I’m so happy ‘cause today
I’ve found my friends
They’re in my head
I’m so ugly but that’s okay
‘Cause so are you
We’ve broken our mirrors
—Lithium, Nirvana
jfid – Puber adalah sebuah fase dimana orang tengah mengalami perubahan mental dan kejiwaan yang acap berkaitan dengan seksualitas. Lazimnya, puber dianggap merujuk pada remaja karena dipercaya sebagai suatu gejala yang alamiah. Tapi saya kira persoalan tak sesederhana itu, adakalanya puber juga dapat terjadi pada usia-usia yang tak lagi remaja. Dalam teori konstruksi sosial telah banyak diungkap bahwa tak ada sesuatu yang dianggap benar-benar alamiah. Taruhlah Marx yang menyatakan bahwa faktor sosiallah yang pertama-tama membentuk individu dan bukannya sebaliknya. Pada poststrukturalisme faktor determinan yang membentuk segala sesuatu tersebut adalah diskursus, bahasa.
Sejak aksi 4/11 pada 2016, puber tersebut berkaitan dengan sikap keagamaan yang ternyata tak sekedar menjangkiti para remaja, muda-mudi yang tengah bingung dalam mencari jati-dirinya, tapi juga “emak-emak” yang—dalam berbagai bukti visual yang ada—berani malu dan “bapak-bapak” yang seolah sudah bau tanah bergaya sedemikian rupa dalam rangka mengekspresikan fase puber keagamaan mereka (Mengurai Fenomena Jilbab di Kelas Menengah Kita, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://islami.co).
Akankah kini fase puber keagamaan kembali terbentuk dan menghiasi ruang publik bangsa Indonesia yang pernah menyisakan politik identitas yang berlebihan, perpecahan, koyaknya keberagaman? Yang jelas, di akar rumput memang terasa sebuah suasana yang mengarah pada hal itu. Apalagi dengan digembar-gemborkannya “revolusi akhlak” yang seolah bertepuk dengan aspirasi populisme keagamaan yang sejak 2016 begitu beringas menyalak hingga terkesan agama pun hadir dengan citra yang kejam.
Setidaknya, ada sebuah harapan sepijar lilin yang dapat membendung puber keagamaan yang cukup makan biaya tersebut tak berulang kembali. Banyak orang mengatakan bahwa fenomena populisme memang tak dapat dilepaskan dari tampilnya Trump sebagai presiden negara adidaya, Amerika, secara global. Tak usah saya hadirkan pendekatan politik Trump selama ini, baik politik dalam negeri maupun luar negeri, yang jelas derivasi populisme yang beberapa tahun ini kita rasakan di Indonesia—yang telah banyak saya bahas—cukup menyadarkan kita pada iklim “masturbasif,” kewirangan, dan bau konspirasi negatif yang sangat memengaruhi perjalanan kita sebagai sebuah bangsa.
Ada satu parabel tentang seekor burung merak yang malu melihat bayangannya sendiri di sebuah cermin, lalu dari keringatnya yang bercucuran karena rasa malu itu muncullah berbagai modal kehidupan. Kenapa merak yang notabene elok tersebut sampai harus tersipu malu melihat bayangannya sendiri? Dan pada titik ini, kita pun patut merenung soal perilaku berkaca, kenapa kita mesti berkaca atau untuk apa pada dasarnya kita berkaca? Satu hal yang pasti, burung merak itu ternyata masih melihat dirinya sendiri, keelokannya sendiri.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)