jfID – Tiga orang aktivis Kamisan ditangkap! Ketiganya ditahan pihak Polresta Malang karena diduga melakukan vandalisme. Kepala polisi Kota Malang yang segera diikuti Humas Polri menyatakan motif para tersangka adalah menghasut masyarakat melawan kapitalisme serta mengajak masyarakat berbuat onar. Ketiganya dijerat dengan pasal 160 KUHP serta pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Meski telah memeriksa sejumlah saksi mata dan saksi ahli, namun sampai hari ini polisi masih enggan memberikan pernyataan lebih lanjut terkait bukti yang menyatakan ketiganya merupakan anggota kelompok Anarko yang hendak merencanakan kerusuhan.
Sebelumnya, beberapa orang yang tergabung dalam kelompok Anarko telah ditahan lebih dulu. Yang menarik di sini adalah—sebagaimana yang sudah-sudah—penangkapan aktivis kiri selalu berangkat dari dalih yang tergesa-gesa. Sebelumnya ada yang ditangkap hanya karena buku, yang bisa saya pastikan, pihak penangkap kemungkinan besar belum membaca buku-buku yang mereka jadikan barang bukti.
Bagi saya pribadi, penangkapan sejumlah aktivis yang terjadi akhir-akhir ini lebih nampak sebagai sebuah lawakan ketimbang kecemasan rezim yang ditinggalkan separuh pecintanya. Alhasil tiap lawakan yang mereka suguhkan selalu mengundang pencemooh dan penonton yang tertawa terpingkal-pingkal. Dan harap dicatat, ini termasuk saya.
Saya yakin polisi tak bodoh. Mereka bukan tidak tahu apa yang mereka lakukan mengundang cemoohan banyak orang. Meski begitu segerombolan centeng rezim dari negeri +62 ini tak kunjung memperbarui dalih agar penangkapan-pembungkaman yang mereka lakukan nampak sedikit elegan. Alih-alih berubah, mereka seperti bocah yang digunggung hingga makin menjadi-jadi.
Saking lucunya, pikiran saya tak berhenti membayangkan seperti apa situasi jumpa pers untuk kasus ini. Di benak saya, pentas bodoran centeng rezim itu digelar di sebuah ruangan konfrensi pers. Sambil menunggu, wartawan kasak-kusuk berspekulasi. Ketika pentas telah siap, pemain di pentas bodor itu dengan tenang memaparkan motif tiga pelaku vandalisme di depan puluhan wartawan; di depan penonton yang (mengaku) punya akal sehat.
Di pentas bodor itu, para centeng seolah ingin memberi peringatan kepada pemuda-pemuda sinis yang mengorganisir diri. Di balik dalih itu tentu saja, setiap orang yang berakal sehat pasti mampu mendengar sesuatu dari sebuah kedalaman yang purba:
”Jangan ganggu kapitalis! Segala sendi kehidupan dan kemewahan di Indonesia ini ada lantaran kapitalis. Mengapa mereka diganggu? Mereka adalah sponsor utama jalannya kekuasaan di sini. Duit mereka yang dipakai menyogok rakyat di kampung-kampung. Seorang presiden pun dapat menang dengan restu mereka. Kalau ‘restu mereka’ lancar, kami juga ikut senang.”
Tapi, di mata saya, pagelaran bodor centeng rezim itu hanya satu hal. Ibarat rangkaian pentas, apa yang diperagakan para centeng itu hanya lawak pembuka. Dan aktor lawak sesungguhnya adalah yang justru menertawai para centeng bodor itu sampai sakit perut. Mengapa?
Kemalingan Akal Sehat
Memang ada benarnya kalau rakyat Indonesia itu pemaaf. Harap dicatat, istilah rakyat di sini juga termasuk penonton yang akal sehatnya terluka karena disuguhi drama penegakan hukum dengan dalih yang tak masuk akal.
Harusnya rakyat sudah bosan dengan beraneka dagelan dan geram di tengah situasi Covid-19 marah lantaran masih saja ada penegak hukum yang tak bekerja dengan adil dan tegas. Tapi apa kemudian rakyat marah? Tidak! Rakyat tak marah, memaafkan dan bahkan sampai pada tahap paling akut: menjadikan bahan tawa.
Inilah hal terpenting dari semua drama ini: rakyat dibuat untuk memaklumi segala praktik kekuasaan dan mulai terbiasa menjadikan itu bahan lawakan. Karena setelah kasus ini sedikit dilupakan, mereka kembali ke “lubang” yang sama: mempercayakan penegakan hukum pada institusi yang jelas-jelas berat sebelah dan ingin membungkam semua omongan miring soal pemerintah.
Meski begitu, nyatanya pendukung pemerintah dan pihak yang kontra tetap “kompak” untuk membeo dengan suara yang sama: “kita serahkan semua persoalan ini pada proses hukum yang berlaku.”
Ya, inilah puncak drama bodor itu: suatu masa ketika orang-orang mengaku punya akal sehat yang sedang mempercayakan kemerdekaan bicara pada sekelompok pembungkam. Di wilayah lain, kebodohan kembali kita peragakan dengan menitipkan lumbung padi pada sekumpulan tikus lapar. Dan ketika pembungkam mulai main tangkap, segala penyelesaiannya justru ditempuh dari mekanisme hukum yang berlaku.
Hal selanjutnya yang harus kita sadari adalah saat terkelam dari sejarah “perampokan”, yakni: perampokan akal sehat. Ya, mengapa ini sangat mungkin, karena ketika harta telah habis dibagi-bagi sekumpulan monyet, kali ini giliran akal sehat yang dimaling. Apa buktinya?
Saat ini kita mesti melihat bila sekilas upaya melawan kesewenang-wenangan penegak hukum lewat jalur hukum adalah satu-satunya cara paling memungkinkan untuk ditempuh. Tapi mengapa kita tidak berpikir lagi: apa yang bisa kita harapkan pada institusi penegak hukum yang petingginya diangkat oleh presiden?
Kalau manusia merdeka dan mengaku berdaulat ini benar-benar punya akal, tentu saja ini bukan waktu yang tepat menertawai suguhan drama bodor dari centeng rezim. Ini adalah masa-masa gawat di mana orang-orang yang mengaku waras mesti ambil sikap yang jelas dan marah. Tapi apa yang terjadi: ternyata segala lawakan yang dibuat dengan selera humor rendah (penangkapan sejumlah aktivis) tetap dipandang sebagai lawakan.
Kalau diminta mengambil sikap, tentu saja saya ambil yang di tengah. Saya melihat, apa yang terjadi di Indonesia hari ini sebagai sebuah gejala akhir zaman. Sebuah situasi ketika orang yang kita pilih dalam demokrasi menjadi rezim-rezim kecil yang buas dalam senyum lugu.
Tapi bagi aktivis dan sejumlah pihak yang mengaku resah lantaran berpikir perlu bertanya dalam dirinya: benarkah kita anggap serangkaian drama lucu ini memang berdiri sendiri dan dilakukan polisi sebagai satu institusi mengaku siap membayar mahal membangun nama baik? Bila benar demikian, tentu saja kita telah kerampokan akal sehat.
Citra D. Vresti Trsina
Kelapa Dua, 3 Mei 2020