jfid – Saat konflik Israel-Palestina memanas, banyak orang di seluruh dunia yang bersimpati dengan penderitaan rakyat Palestina.
Salah satu bentuk solidaritas mereka adalah dengan melakukan boikot terhadap produk-produk yang berasal dari Israel atau yang mendukung kebijakan Israel.
Namun, tahukah Anda bahwa gerakan boikot ini justru terinspirasi oleh gerakan non-Muslim?
Gerakan boikot, divestasi, dan sanksi, atau yang dikenal sebagai BDS Movement, adalah sebuah gerakan global yang bertujuan untuk menekan Israel agar menghormati hak-hak rakyat Palestina dan mengakhiri pendudukan dan apartheid.
Gerakan ini diluncurkan pada tahun 2005 oleh lebih dari 170 organisasi masyarakat sipil Palestina, yang mengajak masyarakat internasional untuk melakukan tiga tindakan utama:
- Boikot terhadap produk-produk, perusahaan-perusahaan, dan institusi-institusi Israel atau yang terlibat dalam pelanggaran hak-hak Palestina.
- Divestasi atau penarikan investasi dari perusahaan-perusahaan atau lembaga-lembaga yang terkait dengan Israel atau yang mendukung kebijakan Israel.
- Sanksi atau pengenaan sanksi politik, ekonomi, atau akademik terhadap Israel atau pihak-pihak yang berkolaborasi dengan Israel.
Gerakan BDS ini terinspirasi oleh gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan, yang berhasil mengakhiri rezim rasialis yang membedakan perlakuan antara kulit putih dan kulit hitam.
Gerakan anti-apartheid ini juga didukung oleh gerakan boikot internasional, yang melarang perdagangan, olahraga, budaya, dan hubungan akademik dengan Afrika Selatan.
Namun, sebelum ada gerakan BDS, ternyata sudah ada gerakan boikot yang dilakukan oleh para aktivis non-Muslim, bahkan oleh warga Israel sendiri.
Gerakan boikot ini muncul sebagai respons terhadap kekejaman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina.
Salah satu gerakan boikot pertama yang muncul adalah pada tahun 1988, saat intifadah pertama meletus. Intifadah adalah istilah Arab yang berarti pemberontakan atau perlawanan.
Intifadah pertama adalah gelombang protes dan aksi-aksi sipil yang dilakukan oleh rakyat Palestina di wilayah pendudukan Israel, yang berlangsung dari tahun 1987 hingga 1993.
Pada saat itu, sekelompok warga Israel yang menentang pendudukan mengajak warga Israel lainnya untuk tidak membeli produk-produk yang dibuat di permukiman-permukiman Yahudi di wilayah pendudukan, termasuk Dataran Tinggi Golan.
Mereka juga menyebarkan daftar produk-produk tersebut kepada masyarakat dan misi asing di Yerusalem Timur.
Selain itu, ada juga sebuah kelompok yang bernama The 21st Year, yang menerbitkan sebuah manifest perjuangan melawan pendudukan.
Anggota-anggota kelompok ini menyatakan penolakan mereka untuk bekerja sama dengan pendudukan dan berjanji untuk melakukan sejumlah hal, seperti:
- Tidak pernah masuk ke wilayah-wilayah pendudukan tanpa undangan dari penduduk Arab di wilayah itu.
- Tidak membiarkan anak-anak mereka terkena bias rasis dari sistem sekolah.
- Memboikot institusi dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan yang tidak memperlakukan buruh warga Palestina secara manusiawi.
- Memboikot produk hasil permukiman ilegal.
- Menolak tindakan represif.
Gerakan boikot ini semakin berkembang pada tahun 1997, ketika Gush Shalom, sebuah organisasi Israel pendukung perdamaian Israel-Palestina, meluncurkan seruan untuk meminta Israel serta Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan lain-lain yang memiliki perjanjian perdagangan dengan Israel untuk memboikot produk-produk dari pemukiman Yahudi di wilayah Palestina yang diduduki.
Mereka menyodorkan daftar dalam bahasa Ibrani, Arab, dan Inggris berisi produk yang dihasilkan di pemukiman.
Gerakan boikot ini semakin mendapat perhatian dunia internasional ketika intifadah kedua meletus pada tahun 2000.
Intifadah kedua adalah gelombang kekerasan yang lebih besar dan lebih berdarah daripada intifadah pertama, yang berlangsung dari tahun 2000 hingga 2005.
Pada tahun 2001, sebanyak 35 warga Israel yang merupakan akademisi dan seniman menerbitkan sebuah panggilan untuk memboikot Israel.
Mereka adalah warga Israel dan Yahudi yang tinggal di berbagai negara yang keluarganya telah menjadi korban dari rasisme dan genosida di masa lalu, dan yang merasa mereka tidak dapat tinggal diam.
Mereka menyerukan warga Israel untuk memulai boikot pribadi, sebelum mengajak orang-orang di sekitarnya.
Selain itu, mereka juga mengatur kegiatan untuk menekan pemerintah masing-masing untuk memotong hubungan ekonomi dan komersial dengan Israel dan untuk membatalkan perjanjian ekonomi preferensial dengan Israel.
Pada tahun 2002, gerakan boikot semakin marak dipicu oleh serangan ganas tentara Israel di kota-kota, desa-desa, dan kamp-kamp pengungsi di Tepi Barat, yang dikenal sebagai Operasi Defensive Shield atau Pembantaian Jenin.
Serangan ini menimbulkan gelombang protes di dunia Arab, Eropa, Amerika Serikat, dan lain-lain.
Akademisi, seniman, dan cendekiawan meluncurkan sejumlah inisiatif, di antaranya gerakan untuk mengisolasi Israel di arena internasional melalui moratorium, boikot, dan kampanye divestasi.
Salah satu inisiatif yang paling terkenal adalah seruan untuk moratorium dukungan Uni Eropa dan European Science Foundation terhadap Israel, yang diprakarsai oleh Profesor Steven Rose, seorang fisikawan, dan Profesor Hilary Rose dari Universitas Bradford dan didukung oleh 120 akademisi dari berbagai negara.
Seruan ini memiliki efek langsung, ditindaklanjuti oleh keputusan organisasi bagi para dosen dan guru dalam pendidikan tinggi di Inggris untuk menyerukan boikot akademis.
Keputusan ini meminta semua lembaga pendidikan tinggi Inggris untuk menimbang dengan tujuan memutuskan hubungan akademik masa depan dengan Israel.
Keputusan ini menegaskan bahwa hubungan tersebut harus dilanjutkan hanya setelah penarikan penuh semua pasukan Israel, negosiasi untuk melaksanakan resolusi PBB, dan janji memberikan akses terhadap kepada institusi pendidikan tinggi.
Pada bulan yang sama, sebuah petisi boikot seni juga diluncurkan, menyerukan semua artis yang berhati nurani di seluruh dunia untuk membatalkan semua pameran dan acara budaya lainnya yang dijadwalkan dilangsungkan di Israel.
Lebih dari 180 seniman dari Australia, Austria, Belgia, Kanada, Mesir, Prancis, Jerman, India, Irlandia, Italia, Belanda, Norwegia, Palestina, Swedia, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Israel sendiri menandatanganinya.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa gerakan boikot produk Zionis Israel bukanlah gerakan yang berasal dari kaum Muslim saja, melainkan juga dari non-Muslim, bahkan dari warga Israel sendiri.
Gerakan ini menunjukkan bahwa ada banyak orang yang peduli dengan nasib rakyat Palestina dan menentang kebijakan Israel yang tidak adil dan tidak manusiawi.
Gerakan ini juga menunjukkan bahwa ada banyak cara untuk berjuang untuk kebebasan, keadilan, dan kesetaraan, tanpa harus menggunakan kekerasan.