jfid – Menurunnya angka kelahiran di Indonesia telah menjadi topik perdebatan hangat di kalangan pakar demografi dan pengambil kebijakan.
Fenomena ini menunjukkan tren yang terus berlanjut dalam beberapa dekade terakhir, menciptakan tantangan baru bagi perekonomian dan struktur demografi negara.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) kini menghadapi dilema dalam merumuskan solusi yang tepat untuk masalah ini.
Menurunnya Angka Kelahiran
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat fertilitas total (Total Fertility Rate, TFR) di Indonesia telah menurun secara signifikan.
Pada tahun 1990, TFR Indonesia tercatat sebesar 3,10 anak per perempuan, namun angka ini turun menjadi 2,15 pada tahun 2022, yang menunjukkan penurunan sebesar 30,64% dalam tiga dekade terakhir.
Pada tahun 2023, jumlah kelahiran di Indonesia diproyeksikan mencapai 4,62 juta, turun dari 4,65 juta pada tahun sebelumnya.
Penurunan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, program keluarga berencana (KB) yang konsisten dijalankan sejak tahun 1970 berhasil menekan angka kelahiran.
Selain itu, perubahan preferensi generasi milenial yang lebih memilih memiliki sedikit anak turut berkontribusi pada penurunan TFR.
Faktor ekonomi dan penundaan pernikahan juga menjadi penyebab utama, di mana rata-rata usia perempuan yang menikah pertama kali meningkat menjadi 22 tahun pada 2021 dibandingkan dengan 20 atau 21 tahun satu dekade sebelumnya.
Dampak dan Risiko
Penurunan angka kelahiran ini membawa dampak positif maupun negatif. Di satu sisi, penurunan TFR membantu menghindari “baby boom” yang diprediksi terjadi selama pandemi COVID-19 akibat penurunan penggunaan alat kontrasepsi dan keterbatasan layanan kesehatan.
Namun, risiko jangka panjang tetap ada, terutama dalam hal ketersediaan tenaga kerja dan struktur usia penduduk yang semakin didominasi oleh usia tua.
Menurut pengamat dari Universitas Indonesia, Sri Moertiningsih Adioetomo, penurunan TFR yang terus berlanjut dapat menyebabkan jumlah kelahiran tidak cukup untuk menggantikan jumlah kematian, yang berpotensi mempengaruhi ekonomi nasional dalam jangka panjang.
Hal ini menjadi perhatian serius mengingat struktur usia penduduk yang berubah dapat menimbulkan tantangan baru dalam sektor kesehatan dan ekonomi.
Solusi Kontroversial dari BKKBN
Menghadapi tantangan ini, BKKBN telah merumuskan beberapa solusi yang dianggap kontroversial. Salah satu solusi yang diusulkan adalah kampanye untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya memiliki anak lebih dari dua.
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, mengemukakan bahwa masyarakat Indonesia cenderung prokreasi, dengan hampir 99% pasangan usia subur atau yang baru menikah menginginkan keturunan.
Namun, upaya untuk meningkatkan angka kelahiran juga menghadapi kritik. Banyak yang berpendapat bahwa dorongan untuk memiliki lebih banyak anak dapat menambah beban ekonomi bagi keluarga, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi.
Selain itu, ada kekhawatiran bahwa kampanye semacam ini dapat mengabaikan hak individu dalam menentukan jumlah anak yang ingin dimiliki.
Kesimpulan
Menurunnya angka kelahiran di Indonesia adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan pemerintah, preferensi generasi muda, dan kondisi ekonomi.
Meskipun penurunan ini membantu mengendalikan ledakan populasi yang tak terkendali, risiko jangka panjang terhadap perekonomian dan struktur demografi tetap ada.
Solusi yang diusulkan oleh BKKBN, meskipun kontroversial, menunjukkan usaha pemerintah untuk menyeimbangkan antara pengendalian populasi dan kebutuhan akan regenerasi tenaga kerja.
Langkah ke depan memerlukan pendekatan yang komprehensif, mempertimbangkan semua aspek yang terlibat, serta mendengarkan suara masyarakat.
Pendekatan ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan yang tidak hanya efektif dalam jangka pendek tetapi juga berkelanjutan dalam jangka panjang.