jfid – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan tampaknya mengancam akan campur tangan dalam konflik Gaza dalam pidato berapi-api di sebuah rapat umum pro-Palestina pada Sabtu malam. Erdogan menuduh Israel melakukan kejahatan perang, dan menyebut Hamas sebagai “pejuang kemerdekaan”. Ia juga mengisyaratkan bahwa Turki bisa “datang di malam hari tanpa diduga-duga”.
Pernyataan Erdogan ini menimbulkan kegembiraan dan kekhawatiran di kalangan pendukung Palestina dan Israel. Apakah Erdogan benar-benar serius untuk mengirim pasukan militer Turki ke Gaza, atau hanya sekadar retorika politik untuk menarik simpati publik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat konteks dan latar belakang hubungan Turki-Israel, serta posisi Erdogan di dalam dan luar negeri.
Turki dan Israel pernah memiliki hubungan yang cukup baik sejak tahun 1949, ketika Turki menjadi negara Muslim pertama yang mengakui kemerdekaan Israel. Kedua negara bekerja sama di bidang ekonomi, militer, dan intelijen, serta berbagi kepentingan strategis di Timur Tengah.
Namun, hubungan ini mulai memburuk sejak tahun 2002, ketika Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berhaluan Islam memenangkan pemilu di Turki. Erdogan, yang menjadi pemimpin partai dan kemudian presiden, mengambil sikap yang lebih keras terhadap Israel, terutama terkait isu Palestina.
Erdogan kerap mengkritik kebijakan Israel terhadap penduduk Palestina, seperti pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat, pengepungan Gaza, dan penggunaan kekerasan yang berlebihan. Ia juga mendukung gerakan Hamas, yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan sebagian besar negara Barat.
Hubungan Turki-Israel mencapai titik terendah pada tahun 2010, ketika pasukan komando Israel menyerbu kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan untuk Gaza. Serangan ini menewaskan sembilan aktivis Turki dan melukai puluhan lainnya. Erdogan mengecam serangan ini sebagai “terorisme negara” dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel.
Meskipun kedua negara mencoba memperbaiki hubungan mereka pada tahun 2016 dengan bantuan Amerika Serikat, namun ketegangan tetap berlanjut. Erdogan terus menyuarakan dukungannya untuk Palestina dan menentang rencana aneksasi Israel atas sebagian Tepi Barat. Ia juga menolak pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada tahun 2017.
Sementara itu, Erdogan juga menghadapi tantangan di dalam negeri. Popularitasnya menurun akibat krisis ekonomi, pandemi Covid-19, dan protes sosial. Ia juga mengalami persaingan dengan partai-partai oposisi, termasuk mantan sekutunya yang kini menjadi rivalnya, seperti mantan perdana menteri Ahmet Davutoglu dan mantan presiden Abdullah Gul.
Dengan demikian, pidato Erdogan di rapat umum pro-Palestina bisa dilihat sebagai upaya untuk memperkuat basis pendukungnya yang nasionalis dan religius, serta untuk menunjukkan kepemimpinannya di dunia Muslim. Erdogan mungkin juga ingin menekan Israel agar menghentikan serangan militernya terhadap Gaza, yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang Palestina sejak Sabtu lalu.
Namun, apakah Erdogan benar-benar bersedia untuk berperang dengan Israel? Jawabannya kemungkinan besar tidak. Ada beberapa alasan mengapa Erdogan tidak akan mengambil langkah drastis ini.
Pertama, perang dengan Israel akan merugikan kepentingan Turki sendiri. Turki akan kehilangan mitra dagang penting, serta menghadapi sanksi internasional dan isolasi diplomatik. Perang juga akan memperburuk krisis ekonomi dan sosial di Turki, serta meningkatkan risiko konflik dengan negara-negara tetangga, seperti Suriah, Irak, dan Iran.
Kedua, perang dengan Israel akan menimbulkan tantangan militer yang besar bagi Turki. Israel memiliki kekuatan militer yang lebih unggul dari Turki, terutama di bidang udara dan nuklir. Israel juga didukung oleh AS, yang merupakan sekutu NATO Turki. Jika Turki menyerang Israel, AS bisa memutuskan untuk membela Israel dan mengancam keamanan Turki.
Ketiga, perang dengan Israel akan mengurangi pengaruh Turki di dunia Muslim. Turki tidak akan mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara Arab, yang sebagian besar telah berdamai atau berhubungan baik dengan Israel. Bahkan Hamas sendiri mungkin tidak mau melibatkan Turki dalam konfliknya dengan Israel, karena khawatir akan kehilangan legitimasi sebagai perwakilan rakyat Palestina.
Oleh karena itu, pidato Erdogan di rapat umum pro-Palestina kemungkinan hanya merupakan retorika politik belaka, tanpa ada niat nyata untuk berperang dengan Israel. Erdogan mungkin hanya ingin menunjukkan solidaritasnya dengan Palestina dan mengambil peran sebagai pemimpin Muslim. Namun, ia juga harus berhati-hati agar tidak memprovokasi Israel dan mengancam stabilitas kawasan.