jfId – Sebermulanya ia adalah seorang pemuda tampan, putra Rsi Baratwaja di negeri Atasangin. Ia bernama muda Kumbayana. Dikisahkan ia pun memiliki saudara-seguru yang diperlakukan laiknya saudara sendiri, Sucitra. Seusai berguru pada Rsi Baratwaja, Sucitra pergi ke Jawa dan berhasil menjadi seorang raja di negeri Pancala. Mendengar saudaranya menjadi orang sukses di negeri orang, Kumbayana pun berupaya menyusulnya, siapa tahu ia akan pula ketiban beja.
Ketika akan ngejawa (pergi ke pulau Jawa), konon Kumbayana berujar bahwa barang siapa yang dapat menyeberangkannya ke Jawa, seandainya lelaki akan diangkat menjadi saudara (sedulur sinarawedi) dan seandainya perempuan akan dijadikan isteri. Syahdan, seekor kuda sembrani mendarat dari angkasa dan membawa Kumbayana pergi ke pulau Jawa. Pada kisah tentang masa lalu Rsi Drona ini terdapat sisipan sejarah aib tertentu.
Syahdan, ketika mengangkasa, Kumbayana tengah membuncah berahinya. Ia pun menyetubuhi kuda sembrani itu di angkasa. Sama seperti peristiwa yang dialami oleh Rsi Jamadagni, ayah sang Bargawa (Bargawa dan Dekonstruksi, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev), ada sanggit yang mengolah bahwa isteri sang Rsi Drona juga dijadikan pemuas berahi para lelaki hidung-belang sehingga keluarlah supata atau sumpah serapahnya, bahwa sang isteri tak ubahnya seekor kuda tunggangan. Maka dalam pewayangan dikisahkan bahwa Kumbayana membawa serta anaknya yang bernama Aswatama ketika ngejawa, dimana secara harfiah nama anak itu bermakna “anak kuda.”
Sesampainya di negeri Pancala, sontak Kumbayana segera pergi menemui Sucitra yang kini menyandang gelar sebagai Prabu Drupada. Tanpa anggah-ungguh sebagaimana menghadap seorang raja, Kumbayana pun langsung merangkul Prabu Drupada laiknya seorang karib. Menghadapi kekurangajaran itu sang patih negeri Pancala, Gandamana, segera menyeret Kumbayana ke luar Setinggil dan menghajarnya hingga bonyok: hidung bengkok, tangan cacat, dan kaki pincang. Atas dasar perlakuan inilah kelak Kumbayana menyimpan dendam pada Prabu Drupada yang dimuntahkan saat perang Bharatayuda tiba.
Di antara berbagai karakter wayang, Rsi Drona adalah salah satu karakter yang paradoksal. Ia adalah seorang rsi yang identik dengan kesucian, tapi ia penuh pula dengan bualan dan ketakwibawaan. Ada beberapa lakon carangan yang mengisahkan kisah asmara sang Rsi Drona, dimana semuanya hanya berbuah kewirangan. Dua isteri Sri Kresna pernah pula menggeliatkan berahi sang rsi, tapi semuanya bertepuk sebelah tangan, adik Baladewa itu telah lebih dulu memakannya.
Dalam kisah pewayangan, Drona adalah pasangan serasi seorang Sangkuni (Politik Tanpa Bermain Catur, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Dalam adegan pasewakan maupun paseban njawi, kerap dua karakter yang mewarnai perjalan politik dinasti Kurawa ini saling berseloroh sehingga mengundang gelak-tawa para penikmat wayang. Sangkuni merupakan sosok yang lihai dalam meracik strategi untuk meraih sesuatu secara halus (politik diplomasi), sementara Drona merupakan—di samping seorang rsi—adalah juga sesosok Jenderal perang (politik militer). Perpaduan dua karakter ini menjadikan Kurawa mampu meraih tampuk kekuasaan di Hastina dengan menyingkirkan Pandawa.
Taruhlah dalam lakon Dewa Ruci, bagi Sangkuni yang terkenal jeli dalam membaca sisi kelemahan lawan, kekuatan Pandawa terletak pada Bima. Ketika ksatria Panenggak itu dapat disingkirkan, maka dengan mudahnya Pandawa akan tumbang. Untuk urusan lapangan, ditunjuklah Rsi Drona sebagai orang yang terbau pula dengan kelihaiannya dalam membual masalah agama dan spiritualitas. Bima pun ditipu Drona untuk blusukan ke dalam hutan yang angker dan menyelam ke dalam lautan agar mati dan tak merecoki segala upaya pelemahan dan penyingkiran Pandawa.
Berkaca pada lakon Dewa Ruci, sudah lama dikisahkan peran agama dan spiritualitas semu dalam percaturan politik yang penuh kelicikan. Dalam hal ini Drona laiknya kain lap dalam tumpukan gelas dan piring yang kotor (Kain Lap dan Peradaban, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Ia adalah seorang rsi yang memiliki umat seperti halnya Kurawa yang penuh dengan hedonisme dan perendahan nilai-nilai agama serta spiritualitas. Hal inilah yang menyebabkannya, meski seorang rsi, menjadi bahan ejekan dan perendahan. Sebagaimana ungkapan the right man in the wrong place, demikianlah Rsi Drona yang ternyata hanyalah seorang malang yang ingin membahagiakan anak semata wayangnya, Aswatama. Demi sang anak, terkadang harga diri, integritas dan kesalehan adalah hal yang tak lagi penting. Tak jadi soal seandainya Drona belaka yang mengalaminya. Tapi nyatanya Drona adalah tak semata Drona, ada berbagai jalinan di balik sosoknya: agama dan spiritualitas. Hanya karena ulahnya, maka menjadi buruk pula citra jalinan di balik sosoknya. Dalam khazanah budaya Jawa, hal ini disebut sebagai keblendok yang kerap kali mewarnai peristiwa politik tertentu.
(Heru Harjo Hutomo/ Penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)