jfid – Google, raksasa teknologi dan mesin pencari di internet, baru-baru ini sepakat membayar denda sekitar US$ 5 miliar atau setara Rp 77 triliun atas tuntutan pelacakan pengguna saat memakai browser mereka, Chrome dengan mode incognito.
Denda tersebut dibagi rata kepada sekitar 5,3 juta pengguna yang terkena dampak pelanggaran privasi Google, sehingga masing-masing pengguna mendapat ganti rugi sebesar US$ 5 ribu atau sekitar Rp 77 juta.
Apa yang terjadi? Mengapa Google harus membayar denda sebesar itu?
Dan apa dampaknya bagi pengguna dan industri teknologi?
Mode Incognito Tidak Se-Privasi yang Dikira
Mode incognito atau mode privasi adalah fitur yang ditawarkan oleh beberapa browser, termasuk Chrome, untuk memungkinkan pengguna menjelajah internet tanpa menyimpan riwayat, cookie, atau data pribadi lainnya di perangkat mereka.
Fitur ini dianggap berguna bagi pengguna yang ingin menjaga kerahasiaan aktivitas online mereka, misalnya saat mengakses situs-situs sensitif, mencari informasi kesehatan, atau berbelanja online.
Namun, ternyata mode incognito tidak se-privasi yang dikira oleh banyak pengguna.
Dalam gugatan yang diajukan pada Juni 2020, penggugat menuduh Google telah melacak pengguna lewat analitik, cookie, dan aplikasi lain meski menggunakan mode incognito.
Penggugat juga menuduh Google mengumpulkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tentang pengguna yang mengira mereka telah mengambil langkah untuk melindungi privasi mereka.
Atas tindakan ini, Google menjadi mengetahui informasi dari pengguna terkait relevansi kebiasaan akses, berbelanja, hingga hobi dan pertemanan.
Informasi tersebut kemudian digunakan oleh Google untuk menargetkan iklan, meningkatkan pendapatan, dan memperkuat dominasinya di pasar digital.
Google Akui Kesalahan dan Sepakat Damai
Google awalnya membantah tuduhan tersebut dan berusaha untuk menghentikan gugatan dengan alasan bahwa pengguna telah menyetujui persyaratan dan kebijakan privasi Google saat menggunakan layanannya, termasuk mode incognito.
Google juga mengklaim bahwa mode incognito hanya berfungsi untuk mencegah penyimpanan data di perangkat pengguna, bukan untuk menghentikan pelacakan oleh pihak ketiga.
Namun, hakim pengadilan federal San Francisco, Lucy Koh, menolak usaha Google tersebut dan memutuskan bahwa gugatan dapat dilanjutkan karena Google tidak memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada pengguna tentang praktik pelacakan mereka.
Hakim Koh juga menilai bahwa Google telah melanggar undang-undang telepon federal dan privasi California, yang melarang penyadapan tanpa izin.
Setelah putusan tersebut, Google akhirnya mengakui kesalahannya dan sepakat untuk menyelesaikan gugatan secara damai dengan membayar denda sekitar US$ 5 miliar atau setara Rp 77 triliun.
Selain itu, Google juga berjanji untuk meningkatkan transparansi dan kontrol pengguna terhadap data pribadi mereka, serta menghentikan atau membatasi pelacakan pengguna saat menggunakan mode incognito.
Dampak bagi Pengguna dan Industri Teknologi
Penyelesaian gugatan ini dianggap sebagai kemenangan bagi pengguna yang merasa hak privasi mereka telah dilanggar oleh Google.
Selain mendapat ganti rugi sebesar US$ 5 ribu atau sekitar Rp 77 juta per pengguna, mereka juga berharap dapat lebih memahami dan mengelola data pribadi mereka saat menggunakan layanan Google, khususnya mode incognito.
Namun, penyelesaian gugatan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan dan tantangan bagi pengguna dan industri teknologi.
Pertama, apakah ganti rugi yang diberikan Google sudah cukup adil dan proporsional dengan kerugian yang dialami pengguna?
Kedua, apakah Google benar-benar akan mengubah praktik pelacakan mereka atau hanya melakukan perubahan kosmetik untuk menghindari gugatan serupa di masa depan?
Ketiga, apakah gugatan ini akan memicu tindakan hukum terhadap perusahaan teknologi lain yang juga diduga melanggar privasi pengguna, seperti Facebook, Amazon, atau Apple?
Penyelesaian gugatan antara Google dan pengguna mode incognito ini mungkin bukan akhir dari permasalahan privasi di dunia digital, melainkan awal dari perubahan dan perbaikan yang diperlukan.
Pengguna, perusahaan, dan pemerintah harus bekerja sama untuk menciptakan standar dan regulasi yang dapat melindungi hak dan kepentingan semua pihak, tanpa mengorbankan inovasi dan kemajuan teknologi.