jfid – Gaza, sebuah wilayah yang terjepit di antara Israel dan Mesir, kini menjadi lautan puing-puing. Serangan udara Israel yang berlangsung sejak Sabtu (7/10/2023) telah meratakan ratusan bangunan, termasuk rumah-rumah warga sipil, sekolah, masjid, dan rumah sakit. Lebih dari 400 orang tewas di Gaza, sebagian besar adalah wanita dan anak-anak. Ribuan lainnya mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman, meski tak ada tempat yang benar-benar aman di bawah hujan bom.
Salah satu korban adalah Amer Ashour, seorang ayah muda yang baru saja menyambut kelahiran anak keduanya. Ia membawa istrinya yang sedang hamil ke rumah sakit bersalin terdekat saat Israel mulai membombardir Jalur Gaza. Setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, mereka hendak pulang ke rumah mereka di gedung lantai 11 di sebelah barat Kota Gaza. Namun apa yang mereka temukan hanyalah tumpukan puing-puing. Gedung tempat mereka tinggal telah hancur lebur oleh serangan jet tempur Israel.
“Ke mana kita akan pergi di masa-masa sulit ini?” kata Ashour dengan suara parau, sambil mengambil barang-barang dari reruntuhan. Ia tidak sendirian. Sebanyak 80 keluarga lain juga kehilangan tempat tinggal mereka akibat pengeboman itu.
Ashour dan keluarganya kemudian mengungsi ke apartemen orang tuanya di Menara Al-Watana di pusat kota Gaza. Namun menara itu juga menjadi target pengeboman Israel. Al-Hassi, saudara laki-laki Ashour, mendapat panggilan pada pukul 17.00 waktu setempat dan diminta pergi mengevakuasi diri dari menara tersebut. Kendaraan pertahanan sipil dan ambulans pun ikut mengevakuasi orang-orang yang tinggal di dalamnya.
“Sekarang kami semua, saudara laki-laki saya dan keluarga saya, kehilangan tempat tinggal dalam beberapa jam dan kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” ujar Al-Hassi dengan nada putus asa.
Kisah Ashour dan Al-Hassi adalah salah satu dari banyak kisah pilu yang dialami oleh warga Palestina di Gaza. Mereka harus menghadapi kenyataan pahit bahwa rumah mereka bisa saja hancur dalam sekejap oleh serangan Israel, tanpa peringatan atau belas kasihan.
Israel menyatakan perang terhadap Hamas pada Minggu (8/10/2023), setelah kelompok militan Palestina itu melancarkan serangan mendadak dari sisi darat, udara dan laut. Serangan itu merupakan balasan atas meningkatnya penderitaan warga Palestina di bawah pendudukan Israel dan blokade Gaza.
Hamas mengklaim telah menawan lebih dari 130 orang dari dalam wilayah Israel dan membawa mereka ke Gaza, dengan mengatakan bahwa mereka akan ditukar dengan pembebasan ribuan warga Palestina yang dipenjarakan oleh Israel. Para tawanan diketahui termasuk tentara dan warga sipil, termasuk wanita, anak-anak dan orang tua.
Israel menolak untuk bernegosiasi dengan Hamas dan bersumpah untuk membalas serangan itu dengan kekuatan penuh. Dalam serangannya, Israel juga mengebom bangunan rumah yang terletak di timur Jalur Gaza. Salah satu kota yang paling parah terkena dampaknya adalah Beit Hanoun, yang sebagian besar telah rata dengan tanah.
Laksamana Muda Israel Daniel Hagari mengatakan kepada wartawan bahwa Hamas menggunakan kota itu sebagai tempat melancarkan serangan1. Namun warga setempat membantah hal itu dan mengatakan bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang keberadaan pejuang Hamas di kota mereka.
“Kami hanya orang-orang biasa yang ingin hidup damai. Kami tidak punya senjata atau roket. Kami hanya punya rumah dan keluarga. Mengapa Israel harus menghancurkan semuanya?” kata Fatima, seorang ibu yang selamat dari serangan di Beit Hanoun.
Fatima mengatakan bahwa ia dan keluarganya berlari keluar dari rumah mereka saat mendengar suara ledakan. Mereka melihat pesawat-pesawat Israel terbang rendah dan melepaskan bom-bom ke arah kota mereka. Mereka tidak sempat mengambil barang-barang berharga mereka, hanya membawa diri mereka sendiri.
“Kami tidak tahu ke mana harus pergi. Kami berlindung di bawah pohon-pohon dan menangis. Kami melihat rumah-rumah kami hancur satu per satu. Kami melihat tetangga-tetangga kami terbunuh atau terluka. Kami merasa seperti di neraka,” kata Fatima dengan mata berkaca-kaca.
Fatima dan keluarganya kemudian mencari tempat perlindungan di sebuah sekolah yang dijadikan pusat pengungsian oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun sekolah itu juga penuh sesak dengan ribuan pengungsi lain, yang mengalami nasib yang sama dengan mereka.
“Kami tidak punya makanan, air, listrik, atau obat-obatan yang cukup. Kami tidak punya tempat tidur atau selimut yang hangat. Kami tidak punya keamanan atau perlindungan. Kami tidak punya harapan atau masa depan,” kata Fatima dengan suara lirih.
Menurut PBB, lebih dari 10.000 warga Palestina telah mengungsi akibat rentetan serangan Israel ke Jalur Gaza. PBB juga mengatakan bahwa situasi kemanusiaan di Gaza sangat kritis dan membutuhkan bantuan darurat segera.
PBB telah mendesak agar gencatan senjata segera dilakukan untuk menghentikan pertumpahan darah dan mencegah krisis kemanusiaan yang lebih besar. Namun upaya diplomasi internasional belum membuahkan hasil, karena Israel dan Hamas masih bersikeras untuk melanjutkan pertempuran.
Sementara itu, warga Gaza terus berdoa agar damai segera datang dan mengakhiri penderitaan mereka. Mereka juga berharap agar dunia tidak melupakan mereka dan membantu mereka untuk bangkit kembali dari reruntuhan.
“Kami adalah manusia, bukan target. Kami memiliki hak untuk hidup dengan martabat dan kebebasan. Kami memiliki mimpi untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak kami. Kami tidak ingin perang, kami hanya ingin damai,” kata Fatima dengan penuh harap.