Islam Kosmopolitanisme Versi Muhammadiyah

Faidi Ansori By Faidi Ansori
4 Min Read
- Advertisement -

”Mengapa Islam kosmopolitan menjadi pilihan Muhammadiyah? Muhammadiyah menyadari bahwa kelahirannya merupakan produksi dari interaksi Timur Tengah dan Barat yang dikemas menjadi suatu yang otentik di Indonesia. Ia memadukan pemikiran Muhammad Abduh, sistem yang berkembang di Barat, dan karakter Indonesia. Karena itu, kosmopolitanisme yang dikembangkan Muhammadiyah diharapkan menjadi wahana untuk dialog antar peradaban.” – Ahmad Najib Burhani

jfID – Narasi wacana Islam Indonesia akhir-akhir ini dipropagandakan kepada umat seluruh dunia. Jika kita sudah mendengar istilah “Islam Nusantara” versi Nahdatul Ulama’ (NU), maka Muhammadiyah juga punya istilah “Islam Kemajuan” atau “Islam Kosmopolitanisme”. 

Islam kosmopolitan versi Muhammadiyah adalah sebuah narasi yang mulai ditagline sejak Muktamar ke-47 saat di Makassar pada tanggal 3-7 Agustus 20015. Tema tersebut bernada “Dakwah Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”.

Istilah “Islam Kemajuan” sebenarnya sudah terdengar sebelum tahun 2009, namun slogan tersebut mulai memudar dan kemudian menggema kembali pada tahun 2015 saat muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar hingga gendangnya terdengar hingga hari ini. Tetapi walaupun demikian, Muhammadiyah saat berdirinya memang sudah mengakrabkan dengan suatu organisasi Islam progresif. Dan ini bisa dilihat atas ungkapan KH. Ahmad Dahlan yang mengatakan bahwa Islam merupakan agama kemajuan.

Ad image

Islam Kemajuan bisa diketahui disaat spirit KH. Ahmad Dahlan dalam membangun suatu masyarakat Islam Indonesia dengan mencontohkan kerasionalan Islam yaitu cara membayar zakat, maka solusi progresif beliau dilakukan dengan membentuk panitia zakat atau amil yang pada waktu itu ide ini masih belum terpikirkan. Maka Islam kemajuan Muhammadiyah mendobrak cara lawas yang tidak dilakukan umat Islam sebelumnya.

Tidak hanya itu, pola Islam Muhammadiyah sudah berpandangan radikal dengan mendobrak paradigma kolot, seperti, apakah sekolah modern itu  kafir atau tidak, mereka tidak banyak berkelud dengan dunia pertentangan antara tetap Islam ataupun dipandang kafir, namun yang dilakukan adalah mendirikan sekolah-sekolah modern. Hal ini adalah bentuk kemajuan organisasi Islam Indonesia yang lahir pada 18 November 1912 itu.

Bagi Muhammadiyah sekolah modern adalah bentuk kemajuan zaman dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat dengan leluasa masyarakat dapat wadah untuk belajar.

Islam dalam pandangan KH. Ahmad Dahlan merasuk kedalam kalbunya sehingga tak ayal berbagai ilmu yang ia pelajari dipraksiskan dalam kehidupan bangsa Indonesia jauh sebelum kemerdekaan dengan menawarkan ilmu hisab astronomi untuk menggantikan kalender urfi warisan Sultan Mataram (Sultan Agung).

Sementara lagi, Muhammadiyah dengan paham Islam kemajuannya berinisiatif untuk mendirikan rumah sakit yang pada waktu itu kepercayaan masyararakat desa terhadap dukun-dukun, tetapi Mumahadiyah bisa membangun rumah sakit-rumah sakit.

Muhammadiyah adalah merupakan organisasi Islam yang berpandangan kedepan, progresif, modern. Melihat KH. Ahmad Dahlan tak ubahya saya melihat Syaeh Jalaluddin Al-afghani, Muhammad Abduh, dan Syaukat Ali (para pembaharu Islam). Kalau dimasa-masa kejayaan Islam di Eropa, saya justru teringat dengan Syaeh Ibnu Bajjah, Syaeh Ibn Tufail, dan Syaeh Ibn Rusyd (Semua dari mereka adalah tokoh hebat yang tidak berpikir kolot hanya pada soal-soal fikih saja, tetapi berpikir lebih radikal agar umat Islam bisa maju dan menguasai peradaban). Melihat mereka semua, saya juga melihat KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah.

Topik-topik baru dalam persoalan ke-Islam-an dan ke-umat-an “Islam Kemajuan” mencoba menggarakkan pikiran dengan mengusung tesis-tesis dan antitesis baru dalam menyelesaikan persoalan kerumitaan persoalan umat bagi Muhammadiyah.

Pendidikan, kesehatan, dan kemodernan teknologi sangat diutamakan sebagai visi kemajuan Muhammadiyah untuk berorientasi kemasa depan demi sustainable development with meaning. Tetapi dengan itu semua “Islam Kemajuan” Muhammadiyah tidak akan lepas daripada prinsip iman, ilmu, dan amal.

Penulis: Faidi Ansori, Alumni Pondok Pesantren Banyuanyar, Pamekasan.

- Advertisement -
Share This Article