“Tidak mungkin orang dapat mencintai Negeri dan bangsanya kalau tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau tak mengenal sejarahnya, apalagi kalau tidak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,” -Pramoedya-
jfID – Generasi milenial merupakan generasi yang sudah melupakan kertas-kertas sejarah, maaf, jika persepsi ini salah, namun izinkan saya menguraikan persepsi tersebut. Pertama, hari ini kita terjebak pada perebutan kekuasaan yang orientasinya hanya kepentingan kelompok dan bahkan individu. “politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.” (politics at its worst is aselfish grab for power, glory and riches). -peter merkl- terbukti dengan banyaknya kader partai politik dan pejabat pemerintah yang terjerat kasus korupsi. Saya tidak akan sebut nama-nama politisi dan pejabat pemerintah yang terjerat korupsi tersebut, silahkan di cek sendiri. Bukankah di era milenial ini segala informasi ada dalam genggaman.
Kedua, kita merasa ada dalam satu balutan NKRI namun hati selalu tepecah belah. Akhir-akhir ini kita sering mengatakan saya Indonesia saya Pancasila. Tapi selepas mengucapkan, kita menyimpan kebencian bahkan hingga melontarkan bahasa kafir kepada sanak saudara. Tidak hanya itu, kita sering menebar fitnah dan berita bohong (Hoax) yang itu membuat kondisi politik kita tidak stabil (kacau). Contoh, kasus Ratna Sarumpaet dengan informasi/berita bohongnya. Ditolaknya Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia ustaz Tengku Zulkarnain oleh massa Dewan Adat Dayak (DAD) saat mendarat di Bandara Susilo, Sintang, Kalimantan Barat (12/1/2017) hanya karena beliau (tengku Zulkarnain) sebut suku dayak kafir.
Penembakan yang menewaskan 16 orang oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) terjadi di Kabupaten Nduga, pada 1 Desember. Dan sebelum tragedi itu ada, sekelompok mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) melakukan demontrasi di Surabaya dengan salah satu tuntutannya, yaitu; Papua merdeka. Dan masih banyak lagi kejadian yang membuat kita mengalami dis-integrasi.
Dan ketiga adalah masalah etika. kita seringkali melupakan etika atau adab, karena hanya merasa paling pintar dan benar. Bukankah adab itu lebih dulu daripada ilmu yang kalau ungkapan pesantrennya “al-akhlaqu qoblal ilmi” saya tidak habis fikir, akhir-akhir ini banyak yang menganggap dirinya pengikut Nabi Muhammad dan merasa paling islami, namun cara berdakwah selalu mengucapkan bahasa yang kasar dan penuh dengan kebencian. Bukankah Rosulullah SAW di utus di muka bumi ini untuk memperbaiki ahlaq. “Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq.” ( HR Bukhari).
Dan yang lebih mengerikan lagi, generasi milenail menjadi salah satu aktor dalam kondisi tersebut. Untuk sebagian yang tidak manjadi aktor mereka lebih memilih apatis. Bahkan di tengah wabah pandemi seperti sekarang, para politisi masih saling mencari peluang untuk menjatuhkan lawan politiknya.
Saya mengutip dari perkataan Surya Paloh “Saya juga merintis perjuangan politik. Karena sejak remaja saya pengagum Bung Karno, saya ingin mewujudkan pemikiran-pemikiran dan cita-cita Bung Karno terhadap bangsa ini. Tetapi ternyata saya harus melewati jurang yang terjal dan dalam, bukan sesuatu yang mulus. Saya jatuh bangun, lalu ditekan, disingkirkan.”
Memang perjalanan kita sebagai bangsa dan negara masih belum usai, namun bukan tidak mungkin kita akan mengalami disintegrasi jikalau kita terjebak pada politik yang nir-gagasan dan bahkan mengarah pada banalitas dan praktik-praktik culas.
Sudah saatnya kita membuka kembali lembar sejarah kita dan mempelajari berkas-berkas-nya. Contoh; pada saat zaman pergerakan nasional. saat itu, politik menjelma jadi panggung gagasan. Politik menjadi ruang sejarah yang menjadi lahan subur gagasan-gagasan besar. Misalnya perdebatan antara Tjipto Mangoen Koesoemo dengan Soetatmo Soerjokoesoemo tentang bangunan nasionalisme bagi bangsa ini kedepan.
Perdebatan tersebut dipaparkan oleh Budiawan (1994) yang dikutip Airlangga Pribadi dalam Patriotisne Tjipto Mangoenkoesoemo. Soetatmo mengajukan argumen tentang pentingnya membangun nasionalisme berlandaskan identitas Jawa, karena nasionalisme Jawa memiliki landasan kebudayaan, bahasa dan sejarah yang sama sebagai dari bagian dari suku Jawa. Sementara nasionalisme Hindia tidak memiliki dasar kultural maupun bahasa yang sama dan tidak lebih dari produk kolonialisme belanda.
Berbeda dengan Soetatmoe dalam pandangan Tjipto, mereka yang mengusung paham nasionalisme Jawa tidak menyadari gerak perkembangan sejarah dunia. Kaum bumi putera haruslah belajar pada kemajuan Eropa untuk mengejar ketertinggalan dan menjadi bangsa yang mandiri. Meskipun Hindia Belanda sendiri terdiri atas beragam suku, golongan, kebudayaan, bahasa, namun pencarian atas pijakan persatuan sebagai bangsa, tidak bisa lagi dikembalikan dalam bayangan masa lalu tentang kemegahan Jawa yang telah menjadi himpunan wilayah kolonial Belanda. Bagi Tjipto tugas yang di pikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia. Silang gagasan kembali terjadi pada kesempatan kedua di kongres pengembangan kebudayaan Jawa, 5-7 juli 1918. Tjipto melakukan kritik terhadap kebudayaan Jawa dengan memperlihatkan sistem kasta serta asas pergantian bupati yang bersifat turun temurun, yang justru menjadi penyangga sistem kolonialisme Belanda.
Ironis, jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, kenapa demikian? Sebab, sekarang kita sering menyaksikan perdebatan yang itu terkait soal-soal pragmatis dan pembelaan atas kepentingan pribadi dan satu golongan.
Di atas, saya mencotohkan Surya Paloh dalam mengangumi pemikiran dan cara berpolitik Soekarno. Tapi di sini saya tidak akan mengatakan, jika bung Surya itu meneladani cara berpolitik Soekarno silahkan pembaca menilai sendiri. Tapi yang pasti, perkataan Surya Paloh tersebut layak direnungkan oleh generasi milenial ini hari ini.
Menurut pandangan saya. Seharusnya hari ini kita mampu menggali modalitas kebudayaan, guna meraih kemajuan teknologi atau menghadapi globalisasi. Dengan cara membuka kembali lembar- lembar sejarah bangsa.
Penulis: Ahmad Wafi