Penulis: Rusdianto Samawa, Alumni Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Mataram (UMM) dan Alumni Komunikasi Politik Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Menulis dari Pegunungan Bukit Siwa, Soppeng.
jfID – Mencermati laju perkembangan Covid-19 dari Pegunungan Bukit Siwa Watan Soppeng Sulawesi Selatan. Sengaja mendatangi untuk menyepi di Bukit Siwa, bercengkerama para guru dan pemelihara alam ditanah Sulawesi. Secara kebetulan hadir ahli dan pawang Kelelawar.
Menurut pawang kelelawar, Virus Corona Virus Diseas (Covid-19) bukan berasal dari Kelelawar. Kalau manusia menyalahkan kelelawar itu pertanda kurang sehat. Apalagi manusia di Wuhan pemakan Kelelawar dan binatang lainnya tambah kegilaannya. Karena kata Allah: “Makanlah makanan yang sehat lagi baik.” Kelelawar bukan untuk dimakan, tetapi dilindungi sebagai cagar kebudayaan. Covid-19 itu buatan manusia untuk perebutan ekonomi. Inilah yang dimaksud perang dunia ketiga “Perang Senjata Biologi Menuju Kiamat.”
Sejak Covid-19 mewarnai dinamika kehidupan diseluruh negara di dunia ini. Banyak pengamat, akademisi, purnawirawan dan militer memberi pandangan spekulatifnya bahwa: Corona Virus yang meledak di Wuhan adalah bagian dari perang ekonomi dengan instrumen senjata biologi antara dua negara: AS dan China. Munculnya Pandemi Covid-19 tentu memiliki sebab akibat yang berdampak pada kacaunya negara-negara di dunia. Pemerintah RRT China harus bertanggungjawab atas pandemi Covid-19 yang membuat manusia banyak meregang nyawa.
Semua negara berjibaku menekan penyebaran Covid-19, beragam jumlah korban. Tak terkecuali Indonesia. Sejak tiga bulan lalu, pemerintah dituduh tidak terbuka terkait jumlah korban meninggal akibat Covid-19. Contoh teranyar pemerintah DKI Jakarta umumkan, sejak awal tanggal 6 Maret (kejadian pertama) sampai dengan 29 Maret ada sekitar 283 orang yang meninggal. Namun, pemerintah pusat melalui Gugus Tugas umumkan angka lain: sekitar 122 orang meninggal. Bagaimana bisa adanya perbedaan soal angka? Padahal pemerintahannya sama, satu kesatuan.
Perbedaan kemauan, pandangan, strategi dan keinginan antara kepala daerah yang berniat melindungi rakyatnya dari serangan wabah Covid-19 dengan pemerintah pusat yang tertekan karena fiskal ekonomi dan mata uang rupiah merosot. Itu hal yang sulit dapat dipahami, apabila terus bersitegang dalam berkomunikasi. Disinilah muncul segregasi politik yang menyelinap dibawah rangkaian masalah Covid-19.
Apalagi kalau mengacu pada informasi resmi, siaran pers Jubir Istana Kepresidenan, Jubir BNPB, siaran pers Jubir Covid-19 dan beberapa anggota DPR, yang disampaikan tidak seiring sejalan dalam membangun awareness kepada masyarakat sebagai penerima informasi. Dampaknya, multitafsir semua dengan bermacam-macam analisa.
Kalau kesampingkan segregasi politik. Kemudian bisa bekerja sama. Maka tidak terlalu sulit menekan persebaran Covif-19. Namun, faktanya komitmen komunikasi yang baik antara pemerintah: Pusat dan Daerah untuk pencegahan itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Keributan yang paling menyebalkan dalam hubungan komunikasi pemerintah masalah pengaturan bus AKAP Pulau Jawa. Pemerintah DKI Jakarta ingin lalu lintas bus distop sementara waktu, untuk menekan laju persebaran Covid-19. Namun, pemerintah pusat via Kemenhub tidak setuju dan tetap perbolehkan bus AKAP sesuai trayek yang dimiliki beroperasi.
Ini pertanda hubungan komunikasi: koordinasi dan atensi tidak berjalan baik. Connectivitas pencegahan Covid-19 tidak terbangun secara baik. Sementara pemerintah sala satu pekerjaan pentingnya dan utama yakni perlu penyelamatan nyawa jiwa rakyat serta memulihkan ekonomi nasional yang sedang menuju level terendah alias turbulensi.
Hubungan komunikasi pemerintah sangat penting dilakukan secara efektif. Kehumasan istana harus terlihat optimis dalam memaparkan berbagai masalah dan strategi yang diambil. Kehumasan tidak terkesan bantah membantah opini yang berkembang. Pemerintah sebaiknya jangan mendrive aparat keamanan untuk melakukan penekanan dengan memproses hukum bagi rakyat yang ingin mendapat informasi yang bagus.
Selama ini ada kesalahan besar metode hubungan komunikasi segitiga antara pemerintah, media dan rakyat. Rata-rata porsentase rakyat menjadi korban setiap masalah pelik dan rumit yang dihadapi pemerintah, contoh kasus penyebar informasi daring media sosial yang dianggap hoaks. Namun, kehumasan pemerintah tidak memperbaiki pola komunikasi yang efektif dan benar, misalnya: soal jumlah kematian akibat Covid-19, perbedaan data tentu disebabkan dan dimunculkan oleh pemerintah yang membuat polemik. Kemudian rakyat meresponnya. Justru ketika mendapat respon dianggap hoaks.
Pemerintah harus menampilkan komunikasi yang baik tanpa harus mengkriminalisasi rakyat penerima informasi. Karena menghadapi Covid-19 ini membutuhkan ketenangan dan keademan bersama. Sekarang terpenting mencari jalan terbaik supaya covid-19 ini bisa dikendalikan, minimal area persebarannya. Tentu permakluman kepada rakyat, kebersamaan itu sangat urgent dan pemerintah lebih fokus pada penanggulangan berdasarkan strategi yang ditetapkan.
Secara gesture, persfektif memilih kata ucapan darurat sipil ketimbang karantina wilayah. Ditambah Pidato kepala negara tidak menyebut kebijakan karantina wilayah, tetapi memilih pembatasan sosial berskala besar dan pilihan darurat sipil. Konotasi kata dan kalimat kepala negara menunjukkan perasaan binggung dan sikap kaget dalam menghadapi masalah. Sehingga membuat seantearo jagat media memunculkan perdebatan.
Ditambah penegasan oleh pernyataan juru bicara pemerintah, mengenai tahapan baru perang melawan Corona seolah hanya memunculkan dua opsi, yaitu pembatasan sosial berskala besar dan darurat dipil. Ada logika dasar kebijakan yang lompat-lompat, yaitu dari dasar UU Nomor 6 tahun 2018 lompat ke Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 23 tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Karantina Wilayah tidak disebutkan sama sekali. Tentu dalam pandangan komunikasi menimbulkan perdebatan panjang dan tak berkesudahan.
Konteks kriteria fenomena komunikasi yang disebutkan oleh Jurgen Habermas, bahwa: pemerintah terkesan peragu, lari dari masalah, tidak mau menanggung beban untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara jika kebijakan karantina wilayah. Padahal, karantina wilayah terdapat pada Bab VII bagian ketiga tentang Karantina Wilayah pada Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018.
Problem solving pemerintah pada pola hubungan komunikasi antara pusat dan daerah. Sehingga sangat sulit bertemu kata sepakat untuk mempercepat instrumen strategi penanganan Covid-19. Pemerintah lebih dominan mengundang perdebatan dibanding keputusan yang mengarah pada solusi, misalnya rencana pemberlakuan darurat sipil.
Lebih penting lagi, komunikasi pemerintah juga tidak membanding-bandingkan dengan negara lain. Kalau pemerintah menolak menerapkan opsi lockdown atau karantina wilayah demi mencegah penyebaran virus corona. Pemerintah harus memastikan solusi yang tepat selain opsi kebijakan lockdown yang dianggap kacau setelah diterapkan oleh beberapa negara lain.
Apalagi, semua jubir pemerintah membanding dan mencontohkan negara yang sudah menerapkan kebijakan lockdown adalah, Italia, Prancis, Malaysia, hingga India. Namun, kebijakan lockdown di India secara nasional malah berujung kacau. Memang sebaik mungkin, kebijakan lockdown harus dipikirkan secara matang dan hati-hati.
Kemudian polemik menolak opsi lockdown ini membuat usang jawaban pemerintah. Akhirnya, mewacanakan rencana berlakukan darurat sipil yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya. Disebutkan, darurat sipil diberlakukan jika ada keadaan bahaya atau gejala yang dapat membahayakan hidup negara. Perdebatan pun tak terhindarkan. Energi negatif sangat dominasi dalam memberi kritik kepada pemerintah.
Mengenai adanya desakkan pada pemerintah untuk mengadopsi Undang-Undang Karantina Wilayah juga harus diperhatikan. Arus informasi ini, pemerintah harus mengaturnya, terutama usulan yang tidak hanya mengacu pada satu perundang-undangan saja. Itu sudah menjadi asas. Bahwa seluruh perundangan lain yang terkait harus dipertimbangkan. Jika tidak produk perundangan tersebut bisa dikategorikan cacat hukum.
Setelah menjadi perdebatan dengan tingkat akurator rakyat dan media menolak rencana “Darurat Sipil”, maka baru kemudian diganti kepada kondisi “Kedaruratan Kesehatan Masyarakat” yang berpijak pada beberapa undang-undang. Inilah contoh komunikasi kurang efektif pemerintah. Mengapa mesti mengundang perdebatan lebih dulu sehingga “Ribut Sana Sini” lalu menutup perdebatan dengan menetapkan sesuai regulasi yang ada: UU Kesehatan, Karantina dan Kebencanaan. Mestinya pemerintah langsung saja. Jadi terlambat seminggu karena berdebat dulu.
Konteks hubungan komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah ini penting sekali. Perlu disadari banyak pihak, Covid-19 bukan hanya musuh bangsa Indonesia. Ini adalah musuh global. Bukan saja yang terkena dampaknya sehingga pemerintah pusat harus tegas memberikan arahannya kepada seluruh Gubernur dan Bupati / Walikota se-Indonesia. Jadi cara menghadapinya harus smart, kesigapan dan kesiapsiagaan. Terutama masyarakat kelas menengah dan kelas bawah harus terintegrasi serta simultan saling memberi informasi agar tercipta ketenangan.
Pemerintah mestinya, sedari awal bekerja keras mengantisipasi dengan langkah keputusan disertai pertimbangan komprehensif dan tetap dalam koridor protokol penanganan Covid-19. Langkah-langkah konkrit segera dilakukan dengan pembentukan gugus tugas Covid-19 hingga ke tingkat desa dan dusun. Semua terlibat dan dilibatkan dalam kolaborasi seluruh stakeholders, eksekutif, legislatif dan Yudikatif, Swasta, Media dan seluruh komponen masyarakat.
Pemerintah dan masyarakat harus berkolaborasi, sikap mutualisme simbiosis dan saling memerlukan. Lebih bermakna lagi, pemerintah kembali melengkapi seluruh kebutuhan masyarakat: jaminan pangan, ekonomi, pendapatan, hingga jaminan hidupnya. Karena seyogyanya amanat undang-undang bahwa negara menjamin seluruh hidup rakyat.[]