jfid – Tragedi 1965 di Indonesia adalah salah satu peristiwa paling kelam dalam sejarah negara ini. Pembantaian massal yang terjadi setelah kegagalan usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI) telah menewaskan ratusan ribu orang, banyak di antaranya dituduh sebagai pendukung komunis.
Baru-baru ini, sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi ini telah dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika.
Dokumen ini berisi catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968 dan memberikan wawasan baru tentang peristiwa tragis tersebut.
Dokumen tersebut mengungkap bahwa Tentara Angkatan Darat Indonesia mempertimbangkan menjatuhkan Soekarno.
Selain itu, dokumen ini juga mencatat konflik yang memanas antara AS dan Presiden Sukarno, konflik antara Tentara Indonesia dan PKI, Gerakan 30 September dan pembunuhan massal sesudahnya, serta hal-hal yang dilakukan untuk menguatkan rezim Suharto.
Namun, interpretasi dari dokumen-dokumen ini dapat bervariasi dan konteks sejarahnya sangat penting.
Meskipun dokumen ini memberikan wawasan baru tentang peristiwa tragis tersebut, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dan aspek sejarah yang belum sepenuhnya dipahami.
Reaksi dunia internasional terhadap tragedi 1965 di Indonesia cukup beragam. Sebagian besar strategi AS di Asia Tenggara didasarkan pada logika “teori domino”: jika satu negara di Asia jatuh ke tangan komunis, negeri-negeri lain di kawasan yang sama akan mengikutinya.
Jatuhnya PKI “sangat mengurangi beban pertaruhan Amerika di Vietnam,” tulis Robert McNamara merangkum pendapat George F. Kennan, arsitek strategi penangkalan (containment) Perang Dingin pada 1966.
Menghadapi kejatuhan Sukarno dan kehancuran PKI, Uni Soviet mundur perlahan namun tidak memprotes pembantaian.
Setelah 1965 Indonesia menjadi “mitra yang kalem dan patuh” terhadap Amerika Serikat. Dampak peristiwa 1965 di Indonesia menjalar ke seluruh dunia. Peristiwa itu menginspirasi aksi pemusnahan komunis di berbagai tempat di dunia.
Namun, perlu dicatat bahwa reaksi ini dapat bervariasi tergantung pada konteks dan perspektif masing-masing negara atau pihak. Selain itu, banyak korban yang identitasnya tidak pernah diketahui atau diakui.
Pembantaian massal pasca-tragedi G30S 1965 adalah sebuah tragedi besar yang menewaskan ratusan ribu orang dan meninggalkan luka mendalam bagi bangsa Indonesia.
Korban pembantaian ini adalah orang-orang yang dituduh sebagai pendukung komunis setelah kegagalan usaha kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Anggota dan simpatisan PKI, anggota Gerwani, Abangan Jawa, atheis, “kafir” dan “Orang Indonesia keturunan Tionghoa” adalah beberapa kelompok yang menjadi sasaran pembantaian.
Jumlah korban tewas selama pembantaian pasca-tragedi G30S diperkirakan sebesar 430.590.
Namun, perlu diingat bahwa angka ini bervariasi tergantung pada sumber dan metode penelitian. Selain itu, banyak korban yang identitasnya tidak pernah diketahui atau diakui.
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban.
Di Bali, setidaknya ada sebanyak 80.000 orang yang menjadi korban pembantaian pada periode Desember 1965 dan awal 1966.
Peristiwa tragis ini adalah sebuah pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya toleransi dan perdamaian dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia.