jfid – Melalui tajuknya, Koran Tempo kemarin mempertanyakan keputusan Presiden untuk memisahkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dari Kementerian Riset dan Teknologi. Keputusan untuk memisahkan BRIN dari Kementerian Ristek memang adalah keputusan aneh. Menggenapi keganjilan itu, hari ini paripurna DPR menyetujui Surat Presiden Nomor R-14/Pres/03/2021 perihal Pertimbangan Pengubahan Kementerian, yang mengakibatkan terlikuidasinya Kemenristek (baca: digabung ke Kemendikbud).
Seperti yang ditulis oleh Koran Tempo kemarin, perombakan drastis yang akan berimplikasi serius terhadap masa depan riset di tanah air ini tidak berangkat dari motif untuk memajukan ilmu pengetahuan, melainkan lebih banyak didikte oleh kepentingan politik. Menurut Koran Tempo, partai penguasa menginginkan agar Ketua Umumnya didapuk menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Tak banyak orang menyadari bahwa upaya untuk menyorongkan kepentingan terhadap BRIN ini secara tidak masuk akal bahkan telah disisipkan ke dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang tahun lalu pernah menuai kontroversi itu. Sayangnya, selain isu komunisme, atau upaya untuk menghidupkan kembali rumusan Pancasila versi awal, waktu itu publik melewatkan “pasal selundupan” mengenai BRIN di RUU HIP ini. Keberadaan BRIN di RUU HIP dimuat dalam Pasal 38, Pasal 45, Pasal 48, dan Pasal 49.
Silakan Anda cermati Pasal 48 ayat 6 RUU Haluan Ideologi Pancasila berikut ini:
“(6) Ketua dewan pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menjabat ex officio ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional.”
Lalu, baca Pasal 49 ayat 2 RUU HIP berikut ini,
“Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ketua dewan pengarah di badan yang menyelenggarakan riset dan inovasi nasional memiliki kewenangan untuk mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan, antara lain dalam kebijakan riset dan inovasi yang dijalankan dan diintegrasikan oleh badan riset dan inovasi nasional, kebijakan hukum nasional yang dilaksanakan dan diintegrasikan oleh kementerian atau badan yang menyelenggarakan hukum dan/atau perundang-undangan, serta kebijakan Pembangunan Nasional yang dijalankan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.”
Bayangkan, betapa sangat berkuasanya ketua dewan pengarah lembaga tentang Pancasila tadi, sehingga ia bisa mendefinisikan kekuasaannya atas BRIN di dalam sebuah undang-undang yang seharusnya hanya mengatur tentang lembaga Pancasila saja. Bukan hanya itu, ketua dewan pengarah lembaga tentang Pancasila yang disebut RUU HIP juga berkuasa untuk mengevaluasi proses legislasi, hingga ke level pemerintahan daerah.
Inilah yang membuat saya sejak awal bersikap antipati terhadap berbagai proyek Pancasila yang ditawarkan oleh pemerintah. Saya melihat, wacana Pancasila sebenarnya lebih banyak dijadikan kuda tunggangan untuk mengukuhkan hal-hal lain di luar Pancasila. Tidak heran, meskipun sudah hampir setahun pemerintah menarik RUU HIP, dan menggantinya dengan RUU BPIP, hingga hari ini kita bahkan tidak bisa menemukan di mana draf RUU tersebut.
Kenapa harus dijauhkan dari publik?
Saya tidak paham apa urgensinya menjadikan ketua dewan pengarah lembaga tentang Pancasila menjadi demikian berkuasa di lembaga yang seharusnya dinavigasi oleh para akademisi dan ilmuwan seperti BRIN. Dan sejauh yang saya catat, belum pernah ada presedennya dalam sistem hukum kita di mana undang-undang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada jabatan dewan pengarah alih-alih kepada kepala badan atau kepala lembaganya secara langsung.
Jika kita membaca RUU HIP, kita tidak tahu apa tugas dan tanggung jawab Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Naskah RUU itu bahkan tidak menyebut jabatan itu sama sekali. Semua kata ketua di dalam RUU itu, hanya merujuk kepada ketua dewan pengarah.
Dengan nalar lancang semacam itukah kita akan mengelola riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa depan? Kasihan sekali Pancasila, sekadar diperalat untuk mengukuhkan kekuasaan segelintir orang.