Oleh : Suaeb Qury
Ketua LTN-NU NTB
jfID – Jika saja dicermati oleh para Kepala Desa Se NTB, apa yang disampaikan oleh Gubernur NTB, Dr. H. Zulkieflimansyah pada acara rapat koordinasi kepala Desa se NTB beberapa minggu yang lalu di Mataram, Begitu tegas narasi yang disampaikan oleh Gubernur NTB “menganjurkan dan mendorong para kepala desa se-NTB untuk melakukan studi banding ke desa- desa yang sudah maju. Baik itu di dalam daerah, di provinsi lain di Indonesia atau bahkan di negara lain”.
Anjuran Dr. Zul sapaan Gubernur NTB tidak berlebihan buat para kepala Desa se NTB. Untuk belajar dan studi banding sebagai modal dalam membangun desanya masing – masing. Kenapa tidak, jikalau sumberdaya dan potensi desa yang ada di NTB dikelola secara moderen dan berorentasi pada kemajuan dan kemandirian.
Sebagai contoh, apa yang dilakukan oleh kelompok anak muda di desa karang Mas-Mas, Desa Kembang Kuning Kecamatan Sikur Kabupaten Lombok Timur (Lotim) akhirnya dinobatkan sebagai desa wisata terbaik se Indonesia.
Dari 995 desa di NTB, 886 desa memiliki BUMDes aktif. Tapi baru 50 BUMDes yang progres usahanya bagus. Mereka tergolong cukup maju dengan usaha-usaha yang dijalankan. Seperti Desa Kembang Kuning Kabupaten Lombok Timur. Mereka cukup bagus dalam mengelola BUMDes, bahkan masyarakat bisa berbelanja secara online. Mereka juga telah membuat desa wisata yang dikelola BUMDes.
Tentu studi sukses dari beberapa desa di NTB, bukan sekedar menjadi sample bagi desa-desa yang tidak bergerak maju, tentu bisa menjawab problem kemiskinan di desa. Namun, harus ada keinginan political well dan gerakan perubahan mental para kepala desanya. Daya tekan itu, bisa dilakukan oleh Gubernur dan Bupati yang punya kuasa. Dan bisa jadi dan banyak juga desa-desa di NTB punya potensi, bilamana dikelola dan didampingin oleh kelompok profesional dalam membangun management dan orentasi pengunaan dana desa berbasis kelompok usaha wisata, bumdes dan infrastuktur dasar bernilai tambah. Maka, dari desalah upaya menurunkan dan menuntaskan kemiskinan di NTB.
Dan bisa dibayangkan usaha dan intervensi pemerintah daerah yang mengelontorkan anggaran sejak tahun 2018 membantu 30 BUMDes dan dua BUMDes Mart. Begitu juga dengan ditahun 2019 juga memberikan dana pada 100 BUMDes dan desa wisata dengan total Rp 10 miliar lebih. Dan bisa jadi pada tahun 2020 akan mengalami kenaikan anggaran untuk dana pendamping desa. Begitu juga dengan dana desa yang dari pusat.
Kapan lagi dan sudah saatnya didorong bagi desa-desa yang tidak punya inovasi dan kemampuan mengelola sumberdaya di desa. Begitu pentingnya memaksimalkan pengengelolaan dana desa. Dan bagi para kepala desa yang tidak punya networking ingin maju, bisa difasilitasi dalam proses musyawarah desa (Musrendes).
Begitu juga dengan membangun budaya dan tradisi pengelolaan sumberdaya yang ada di desa dengan melibatkan semua pihak. Bukankah tantangan kedepan bagi kepala daerah dan unsur paling bawah yakni desa adalah kapitalisasi sumberdaya alam yang berada desa.
Sudah bukan rahasia lagi, bagaimana industri riteal, bisnis online sudah mulai masuk desa, jika saja usaha-penetrasi dilakukan dengan cara konfrotasi. Bisa jadi, desa menjadi Kota baru dengan tingkat komersialisasi yang cukup tinggi.
Upaya melawan kapitalisasi desa ” tentu dengan cara bijak dan memperkuat akar budaya dan tradisi di desa yang bernilai dengan istilah, Apa yang ditulis oleh Badru Munir dalam buku”perlawanan budaya sudut pandangannya birokrat ” desa adalah pusat peradaban,membagun desa sama dengan membagun daerah dan dari desalah membangun untuk menjawab kemisikinan”.
Bolehlah kita bertanya, jika tersesat dijalan. Pepatah lama ini, setidaknya bisa jadi untuk para Kepala Desa di NTB yang minim inovasi dan gerakan. Dan begitu juga dengan para kepala desa, jika tidak punya inovasi dan program yang membantu pemerintah menurunkan kemiskinan. Maka wajib dibutuhkan bimbingan dari pemerintah daerah. Apa yang selama ini dilakukan pemerintah daerah melalui BPMD NTB dengan program peningkatan kapasitas aparat desa, sekretaris desa, bendahara dan perangkat lainnya. Tentu belum bisa menjawab problem kemiskinan di NTB dengan alasan faktor SDM di desa.
Titik balik pelajaran yang harus di ketahui adalah faktor yang mendasar di desa bukan sekedar SDM, melainkan masih adanya para kepala Desa menjadi “Raja Kecil ” seolah mereka punya otiritas kuasa dalam mengatur desa dan anggaran. Dan bisa dilihat dalam proses penyusunan APBDes bagi desa yang menjadi raja-raja kecil tidak melibatkan berbagai unsur dan apalagi ada intervensi dari tingkat kecamatan dan kabupaten.
Dan jika saja dari total dana desa untuk NTB tahun 2020 sebesar Rp1,23 triliun. Dengan rincian dan besarannya seperti di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Tengah mendapatkan DD paling besar. sebesar Rp316,38 miliar dan Rp209,21 miliar. Kemudian Bima Rp189,45 miliar, Lombok Barat Rp161,72 miliar, Sumbawa Rp148,33 miliar, Dompu Rp72,22 miliar, Lombok Utara Rp71,44 miliar dan Sumbawa Barat Rp62,57 miliar.
Lalu peetanyaan publik untuk Gubernur NTB, bisakah Desa menjawab kemisikan di NTB dengan dana desa yang cukup fantastis. Tentu saja, bukan tugas Gubernur saja untuk meyakinkan para kepala desa di NTB, bisa berinovasi dan mengunakan dana desa sesuai dengan kebutuhan dasar dan untuk menjawab kemisikinan yang masih melilit NTB.
Mendorong dan melahirkan para kepala desa yang produktif, melahirkan inovasi
industri kecil, desa wisata dan industrialisasi pedesaan yang mampu menjadi pengungkit ekonomi desa, memang tidak mudah. Tapi keyakinan itu,bisa dijawab dengan semangat dan belajar dari desa-desa yang sukses dengan desa wisaranya, satu desa satu produk serta Bumdes yang ada.
Memposisikan desa sebagai pilar penunjang kemajuan suatu daerah, tidak bisa dipisahkan dengan sumber daya yang ada. Dan desa juga menjadi problem, bilamana tidak berfungsinya stuktur sosial dan pranata sosial yang ada di desa. Apa yang terjadi baru-baru ,sebagaimana yang dirilies oleh Dinas Kesehatan (Dikes) NTB yang mencatat masih ada sembilan kabupaten/kota yang belum bebas Buang Air Besar (BAB) sembarangan. Dan hanya satu kabupaten di NTB yakni Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) yang masyarakatnya tidak lagi BAB sembarangan. Untuk mencapai desa dan kelurahan Nol BB (Basno) dan belajar dari total desa dan kelurahan yang masih tersisa sebanyak 629 desa/kelurahan yang masih BB sembarangan. Sudah saatnya perubahan menset bagi para kepala desa “sebagaimana yang dipesankan oleh Gubernur” bisa berbegarak bersama memajukan desanya dan membebaskan desa dari kemiskinan. Begitu juga dengan tantangan yang ada di desa, seperti persoalan BAB yang masih cukup banyak. Menjawab kemiskinan dengan total masyarakat NTB yang masih BAB sembarangan sebanyak 166.322 KK, bisa menjadi program prioritas desa dalam menyusun program di desa. Sebab penyediaan akses jamban adalah daya ungkit terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat dan kemiskinan di NTB.