Gibran Rakabuming di Ambang Kekalahan? Simak Gugatan Denny Indrayana yang Menghebohkan Ini!

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
10 Min Read
Gibran Rakabuming di Ambang Kekalahan? Simak Gugatan Denny Indrayana yang Menghebohkan Ini!
Gibran Rakabuming di Ambang Kekalahan? Simak Gugatan Denny Indrayana yang Menghebohkan Ini!
- Advertisement -

jfid – Denny Indrayana, mantan wakil menteri hukum dan hak asasi manusia, kini menjadi salah satu penggugat yang menantang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia calon presiden dan wakil presiden.

Putusan tersebut membuka peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto di Pilpres 2024.

Apa yang melatarbelakangi gugatan Denny Indrayana? Apa argumen hukum dan politik yang diajukan? Dan apa dampaknya bagi Pilpres 2024?

Latar Belakang Gugatan

Denny Indrayana mengajukan gugatan uji formil ke MK bersama dengan Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara lainnya, pada 27 November 2023. Gugatan tersebut terdaftar dengan nomor perkara 145/PUU-XXI/2023.

Ad image

Gugatan ini menargetkan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia capres-cawapres. Pasal tersebut berbunyi:

“Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden harus memenuhi syarat: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun pada saat mendaftar sebagai Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden, kecuali bagi Calon Presiden dan/atau Calon Wakil Presiden yang pernah menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.”

Pasal ini merupakan hasil dari putusan MK atas perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh sejumlah tokoh muda, termasuk Sandiaga Uno, mantan cawapres Prabowo Subianto di Pilpres 2019.

Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan para pemohon dan mengubah batas usia capres-cawapres dari 35 tahun menjadi 40 tahun, dengan pengecualian bagi yang pernah menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

Putusan MK ini menuai kontroversi karena dianggap menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Solo. Gibran, yang lahir pada 1 Oktober 1988, belum genap berusia 40 tahun pada saat pendaftaran capres-cawapres yang ditetapkan pada 20-22 Desember 2023.

Namun, berkat putusan MK, Gibran bisa lolos sebagai cawapres Prabowo Subianto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju, yang terdiri dari Partai Gerindra, PDIP, PKB, PPP, dan NasDem.

Denny Indrayana, yang juga merupakan pendiri Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), mengkritik putusan MK tersebut sebagai “megaskandal mahkamah keluarga”.

Ia menuding adanya konflik kepentingan dan intervensi dari pihak-pihak tertentu dalam pembuatan putusan tersebut.

Salah satu bukti yang diajukan Denny Indrayana adalah hasil pemeriksaan etik terhadap Anwar Usman, mantan ketua MK yang memimpin sidang perkara nomor 90/PUU-XXI/2023.

Dalam putusan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) nomor 01/MKHK/2023, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat karena tidak mengungkapkan hubungannya dengan Joko Widodo sebagai saudara sepupu.

Denny Indrayana juga mengungkapkan adanya dugaan keterlibatan Jokowi dalam proses pembuatan putusan MK tersebut. Ia mengutip pernyataan Jokowi yang mengatakan bahwa ia sudah mengetahui hasil putusan MK sebelum diumumkan.

Selain itu, ia juga menyoroti adanya pertemuan antara Jokowi dan Anwar Usman di Istana Negara pada 25 Oktober 2023, sehari sebelum sidang putusan MK digelar.

Argumen Hukum dan Politik

Dalam gugatannya, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar mengajukan beberapa argumen hukum dan politik untuk membatalkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang diubahnya.

Berikut adalah beberapa argumen utama yang mereka sampaikan:

  • Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tidak sah karena dibuat melalui proses yang tidak transparan, tidak akuntabel, dan tidak independen. Putusan tersebut juga melanggar asas keadilan, kepastian hukum, dan keseimbangan kekuasaan.
  • Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang mengatur syarat capres-cawapres. Pasal tersebut berbunyi:

Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus memenuhi sejumlah syarat. Pertama, mereka harus menjadi Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri. Kedua, calon tersebut tidak boleh pernah mengkhianati negara.

Selain itu, mereka harus cakap secara jasmani dan rohani. Syarat berikutnya adalah berusia paling rendah 35 tahun. Selain itu, calon harus setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.

Calon juga tidak boleh pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Mereka tidak boleh menjadi anggota organisasi terlarang atau terlibat dalam kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terakhir, calon tidak sedang menjadi terpidana.

Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar berpendapat bahwa Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 bersifat final dan tidak dapat diubah oleh MK.

Mereka juga menilai bahwa batas usia 35 tahun yang ditetapkan oleh konstitusi adalah hasil dari kesepakatan politik yang melibatkan berbagai elemen bangsa.

Oleh karena itu, MK tidak berwenang untuk mengubahnya menjadi 40 tahun, apalagi dengan memberikan pengecualian bagi yang pernah menjabat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

  • Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 mengandung diskriminasi dan menguntungkan sekelompok orang tertentu, yaitu Gibran Rakabuming Raka dan para kepala daerah lainnya yang ingin maju sebagai capres-cawapres. Putusan tersebut juga mengabaikan hak politik rakyat untuk memilih dan dipilih tanpa diskriminasi.
  • Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan nasional. Putusan tersebut dapat memicu konflik antara pendukung dan penolak Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres Prabowo Subianto. Putusan tersebut juga dapat menimbulkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga MK dan sistem demokrasi di Indonesia.

Dampak bagi Pilpres 2024

Gugatan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar ini tentu saja memiliki dampak yang signifikan bagi Pilpres 2024, khususnya bagi pasangan Prabowo-Gibran yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju.

Jika MK mengabulkan gugatan tersebut dan membatalkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, maka Gibran Rakabuming Raka tidak lagi memenuhi syarat sebagai cawapres Prabowo

Reaksi dan Respons

Gugatan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar ini telah menimbulkan berbagai reaksi dan respons dari berbagai pihak. Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi target utama gugatan tersebut, belum memberikan komentar resmi.

Namun, beberapa anggota Koalisi Indonesia Maju telah menyatakan dukungan mereka terhadap Gibran dan mengecam gugatan tersebut sebagai upaya politis untuk menggagalkan pencalonan Gibran.

Prabowo Subianto, capres yang akan berpasangan dengan Gibran, juga belum memberikan komentar resmi. Namun, beberapa sumber mengatakan bahwa Prabowo tetap percaya kepada Gibran dan yakin bahwa MK akan menolak gugatan tersebut.

Sementara itu, Joko Widodo, ayah Gibran, juga belum memberikan komentar resmi. Namun, beberapa sumber mengatakan bahwa Jokowi merasa kecewa dengan gugatan tersebut dan menilai bahwa gugatan tersebut tidak berdasar.

Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar sendiri telah menyatakan bahwa mereka siap menghadapi segala konsekuensi dari gugatan mereka.

Mereka juga menegaskan bahwa gugatan mereka bukanlah upaya politis, melainkan upaya hukum untuk mempertahankan konstitusi dan demokrasi di Indonesia.

Kesimpulan

Gugatan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar ini tentu saja memiliki dampak yang signifikan bagi Pilpres 2024 dan politik Indonesia secara umum.

Gugatan tersebut tidak hanya menantang putusan MK yang kontroversial, tetapi juga menantang praktik politik yang dianggap tidak sehat dan tidak demokratis.

Bagaimanapun, hasil dari gugatan tersebut masih belum bisa diprediksi. MK sendiri belum menentukan jadwal sidang untuk gugatan tersebut.

Namun, satu hal yang pasti, gugatan tersebut akan menjadi salah satu isu utama dalam Pilpres 2024 dan akan sangat menentukan arah dan dinamika politik Indonesia di masa depan.

Demikianlah berita ini kami sampaikan. Semoga dapat memberikan informasi yang jelas, jernih, dan akurat kepada pembaca.

Terima kasih telah membaca. Selamat beraktivitas dan tetap jaga kesehatan. Sampai jumpa di berita berikutnya. Salam hangat dari kami.

- Advertisement -
Share This Article