jfid – Gaza, sebuah tanah yang dipenuhi asap dan puing-puing akibat bom Israel. Sebuah tanah yang setiap hari harus menghadapi kematian dan kehancuran. Sebuah tanah yang tidak ada lagi yang bisa menangisi korban-korban perang.
Di tanah ini, “rumah” bukan lagi tempat yang aman dan nyaman; melainkan tempat yang rapuh dan rentan hancur tanpa peringatan. Di tanah ini, harapan terbesar adalah tetap hidup bersama keluarga, terhindar dari kehilangan orang tercinta atau menghadapi ajal bersama-sama.
Bayangkan keluarga-keluarga yang lenyap dari daftar penduduk, musnah bersama-sama. Pada pandangan pertama, tampak seperti bencana, tapi jika diteliti lebih lanjut, mirip seperti akhir yang tragis namun berkah di bawah hujan bom yang tak henti-hentinya. Tidak ada lagi yang bisa berduka. Dan dengan cara tertentu, ada orang-orang yang iri dengan mereka yang menemukan akhir yang damai, lolos dari kegilaan pengeboman dan pembunuhan.
Di tengah ketakutan dan kesedihan yang menyelimuti Gaza, terdengar suara-suara tangisan dari orang-orang yang kehilangan sahabat, kerabat, atau keluarga mereka. Kemarin, kabar menyayat hati datang tentang kematian jurnalis Roshdi Sarraj, seorang teman dekat. Keterkejutan atas kepergiannya sulit diterima. Pikiran tertuju pada istrinya, Shorouq, seorang teman lainnya, dan putri mereka yang baru berusia satu tahun, Dania.
Sehari sebelumnya, saya dan saudara-saudara saya terbangun dengan kabar yang lebih menghancurkan: keluarga teman kami yang berjumlah sembilan orang tewas. Keluarga ini termasuk ibunya, Nibal, dan putri-putrinya: Saja, Doha, Sana, Mariyam, dan Lana, serta putranya, Mohammed.
Mereka semua meninggal dalam serangan udara Israel di Deir el-Balah, sebuah kota di tengah Jalur Gaza. Rumah mereka hancur berantakan oleh bom yang menghujani kawasan padat penduduk itu. Tubuh-tubuh mereka ditemukan di antara puing-puing oleh tim penyelamat.
Saya masih ingat wajah-wajah mereka yang ceria dan ramah saat kami bertemu beberapa minggu lalu di pesta ulang tahun salah satu anggota keluarga mereka. Saya masih ingat suara-suara mereka yang penuh semangat dan harapan saat kami bercerita tentang mimpi-mimpi kami untuk masa depan. Saya masih ingat pelukan-pelukan hangat mereka saat kami berpisah dengan janji untuk bertemu lagi.
Sekarang, saya hanya bisa melihat foto-foto mereka di media sosial, dengan status “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” (Kami berasal dari Allah dan kepada-Nya kami kembali). Saya hanya bisa membaca ucapan belasungkawa dari teman-teman dan kenalan mereka yang juga merasakan duka mendalam. Saya hanya bisa mendoakan agar mereka mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah.
Saya tidak sendirian dalam merasakan kesedihan ini. Hampir setiap orang di Gaza memiliki cerita serupa. Setiap telepon membawa kabar tentang seseorang yang tewas, setiap pesan menyampaikan kehancuran rumah seorang teman, dan setiap serangan udara mengirimkan getaran ketakutan ke hati kami.
Di tanah ini, tidak ada lagi air mata yang bisa mengalir. Semua sudah habis terkuras oleh penderitaan yang tak berujung. Yang tersisa hanyalah doa-doa agar perang ini segera berakhir
Oleh Hamba Allah di Palestina