Ilmu Pokoknya Ala Sukmawati

Syahril Abdillah By Syahril Abdillah
10 Min Read
Sukmawati, putri Proklamator RI Soekarno (Foto: Liputan 6.com)
Sukmawati, putri Proklamator RI Soekarno (Foto: Liputan 6.com)
- Advertisement -

Jurnalfaktual.id, | Mula-mula, saya mengira hanya orang lancar berbicaralah yang bisa berperan dan dapat julukan cendekiawan. Namun berbeda halnya ketika belakangan ini setelah saya membaca buku ‘Lancar Berbicara’ karya Olif. Di buku tersebut menurut interpretasi saya, bahwa untuk lancar berbicara bukan soal nyerocosnya mulut saja, kebak kebik, tapi intonasi, tempo, body language, dan wawasan, menjadi kunci utama dalam lancar berbicara. Soal lancar belum tentu pandai, orang bisa saja tanpa henti berbicara, tapi hanya monoton pada pembicaraan saja. Seseorang bisa dikatagorikan pandai berbicara, dilihat dari kepiawaiannya mengungkapkan dan menyesuaikan kata pada tempat dan situasinya. 

Namanya ngomong (bicara) tidak cuma sekedar omong, karena orang ghibah-pun bisa ngomong, maka ngomonglah yang hanya tidak sekedar tanpa esensi. Sebagaimana isu-isu belakangan ini, saat banyak kalangan ingin menangkal faham garis keras (terorisme) yang mengatasnamakan agama, diakibatkan karena sekedar omong. Seperti halnya yang terjadi pada Sukmawati Sukarno Putri saat berpidato, mengkritik kaum ekstrimis (soal Pancasila dan Al-qur’an atau Sukarno dan Nabi Muhammad) kini menjadi cemoohan kaum agamawan dan nasionalis sekarang, itu disebabkan kareana asal ngomong. 

Saking terlalu semangat berbicara soal kebangsaan atau cinta tanah air (nasionalisme), ia terjebak pada statementnya sendiri, membandingkan perjuangan Rasulullah Muhammd. Saw dengan keberhasilan perjuangan Sukarno di abad 20-an (kemerdekaan Indonesia 1945), yang kemudian dijadikan parameter utama bahwa perjuangan Sukarno seakan lebih baik daripada Rasulullah Muhammad.

Salah sih, tidak, cuma “kurang tepat”. Sebagai tokoh publik, Sukmawati yang apalagi menekuni bidang sejarah, utamanya sejarah Indonesia, bagi saya ini terlihat unfaedah dan membuat malu sebagai anak biologis Sukarno.

Ad image

Seharusnya ia tidak mempermalukan jika masih mengaku anak biologis serta ideologis seorang Sukarno, sebab Sukarno sendiri membunuh diri kelas (sebagai anak keturunan sultan Kediri ‘dari ayahnya’ dan keturunan kerajaan Singaraja Bali ‘dari ibunya’). Justru Sukarno dihormati karena perjuangan dan gagasan-gagasannya untuk kemerdekaan Indonesia. Itu yang seharusya dipahami oleh anak-anak Sukarno. 

Sebagaimana pula saya ambil di sini pendapatnya Mbah Nun, ia pernah di salahsatu acaranya berkata “saya menyembunyikan nasab saya, karena saya tidak mau dipuji orang hanya karena saya punya nasab, sementara kebanyakan tokoh-tokoh Indonesia menikmati nasabnya, lahir procot, iki wis putune mbah iki, gampang dadi ketua iki mergo cucune mbah iki”.

Keturunan siapapun, apakah itu Sukarno, Hatta, Syahrir, Jenderal Sudirman bahkan Gajah Mada sekalipun, kalau agak “error” (tidak mencontoh pada kakeknya), mustahil jika berharap untuk dihormati, mending saya saja yang jadi keturunannya, walaupun kayak gini, ya. minimal tidak ingin membuat malu keluarga. Toh kalau akhirnya memalukan, berarti itu manusiawi.

Di tarik dari sisi positif dalam pidato Sukmawati, sebenarnya ia ingin membangkitkan jiwa nasionalisme audience seperti dirinya, ia tidak ingin semangat nasionalisme hanya dilakukan oleh dirinya sendiri, maka dari itu ia selalu mencari mangsa dari pidato-pidatonya yang kadang kontoversi, sehingga dapat meresahkan ummat dan bangsa. 

Ia merasa bahwa gerakan Islamis (radikalis), menjadi penghambat kecintaan rakyat terhadap tanah air, menghambat pada proses kemajuan bangsa di kancah dunia, dan penyebab kekolotan berpikir, yang saya setuju akan pendapat itu.

Tentunya bukan tanpa sebab Sukmawati bersikap demikian, penyebabnya adalah karena ada benturan historis antara ummat Islam dan kelompok nasionalis di masa-masa pergerakan kemerdekaan.

Sebab persoalan historis yang sudah dijelaskan di atas menumbuhkan pemicu pertangan antara kaum nasionalis dengan kaum Islamis (radikalis), namun dalam tulisan ini, saya tidak ingin mambahas dua gagasan besar tersebut, tetapi tulisan ini ditujukan untuk memberikan penilaian saya terhadap pernyataan Sukmawati, yang sebisa mungkin saya harus objektif dalam menilainya. 

Pramodya Ananta Toer pernah berkata: “bersikap adillah sejak dalam pikiran”. Mabub Djunaidi, dalam tulisan “Pergerseran Tata Nilai Dalam NU” juga menulis dan menginterpretasi perkataan Pramodya, kalimat itu tertulis: “Sikap adil bukan saja mulai dalam pikiran, tapi juga ketika menuangkannya dalam tulisan”, dan mengamalkannya dalam tindakan, tambahan saya.

Oleh sebab itu, saya berusaha untuk bersikap adil menilai kasus Sukmawati Sukarno Putri ini. Saya merasa iba ketika ia disudutkan terus menerus, sebab, saat ia diminta untuk mengklarifiksi atas statementnya di berbagai media, ia malah banyak menghindar, bagi saya ia kelihatan kalau takut di hukum. Pada saat yang berbarengan pula, saya menjadi tega, dan rela kalau ia dihukum, sebab omongannya sudah terlalu ngawur, dan asal nyeplos. Di satu pihak saya menyukainya, di sisi lain saya juga menolak. 

Dari penjelasan saya di atas ada pertanyaan mendasar, apa yang saya suka dari pernyataan Sukmawati? Pertama karena ia punya jiwa nasionalis yang masih tinggi. Sebagaimana saya juga suka orang-orang nasionalis. Kedua ia paham sejarah, dan saya suka sejarah, tapi sekaligus saya paling tidak suka jika seseorang lalu menyepelekan sejarah. Sebagaimana siapapun juga punya masalalu? Dari masa lalu itu kita belajar, mengambil spirit perjuangan, dijadikan pedoman atau koreksi untuk melangkah ke masa depan.

Dan apanya yang saya tolak dari pernyataan Sukamawati? Yaitu sifat nasionalis kolotnya yang tinggi, ya. Saya maklumi, mungkin itu sifat manusiawinya. Tapi jika kelewatan, masalahnya bisa jadi lain. Akibat sifat kekolotan tersebut, sering membuat orang sakit hati atas keinginnannya yang harus dituruti dan enggan menghargai pendapat. Kemudian saya juga kurang sepakat ketika ia ceramah tapi harus membandingkan hanya karena ingin mengembalikan semangat nasionalisme, dan mempertahankan budaya Indonesia agar tidak ke arab-araban. 

Permasalahannya bukan masalah Arab atau non-Arab, Bukankah Sukarno sendiri, dalam catatan sejarah pembangunan negeri ini sangat dekat, dan bahkan suka berkonsultasi kepada para ulama’?. Dalam masalah ini penting kiranya untuk saya utarakan, bahwa sebelum tanggal 10 November atau kita menyebutnya ‘hari pahlawan’, Sukarno pernah bertanya kepada Hadratus-syaih KH. Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim). “apa hukumnya kita membela tanah air. Yai?” tanya Sukarno. “hukumnya adalah fardlu ‘ain” Dawuh Mbah Hasyim. Kamudian saat itulah muncullah fatwa Hubbul wathon minal iman (cinta tanah air merupakan sebagian dari iman).

Dan nampaknya, Sukmawati tidak membaca ini sebelum berpidato, kalau pun membaca prinsip ini, justru malah tidak tersampaikan. Saya bisa memaklumi, sebab  mungkin sudah tua, tidak bisa melihat tulisan dengan baik, mungkin yang terlihat olehnya hanya dari pertanyaan Sukarno pada Mbah Hasyim; “apa hukumnya jika perjuangan saya lebih baik dari kanjeng Nabi?”, kemudian dijawab “hukumya adalah najis mukhofafah”.

Pernah juga suatu ketika Sukarno kunjungan ke luar negeri (Arab Saudi) tepatnnya di Madinah, ia berziarah ke makan Rasulullah bersama Raja Sa’ud, tiba-tiba dari jarak yang lumayan jauh, segala atribut kepangkatan dilepasnya dan berjalan sambil merangkak menuju Maqbarokh Rasulullah. Saw. kemudian Raja Sa’ud bertanya terhadap Sukarno “ada apa gerangan yang membuat tuan melepas semua atribut kepangkatan?” dijawab oleh Sukarno, “karena pangkat Rasulullah jauh lebih tinggi daripada pangkat saya”.

Dapat ditarik pemahaman, bahwa Rasulullah lebih mulia daripada Sukarno. Lalu kenapa anaknya ber-stetement demikian? Ada dua kemungkinan, pertama bisa jadi dia lupa, kedua yang dia miliki hanya ilmu pokoknya (pokoknya saya yang benar, kamu yang salah) artinya pemahamannya dangkal, tidak epistem atau radik.

Di antara dua kemungkinan ini, dalam penilian subjektifas saya, ia lebih menjurus pada kemampuan ilmu pokoknya. Ciri-ciri ilmu pokoknya adalah pemikiran yang dangkal, tidak bersumber, berpendapat menurut kacamata diri, ngototan, tidak mensyukuri fadhilah berfikir, merasa memiliki pendirian tapi sebenarnya terombang ambing, hasrat besar untuk mendominasi pembicaraan, suka memotong pembicaraan orang lain, dan hanya punya satu andalan.

Kira-kira menurut anda, ciri apa yang lebih mendekat pada Sukmawati?

Sekian…..!!!! kalau menurut saya cukup jelas saya kira.

Tentang Penulis: Unadi Neda Abil Haq, Pemikir Islam, dan Kader PMII Komisariat Bangkalan.

- Advertisement -
Share This Article