jfID – Berbicara tentang Covid-19 memang tidak akan ada habisnya. Pemberitaannya penuh dengan pro dan kontra. Ada yang percaya, ada yang tidak percaya. Ada yang menyebutnya konspirasi, ada juga yang bilang kalau ini memang benar-benar wabah.
Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan pada Desember 2019. Virus ini penyebarannya sangat cepat dan sulit dikendalikan. Berita baiknya, orang yang terkena virus ini tingkat kesembuhan sangat tinggi daripada tingkat kematiannya. Karena penyebarannya yang sulit dikontrol akhirnya WHO menetapkan kalau Covid-19 ini menjadi pandemi. Sampai saat ini belum ada vaksin ampuh untuk menangkal virus ini.
Suka atau tidak suka dengan adanya Covid-19 ini segala bentuk aktivitas manusia mengalami perubahan. Kita tidak boleh melakukan kontak fisik, tidak boleh berkerumun, harus jaga jarak, sering cuci tangan, stay at home, dan jika mau keluar rumah harus menggunakan masker. Itu harus dilakukan demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19 agar tidak meluas.
Masjid ditutup namun Pasar dibuka?
Covid-19 sudah masuk ke Indonesia. Untuk mencegah penyebarannya semakin meluas, pemerintah menghimbau agar belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah dari rumah. segala bentuk aktivitas yang melibatkan massa yang banyak ditiadakan. Termasuk dengan meniadakan sholat berjamaah di masjid.
Lantas kenapa masjid harus dibatasi? Kenapa pasar masih dibuka? Padahal pasar tempat berkerumun banyak orang? Pertanyaan tersebut cukup menarik, bahkan masyarakat desa (awam) mempertanyakan himbauan tersebut. Seolah-olah himbauan tersebut menghinakan islam?
Menurut penulis, alasan kenapa masjid dibatasi dengan meniadakan sholat jamaah, sholat Jumat , maupun sholat Sunnah lainnya, karena masih ada alternatif lain yakni bisa sholat berjamaah dirumah. Sedangkan kalau pasar, kita tidak punya alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari selain menuju ke pasar. Jika pasar ditutup, supermarket ditutup, kita kesulitan memenuhi kebutuhan pokok. Bisa-bisa kita bukan mati karena virus, tapi mati karena kelaparan bukan?
Lagipula, analogi perbandingannya sangat tidak pas. Masak iya masjid dibandingkan dengan pasar? Masjid yang suci dibandingkan dengan pasar yang kotor (penuh kecurangan). Kalau mau dibandingkan minimal yang setara. Tempat peribadatan yaa bandingkan dengan tempat peribadatan. Misalkan, masjid ditutup tapi gereja, wihara, pura dibuka? Baru itu bisa disebut diskriminasi.
Beberapa kelompok sangat gencar sekali memberikan statement seperti tadi “masjid ditutup dan pasar tetap dibuka”. Seolah-olah Islam ditindas, Islam diperlakukan tidak adil, Corona hanya konspirasi, dan sebagainya. Ujung-ujungnya pemerintah yang disalahkan. Imbasnya apa? Imbasnya orang yang percaya pada kelompok tersebut, akhirnya tidak mematuhi protokoler kesehatan. Membuat kegaduhan ditengah bencana non alam ini. Bukankah lebih elok memberikan solusi daripada membuat gaduh?
Fatwa MUI pun sudah jelas, untuk menghindari sholat di masjid. Kalau saya lebih percaya pada ulama yang kredibel daripada percaya pada kelompok-kelompok yang tidak jelas dan sering membuat gaduh. Mari kita ikuti himbauan pemerintah walaupun akhir-akhir ini pemerintah inkonsisten dalam memberikan kebijakannya.
Ramadhan ditengah pandemi
Bulan Ramadhan adalah bulan yang spesial bagi ummat muslim. Bulan yang penuh ampunan dan keberkahan. Tak terasa bulan ramadhan sudah ada di penghujung. Kita berharap semoga dosa kita diampuni dan menjadi insan yang lebih baik.
Ramadhan di tengah pandemi sungguh sangat berbeda dari pada tahun-tahun sebelumnya. Segala aktivitas yang mengundang massa yang banyak dibatasi. Padahal kita tahu sendiri pada bulan ramadhan, ummat Islam pasti akan melaksanakan kegiatan dengan massa yang banyak. Tarawih, tadarus, iktikaf, buka bersama, tabligh akbar dibatasi di masjid karena kegiatan tersebut mengundang massa yang banyak.
Apakah ini menjadi penghambat bagi ummat Islam dalam meramaikan ramadhan? Tentu saja tidak. Justru dengan adanya pandemi ini kita semua meramaikan ramadhan dengan cara yang baru. Ummat Islam mulai berinovasi dengan memanfaatkan teknologi digital untuk menyemarakkan ramadhan. Kita punya gaya baru, ke arah yang lebih baik, beralih dari konvensional menjadi digital.
Kemajuan teknologi benar-benar dimanfaatkan oleh ummat Islam. Pada saat ramadhan kali ini fungsi masjid diubah menjadi online. Seluruh pesan-pesan keagamaan yang biasanya kita dapatkan di masjid maupun di pondok pesantren kini bisa kita dapatkan dengan hanya mengklik tombol. Kita cukup dirumah dan mendengarkan tabhlig/ceramah agama yang disiarkan langsung lewat Facebook, Instagram, YouTube maupun platform digital lainnya. Ini sesuatu yang sangat unik dan berbeda dari ramadhan tahun-tahun sebelumnya.
Tidak terhitung berapa banyak pesan-pesan keagamaan yang di online kan dan dapat menjangkau ummat muslim seluruh dunia. Ini sebuah keuntungan karena dengan cara konvensional hanya segelintir orang saja yang dapat mendengar pesan-pesan keagamaan.
Ramadhan tahun-tahun sebelumnya kita buka bersama di restoran dengan banyak orang. Kali ini kita bisa buka bersama dengan keluarga dan tentunya ini lebih berkesan dan menyenangkan. Kita bisa melaksanakan tarawih, tadarus, sahur dengan keluarga tercinta.
Dengan adanya pandemi ini banyak dari kita berduyun-duyun untuk memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Semangat gotong royong sangat terasa pada bulan Ramadhan ini. Kita juga berubah gaya aktivitas dalam berdonasi, dari offline menjadi online. Ini sungguh-sungguh menarik bukan?
Penutup
Dunia saat ini telah berubah, manusia juga harus berubah. Ramadhan ditengah pandemi ini masjid boleh dibatasi namun masjid bisa dibawa ke hati kita, maupun ke rumah kita. Masjid boleh saja ditutup, namun pintu kebaikan akan selalu terbuka. Kita harus cerdas menyikapi berbagai hal dan jangan mau berdebat dengan urusan remeh-temeh. Manfaatkan teknologi dengan baik, jangan jadikan teknologi sebagai tempat membuat kepanikan maupun kegaduhan. Jadilah manusia yang bermanfaat dan selalu berlomba-lomba dalam kebaikan. Semoga pandemi ini segera berakhir.
Penulis : Mohammad Faizin Zaini, Ketua I PC PMII Bangkalan