarnya sehingga tercipta perlindungan lingkungan dari pembangunan yang merusak.

Hasil penelitian Ahmad Husein juga menerangkan: reklamasi Teluk Benoa harus perhatikan hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Karena pengaturan reklamasi Teluk Benoa dibagi menjadi dua periode, yakni periode Perpres SARBAGITA I yang isinya: melindungi lingkungan hidup Teluk Benoa dengan menerapkan status Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Kemudian, periode Perpres SARBAGITA II bahwa pemerintah memberikan peluang kegiatan reklamasi meskipun dapat merusak lingkungan hidup Teluk Benoa.

I Ngurah Suryawan (2018), dalam bukunya berjudul “Bali Antah Berantah: Refleksi di Dunia Hampa Makna Pariwisata terbit 2010 lalu bahwa gambaran Bali itu sekarang seperti lukisan Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, yang ia ambil dari judul sebuah novel karya YB. Mangunwijaya. Ikan Hiu menggambarkan kuasa modal, Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (negara) yang memakan Ikan Homa, yaitu rakyatnya sendiri. Dalam rantai makanan, pada akhirnya Ikan Ido akan dimakan oleh Ikan Hiu. Rakyat, dengan kata lain, selalu jadi korban yang pertama kali dimangsa.

Namun, perumpamaan tersebut tak berlaku atau setidaknya ditangguhkan pada 25 Agustus 2018. Tepat pada tanggal itulah izin reklamasi Teluk Benoa di Bali yang dipegang PT. Tirta Wahana Bali Internasional dinyatakan kedaluwarsa. Masyarakat Bali yang penentang reklamasi Teluk Benoa garapan para pengembang, sementara ini bisa bernapas lega karena perizinan yang masih tertahan dimeja pemerintah.

Pada saat ini perjuangan masyarakat Bali untuk sementara selama lima tahun belum dapat meraih kemenangan. Semoga menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi pembangunan yang tidak adil dan menjadi pembelajaran bagi pengusaha yang berinvestasi di Bali untuk memperhatikan lingkungan dan kepentingan masyarakat.

Salah satu contoh nyata yang mengukuhkan keyakinannya adalah kasus reklamasi Pulau Serangan yang letaknya berdekatan dengan Teluk Benoa. Proyek yang dikerjakan pada tahun 1990-an oleh pengembang kawasan wisata PT. Bali Turtle Island Development ini nyatanya terbengkalai dan hanya menyisakan kerusakan lingkungan. Pulau yang diperluas dari yang semula 112 hektare menjadi 148 hektare ini menyebabkan kerusakan ekosistem pantai.

Lumpur mengotori perairan, sirkulasi air macet, sehingga terumbu karang pelan-pelan mati. Akibatnya, berbagai jenis penyu, ikan hias, dan ikan-ikan karang seperti kerapu, kakap, napoleon, dan berbagai jenis udang, yang sebelumnya hidup di perairan Serangan, secara drastis menghilang.

Selain bencana ekologis, menurut laporan Gatra, proyek reklamasi Pulau Serangan yang akhirnya mangkrak karena krisis ekonomi tahun 1997 telah menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi menjadi penambang batu karang. Kendati diprotes masyarakat, proyek reklamasi terus berlangsung berkat perlindungan rezim Orde Baru. Master plan-nya sangat bagus. Sama [seperti master plan Teluk Benoa sekarang] akan dibuat resor, dibuat hotel, dibuat wisara marine, dan segala macam. Penyunya hilang, mangrove-nya hilang, terumbu karangnya hilang, ini refleksi terbesar. Reklamasi di Serangan sampai sekarang tidak jadi apa-apa. Pemerintah Bali [harus] belajar dari reklamasi Serangan, karena antara Serangan dan lokasi yang mau di reklamasi di Teluk Benoa ini kan dekat.

Keberatan juga datang dari kalangan agamawan. Menurut tokoh keagamaan Bali Ida Pedanda Gede Made Gunung, para pengembang yang berniat mereklamasi Serangan dan Teluk Benoa mengabaikan filosofi orang Bali yang mayoritas beragama Hindu, yaitu Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan. Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, Tri Hita Karana meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitar.

Begitu juga Teluk Benoa, kembangkan boleh, enggak ada orang melarang, cuma saja tetap pada garis-garis yang telah disiapkan. Teluk Benoa punya makna sakral bagi orang Bali. Hanya orang yang bebal saja tak memahami hal ini. Hanya satu tempat di Bali, laut bersambungan dengan teluk dan Gunung Agung. Saujana itu pemandangan spirit batiniah yang entah berapa nilainya yang akan dihancurkan jika reklamasi.

Pasalnya, selama Presiden Jokowi tak mencabut Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, kerja-kerja untuk menggagalkan rencana reklamasi Teluk Benoa masih panjang. Sewaktu-waktu, rencana serupa bisa muncul lagi entah dengan nama yang sama atau sama sekali berbeda.

Polemik Reklamasi Teluk Benoa di Bali pertama kali muncul kepermukaan sejak Tahun 2013. Berawal dari adanya SK Gubrenur Bali No. 2138 tertanggal 26 Desember 2012 tentang reklamasi. Meskipun terbit sejak tahun 2012 tetapi SK Gubernur baru diketahui oleh masyarakat umum sejak 8 Juli 2013 melalui pemberitaan di media massa.

Awalnya, pada tanggal 26 Juni 2013 telah beredar informasi bahwa telah terbit SK Bupati tentang reklamasi tetapi pada saat itu belum diketahui keberadaan SK tersebut. Kemudian pada tanggal 28 Juni 2013, seorang wartawan mengkonfrimasi Gubernur Bali tentang keberadaan SK dan menanyakan soal reklamasi di Teluk Benoa tetapi Gubernur menyangga adanya SK dan menampikan soal reklamasi Teluk Benoa.

Meskipun saat itu SK tentang reklamasi sudah ada, Bupati Bali hanya berasumsi bahwa itu cuma rencana reklamasi dan baru dalam tahap proses kajian. Bupati baru mengakui keberadaan SK tentang izin & hak pemanfaatan pengembangan Teluk Benoa setalah di desak dan diperlihatkan secara langsung SK yang dimaksud. Menurut Suriadi Darmoko, SK yang ada hanyalah SK pada tahapan perencanaan reklamasi, karena pada kegiatan reklamasi ada dua tahapan yaitu pertama adalah tahap perencanaan yang meliputi studi kelayakan, studi kajian yang masa berlakunya maksimal 2 tahun sedangkan tahap kedua adalah pelaksanaan yang izin berlakunya maksimal 5 tahun.

Izin yang dikeluarkan oleh gubernur selanjutnya digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan reklamasi dengan membuat daratan baru dengan luas 838 Ha dengan masa berlaku izin selama 5 Tahun. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab meledaknya kemarahan warga terhadap gubernur karena adanya rencana reklamasi tersebut dan izin tentang reklamasi Teluk Benoa bertentangan dengan Peraturan Presiden tentang reklamasi di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam Peraturan tersebut melarang reklamasi di kawasan konservasi, sementara Peraturan Presiden No. 45 Tahun 2011 menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.

Karena kuatnya desakan publik, pada tanggal 3 Agustus 2013 Gubernur Bali mengadakan dialog dengan masyarakat dengan membangun kesepakatan bahwa jika hasil studi menunjukan bahwa reklamasi Teluk Benoa layak maka akan diteruskan dan jika tidak akan diberhentikan. Pertemuan ini kemudian ditindak lanjuti dengan sk bupati yang baru tertanggal 16 Agustus 2013 tentang tahapan perencanaan yang di dalamnya memuat tentang studi kelayakan.

Pada September 2013 hasil studi yang dikeluarkan oleh Udayana menunjukan bahwa reklamasi di Teluk Benoa tidak layak. Berdasarkan pada kesepakatan dialog publik yang diadakan sebelumnya harusnya reklamasi Teluk Benoa dihentikan. Namun pada 23 Desember 2013 ternyata Gubernur Bali mengajukan permohonan perubahaan Perpres no. 45 Tahun 2011 tentang kawasan konservasi yang mengatur Teluk Benoa. Akhirnya pada 30 Mei 2014 terbit Perpres no. 51 Tahun 2014, Perpres ini mengubah posisi Teluk Benoa dari status konservasi menjadi kawasan non-konservasi selain itu Teluk Benoa di jadikan sebagain Zona Penyangga yang memperbolehkan adanya kegiatan revitalisasi. Ironisnya Perpres ini mengatur secara detail luas revitalisasi yaitu 700 ha. Implikasinya status Teluk Benoa sebagai kawasan non-konservatif melegitimasi terjadinya upaya reklamasi.

Sebelum disyahkannya perpres no. 51 Tahun 2014 yang terbit 30 Mei 2014, pada 28 Januari 2014 melalui Koran kompas, Wisnu Chandra selaku direktur dari Artha Graha Network telah menyebutkan akan melakukan reklamasi seluas 700 Ha dan ruang terbuka hijau 50 % dengan dana $ 3 Milyar. Tentu saja ini menjadi polemik, karena ada indikasi kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha. Izin tentang reklamasi seluas 700 Ha sendiri baru terbit pada bulan Juli 2014. Selanjutnya 25 Agustus 2014 pembaharuan izin dan Oktober 2014 baru pembahasan Amdal.

Reklamasi di Bali sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Sejak Tahun 1994 telah terjadi reklamasi di daerah pulau Serangan. Awalnya luas pulau serangan hanya 100-an Ha tetapi sejak tahun 1994-1998 pulau tersebut di reklamasi dan luasnya menjadi 400-an Ha.

Tujuan reklamasi pulau Serangan sendiri untuk kawasan parawisata terpadu tetapi sampai sekarang pulau tersebut justru menjadi pulau yang tak berpenghuni karena penduduknya di paksa untuk angkat kaki, ironisnya sejak tahun 1994 – sekarang pulau tersebut dikomersialisasikan dengan pengawalan ketat.

Belajar dari peristiwa itu, sejarah telah membuktikan bahwa reklamasi hanya merugikan masyarakat khususnya di Bali. Dari pengalaman itulah, Suriadi Darmoko bersama masyarakat Bali dalam aliansi forBali terus menyuarakan penolakan atas reklamasi Bali sejak Tahun 2013.

Awalnya aksi massa yang dilakukan pada Tahun 2013 hanya berjumlah 20-an orang namun mengalami perkembangan yang sangat pesat, aksi terakhir yang dilakukan 20 maret 2016 ForBali mampu menghadirkan 28.000-an massa yang terdiri dari 35 desa adat dan gabungan ormas di Bali yang telah menyatakan deklarasi menolak reklamasi pantai termasuk 4 desa adat yang langsung berhadapan dengan Teluk Benoa.

Sedangkan menurut Gregorius, reklamasi merupakan representasi dari kontestasi politik terhadap penguasaan ruang. Ada 3 pertarungan persepsi yang melihat proses reklamasi secara berbeda. Pertama, persepsi yang dibangun atas motivasi kesadaran ekologi yang melihat reklamasi dari pendekatan lingkungan. Persepsi ini cenderung meletekan reklamasi sebagai upaya harmonisasi menjaga kelesetarian lingkungan dan ekologikal yang ada disekitarnya.

Kedua, persepsi yang didorongan atas kesadaran dari motivasi yang melihat ruang sebagai komiditas. Pendekatan ini meletakan basis ekonomi sebagai unit analisis dari reklamasi. Asumsinya reklamasi bukan sebatas menjaga ekosistem dan ekologikal tetapi melihat bahwa reklamasi adalah motif ekonomi yang di eksekusi oleh elit dengan didorong ambisi kekuasaan. Terakhir, pendekatan persepsi yang lebih modern melihat proses reklamasi sebagai kontestasi dari kesadaran publik terhadap ruang, yang secara filosofis meletakan defenisi ruang sebagai bagian dari semua yang ada dibawah bumi sampai kepada ruang angkasa sebagai ruang publik. Hal tersebu mengkondisikan ruang dapat dinikmati secara bersama dan atas asas berkeadilan. Untuk itu pendekatan ini menekankan pada kontrol publik terhadap ruang sebagai barang publik.

Kesadaran persepsi ini oleh Gregorius di bentuk atas dua faktor utama yaitu perubahaan budaya yang signifikan & intervensi penggunaan teknologi yang begitu massif. Perubahaan budaya di defenisikan sebagai bentuk dari reproduksi sosial terhadap tafsir sosial yang membentuk masyarakat yang berakibat pada perubahaan cara pandang masyarakat terhadap ruang yang sifatnya masih sangat primitif menjadi pardigma yang lebih modern.

Implikasinya tafsir baru terhadap ruang terus direproduksi sebagai suatu dampak dari perubahaan kultur. Sedangkan perubahaan teknologi memberi legitimasi pembacaan secara konstruksif terhadap dinamika pembangunan dan pengembangan pesisir sebagai bagian dari dinamika perubahaan yang di intervensi melalui teknologi. Akibatnya reklamasi disatu sisi menjadi bagian dari pengembangan IT yang semakin modern dan disisi yang lain menjadi problematic, karena berangsung pada dua dunia yang berbeda antara laut dengan daratan.

Imbasnya, ruang pada reklamasi dijadikan sebagai komoditas yang dapat di reporudksi ke dalam bentuk capital (motif ekonomi) dengan tendensi kekuasaan politik. Selain itu kepentingan publik akan di distorsi oleh kepentingan elit politik yang berkuasa melalui pelembagaan yang dilegitimasi, misalnya aturan hukum yang di buat oleh penguasa untuk melegalkan legitimasi reklamasi sebagai akses formal yang mengaminkan perbuatannya.

Selain itu secara sosial, Reklamasi akan memicu terjadinya konflik dan memecah masyarakat. Hal ini karena perbedaan persepsi dalam masyarakat akan terbangun menjadi basis yang pada akhirnya akan mempertentangkan masyarakat pada pilihan setuju dan tidak setuju pada reklamasi, sehingga secara sosial ini berimplikasi terhadap rusaknya tatanan sosial. Misalnya di Bali yang sangat kental dengan budaya lokalnya (Desa adat), dengan adanya reklamasi Teluk Benoa berpotensi besar memicu konflik.

Reklamasi juga berimplikasi domino. Mengingat konteks di Teluk Benoa- Bali merupakan salah satu dari tiga daerah penyangga yang digunakan sebagai basis penghidupan masyarakat. Selain itu juga dijadikan sebagai tempat yang suci dan disakralkan oleh masyarakat sehingga reklamasi selain berimplikasi sosial juga akan memiliki efek domino. Lebih lanjut Suriadi Darmoko (Koordinator Politik dari ForBali) mengatakan bahwa alasan penolakan reklamasi di Teluk Benoa karena beberapa poin, diantaranya:

• Letak teluk Benoa yang sangat startegis karena berada di daerah sekitar Bandara
• Teluk Benoa menjadi penyangga konservatif bagi produksi makanan
• Teluk benoa menjadi salah satu bagian dari segitiga terumbungkarang dunia
• Sekitar 3000-an nelayan menggantungkan hidupnya pada teluk Benoa
• Titik perlintasan burung antar Benua (Terdiri dari 22 Negara, Indonesia termasuk salah satunya)
• Teluk Benoa menjadi pertemuan 5 sungai besarSedangkan Gregorius menekankan bahwa publik harus merebut kembali ruang yang telah di distorsi oleh kekuasaan politik dengan membangun kesadaran sosial.

Ini penting untuk menyadarkan masyarakat bahwa ruang adalah hak bersama yang mengkondisikan akses yang sama pula sehingga keberadaan ruang harus berada pada kontrol publik. Selain itu kesadaran terhadap ruang senantiasa dihidupkan untuk mereproduksi tafsir sosial yang lebih modern terhadap ruang yang selama ini telah di akuisisi oleh elit politik.

Pembacaan pemantik dalam diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM edisi 19 April 2016 terhadap reklamasi pantai banyak mengeskplorasi kasus di Teluk Benoa, yang konteks sosialnya berbeda dengan daerah lain seperti Reklamasi di Jakarta & Makassar. Konteks Bali sangat kental dengan adat dan kebudayaan lokal yang dimiliki sehingga relevan ketika analisis Greg menjadikan budaya dan IT sebagai basis infratsruktur terhadap pembangunan reklamasi.

Ini dikuatkan oleh pernyataan Darmoko yang menceritakan bagaimana kemudian masyarakat di Desa adat Bali menjadi salah satu gerakan sosial yang terus menerus menyuarakan penolakan terhadap reklamasi karena selain merusak ekosistem juga mencederai basis nilai budaya yang dimiliki di Bali khsususnya Teluk Benoa sebagai tempat yang di sakralkan.

Tetapi tentu saja analisis ini sifatnya spasial dan tidak relevan ketika digunakan untuk menganalisis reklamasi yang ada di Jakarta & di Makassar karena kedua daerah tersebut merupakan daerah heterogen yang aspek budayanya (cultural) cenderung lebih bervariatif dan terfragmentasi antara satu dengan yang lain.

Aspek lain yang terlupakan dari analisa Greg adalah ketika secara bias mendefenisikan konflik antara kekuatan kapital dengan masyarakat. Kecenderungan konflik yang dianalisis oleh Greg adalah konflik yang berbasis ambisi politik dan penguasaan terhadap ruang publik tetapi disaat bersamaan mengabaikan peran dan keterlibatan kekuatan kapital sebagai bagian dari relasi sosial yang berkonflik. Sementara di Jakarta & Makassar sendiri Reklamasi merupakan bagian dari revitalisasi ruang yang syarat dengan motif ekonomi.

Lefebvre (dalam Sutinah dkk, 2010. p.105) meskipun secara eksplesit tidak berbicara tentang reklamasi pantai tetapi menaruh perhatian pada produksi & reproduksi ruang. Berasumsi bahwa ruang akan mampu memproduksi sistem kapitalisme.

Nampaknya analisis ini setidaknya akan memberikan jawaban bagaimana kemudian reklamasi pantai telah dijadikan sebagai komiditas. Implikasinya sistem kapitalisme berbasis ruang ini kemudian menciptakan struktur sosial antara kapital dengan masyarakat. Sehingga reklamasi pantai harus diletakan pada analisis yang lebih komprehensif dengan memetakan motif ekonomi dan kepentingan politik yang mendasari reklamasi.

Reklamasi sendiri menjadi bagian dari produksi & mereproduksi ruang karena telah mengubah ruang dari non ekonomis menjadi bernilai ekonomis. Transformasi ini di ikuti dengan fungsi dan substansi ruang yang menjadi lebih bernilai. Seperti kasus reklamasi di Jakarta Tahun 1980 yang dilakukan oleh PT. Sarinah Indah di Pesisir pantai Pluit yang telah mengubah pantai menjadi perumahaan elit (Kompas, 11/11/2016).

Implikasinya akan berdampak pada privatisasi ruang, selain itu juga berdampak pada pendapatan nelayan yang akan semakin berkurang. Seperti pada kasus Bali yang hampir 3.000-an nelayan yang menaruh penghidupannya pada Teluk Benoa.

Kesimpulan

Timbulnya kebijakan untuk melakukan reklamasi terhadap Teluk Benoa menimbulkan konflik antara pihak yang pro terhadap reklamasi dan pihak yang kontra terhadap reklamasi. Munculnya kebijakan untuk mereklamasi kawasan Tanjung Benoa ini memiliki sejarah kronologi yang panjang. Dimulai dengan penandatangan Mou antara pihak PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) dengan Universitas Udayana pada tanggal 12 September 2012 guna dilaksanakannya kajian kelayakan dan AMDAL dalam rangka reklamasi Teluk Benoa. Setelah dilakukannya presentasi oleh tim LPPM UNUD sebanyak dua kali di BAPPEDA maka Gubernur Bali pun menerbitkan SK 2138/02-C/HK/2012 tentang Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa.

Penerbitan SK oleh gubernur ini menimbulkan banyak penolakan terutama dari pihak kontra reklamasi yang tergabung dalam gerakan ForBALI yang merupakanaliansi masyarakat sipil Bali lintas sektoral yang terdiri dari lembaga dan individu baik mahasiswa, LSM, seniman, pemuda, musisi, akademisi, dan individu-individu yang peduli lingkungan hidup dan mempunyai keyakinan bahwa Reklamasi Teluk Benoa adalah sebuah kebijakan penghancuran Bali. Akan tetapi meskipun hasil dari studi kelayakan yang dilakukan UNUD menyatakan bahwa reklamasi teluk Benoa tidak layak namun Gubernur Bali malah menerbitkan SK baru yaitu SK 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan.

Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa dan mendorong supaya kajian kelayakan sebagai bagian dari usaha reklamasi diteruskan. Apalagi SK ini semakin diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014 yang dikeluarkan oleh SBY.

Keberadaan SK Gubernur dan Perpres dari presiden membuat PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) mengantongi ijin untuk melakukan reklamasi Teluk Benoa. Hal ini banyak ditentang oleh aliansi masyarakat sipil Bali lintas sektoral yang terdiri dari lembaga dan individu baik mahasiswa, LSM, seniman, pemuda, musisi, akademisi, dan individu-individu yang peduli lingkungan hidup yang tergabung dalam gerakan ForBALI.

Mereka menduga bahwa terdapat maladministrasi dalam keluarnya SK Reklamasi Teluk Benoa, sehingga ForBALI melaporkan Gubernur Bali dan DPRD ke ombudsman.

Konflik antara pihak pro reklamasi dan kontra reklamasi ini hingga kini terus berlanjut. Masing-masing kelompok baik yang pro maupun kontra memiliki argumennya masing-masing baik mengapa perlu melakukan reklamasi di Teluk Benoa maupun mengapa menolak reklamasi Teluk Benoa.

Kedua belah pihak juga memiliki straetgi komunikasi masing-masing baik untuk meyakinkan massa maupun menggalang dukungan baik dengan menggunakan pers konference maupun melalui aksi-aksi dan poster-poster. Tulisan ini juga akan coba membahas unsur-unsur simbolik yang memperbesar konflik. Serta membuat penilaian tentang resolusi potensi konflik.[]

Sumber Utama:

  1. Taufan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dianggap keliru ketika meminta upaya peninjauan ulang Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014, Setara Institute, 2018
  2. Irfan Teguh (2018), Izin Kedaluwarsa Reklamasi Teluk Benoa dan Kemenangan Rakyat Bali, Merdeka.com
  3. Sugi Lanus (2018), peneliti sejarah dan kebudayaan yang telah memetakan menyusun secara rinci tempat-tempat dan titik hubung kawasan suci di sekitar kawasan Teluk Benoa. Mongabay, 2018
  4. Ahmad Hussein (2016), Tesis: Politik Hukum Pengaturan Reklamasi Teluk Benoa (Studi pada Pasal 56, Pasal 63 A, dan Pasal 101 A Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan). Sarjana thesis, Universitas Brawijaya.
  5. Sudiarta Sudomo (2018), Polemik Reklamasi Teluk Benoa dan Kontestasi Politik, ForBali, Mongabay
  6. Gregorius Sri Waryanto (2018), Kontestasi Ruang dan Ekspansi Kapital, Mongabay
- Advertisement -
Share This Article