Indonesia-Israel: Mengapa Pragmatisme Ekonomi Harus Mengalahkan Prinsip Politik?

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
5 Min Read
Bendera Palestina: Simbol Perjuangan Harapan Bangsa Dan Arti Sebuah Warna!
Bendera Palestina: Simbol Perjuangan Harapan Bangsa Dan Arti Sebuah Warna!
- Advertisement -

jfid – Indonesia dikenal sebagai negara yang vokal mendukung kemerdekaan Palestina dan menentang kebijakan Israel yang dianggap melanggar hak asasi manusia. Namun, di balik sikap politiknya yang anti-Israel, Indonesia ternyata memiliki hubungan dagang dengan negara Yahudi tersebut, meski tidak resmi dan tidak diumbar ke publik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor barang-barang dari Israel senilai 14,4 juta dollar AS atau sekitar Rp 226,08 miliar pada periode Januari-September 2023. Barang-barang tersebut meliputi mesin, peralatan mekanis, perkakas, dan perlengkapan elektrik yang sebagian besar digunakan untuk kepentingan pertanian dan militer.

Hubungan dagang ini tentu bertentangan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu sila Pancasila adalah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, yang sejalan dengan semangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang diusung oleh founding father Soekarno.

Soekarno adalah presiden pertama Indonesia yang dikenal sebagai tokoh pergerakan Non-Blok dan Konferensi Asia-Afrika. Ia menentang segala bentuk penjajahan dan penindasan terhadap bangsa-bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, termasuk Palestina. Ia bahkan pernah mengusir delegasi Israel dan Taiwan dari Asian Games 1962 di Jakarta karena alasan politis.

Ad image

Soekarno juga membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab dan komunis, seperti Mesir, Irak, Suriah, Uni Soviet, dan Tiongkok. Ia berusaha membangun solidaritas antara negara-negara berkembang yang menghadapi ancaman dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya.

Namun, setelah Soekarno digulingkan oleh rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, orientasi politik luar negeri Indonesia mulai berubah. Soeharto lebih pragmatis dan pro-Barat dalam menjalin hubungan internasional. Ia juga membuka saluran komunikasi rahasia dengan Israel.

Salah satu bukti kerja sama diam-diam antara Indonesia dan Israel adalah pembelian pesawat tempur Douglas A-4 Skyhawk dari Israel pada awal 1980-an. Pesawat-pesawat ini kemudian digunakan oleh Angkatan Udara Indonesia untuk operasi militer di Timor Timur dan Aceh.

Selain itu, Indonesia juga mendapatkan bantuan teknologi dan intelijen dari Israel dalam bidang pertahanan dan keamanan. Beberapa perwira dan tentara Indonesia dikirim ke Israel untuk belajar tentang radar, pengintaian, dan operasi khusus. Indonesia juga tertarik dengan produk-produk drone buatan Israel, seperti IAI Searcher dan IAI Heron.

Hubungan dagang antara Indonesia dan Israel terus berlangsung hingga saat ini, meski tidak diakui secara resmi oleh kedua pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung mengedepankan pragmatisme ekonomi daripada prinsip politik dalam berurusan dengan Israel.

Namun, pragmatisme ini juga memiliki batasnya. Indonesia masih menolak untuk menjalin hubungan diplomatik penuh dengan Israel selama konflik Israel-Palestina belum terselesaikan sesuai dengan resolusi PBB. Indonesia juga masih mengkritik tindakan-tindakan Israel yang dianggap melanggar hukum internasional dan hak asasi manusia.

Indonesia juga masih aktif mendukung perjuangan Palestina melalui berbagai cara, seperti memberikan bantuan kemanusiaan, menyelenggarakan konferensi internasional, dan menggalang dukungan dari negara-negara lain. Indonesia bahkan pernah menyatakan niatnya untuk membuka konsulat kehormatan di Ramallah pada 2012, meski belum terealisasi hingga kini.

Dengan demikian, hubungan Indonesia dengan Israel adalah hubungan yang kompleks dan paradoks. Di satu sisi, Indonesia tetap berpegang pada prinsip politiknya yang anti-Israel dan pro-Palestina. Di sisi lain, Indonesia juga memanfaatkan peluang ekonomi yang ditawarkan oleh Israel, meski secara diam-diam dan terbatas.

Hubungan ini mungkin akan terus berlanjut selama tidak ada perubahan signifikan dalam situasi politik dan keamanan di Timur Tengah. Namun, hubungan ini juga rentan terganggu oleh eskalasi konflik antara Israel dan Palestina, yang bisa memicu reaksi keras dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme dalam hubungan dengan Israel. Indonesia juga perlu meningkatkan peran diplomasi dan mediasi untuk mendorong perdamaian dan solusi dua negara bagi Israel dan Palestina. Hanya dengan demikian, Indonesia bisa menjadi bagian dari solusi, bukan masalah, dalam konflik Timur Tengah.

- Advertisement -
Share This Article