jf.id – Kebijakan Pemerintah berganti seiring dengan bergantinya beberapa pejabat negeri. Itulah dinamika bangsa Indonesia, yang kita sadari bahwa, kebijakan di Negeri ini ditentukan oleh bagaimana kebijakan yang diinginkan oleh pejabat dalam memperhatikan warga Negerinya.
Semenjak reformasi 1998, warga Indonesia patut berbangga karena pada era tersebutlah, tonggak Demokrasi telah menjadikan Indonesia menjadi salah satu Negeri Demokrasi terbesar dalam sejarah Dunia. Akan tetapi, setelah berjalan selama empat belas (14) tahun, reformasi yang sepatutnya menjadi peluang emas ditengah ancaman bangsa yang begitu besar justru menjelma menjadi liberalisasi yang tidak terkendali “Indonesia ditengah kekusaan Asing, Aseng dan Asong”.
Indonesi terbukti, sebagai negara berkembang menuju harapan negara maju, belum mampu mensejahterakan rakyatnya secara adil dan merata. Dan anehnya lagi dalam bacaan geopolitik, Indonesia masih dikatagorikan sebagai negara yang tertinggal jauh dalam banyak aspek kehidupan.
Indonesia sebagai negara hukum secara aplikatif belum sepenuhnya memposisikan hukum sebagai juru bicara keadilan didalam penyelenggaraan negara dan pemerintah. Penegakan hukum yang lemah (Law enforcement) dipraktekkan sebagai alat kucing-kucingan terhadap banyak peristiwa untuk membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Hukum ibarat sebuah tameng yang melindungi para elit, tumpul ke atas dan menikam ke bawah.
Memasuki tahun 2020, menyisakan kenangan dan catatan penting untuk tahun 2019, yakni tentang beberapa analisa krisis yang terjadi di republik tercinta. Catatan ini diangkat berdasarkan penglihatan dan pertunjukan kejadian di negara kita tercinta.
a. Krisis semangat kebangsaan.
Semangat persatuan dan kesatuan, kehendak bersatu serta menjunjung tinggi nilai adi luhur keberagaman dalam satu naungan NKRI menjadi pondasi utama pembangunan bangsa ini. Teringat ketika tanggal 28 Oktober 1928, perbedaan dan latar belakang yang berbeda tidak menjadi persoalan bagi para pemuda Indonesia berikrar setia terhadap tanah air, bahasa dan bangsa Indonesia.
Perlu di ketahui bahwa NKRI dibangun dengan landasan “kesepakatan politik untuk hidup bersama” karena disadari bahwa Indonesia adalah negara majemuk, berbagai macam suku bangsa, etnik, adat, budaya dan bahasa di pikul oleh satu Negara yakni NKRI, kita tentu berbeda dengan Suku bangsa Arab yang satu suku di pikul oleh beberapa negara.
Pada tahun 2019, kita dipertontonkan dengan reaksi dari OPM di tanah Irian Jaya, berbagai macam isu politik identitas yang memecah belah kan semangat persatuan dan kesatuan bangsa, sehingga tak heran jika tahun 2019 kemarin memunculkan gerakan-gerakan separatis, bentrok fisik akibat isu SARA, saling fitnah sesama anak bangsa, tumbuhnya faham sektarian ekstremis yang fanatik, timbulnya faham etnosentris serta primordialisme sempit dan lainnya, mengakibatkan erosi kesadaran atas Kebhineka tunggal Ika an kita di republik yang kita cintai ini.
d. Krisis Leadership.
Organisasi politik dan manajemen negara seharusnya bertanggung jawab melahirkan para leader yang mempunyai komitmen, integritas terhadap nilai kebangsaan, konstitusi, Demokrasi dan hukum, akan tetapi masih belum mampu mengambil peran tersebut. Terbukti dengan banyaknya pimpinan dan pengurus partai yang terlibat dalam skandal kasus Korupsi, gratifikasi dan lainnya.
Dalam bidang bisnis dan usaha, negara belum sepenuhnya mampu mengorbitkan pelaku bisnis yang mempunyai integritas yang handal ditengah persaingan global, kita masih menunggu hasil perang dagang antar China dengan Amerika tanpa kita tahu dan berperan aktif dalam persaingan tersebut.
Singkatnya, krisis leadership dialami pada seluruh tingkatan manajerial pemerintahan. Akibatnya terhapusnya kredibelitas dan hilangnya kepercayaan rakyat yang akan memicu pembangkangan sosial massal yang dapat membahayakan perjalanan pemerintahan.
e. Krisis lingkungan dan pengelolaan SDA.
Kerusakan lingkungan hidup telah terjadi dimana-mana, bahkan perluasannya sudah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Apalagi dengan terbitnya ketetapan presiden tentang status hutang lindung yang bisa dirubah menjadi kawasan perkebunan yang beberapa tempo hari yang lalu WALHI menggugat kebijakan tersebut.
Fakta lapangan mencatat bahwa nyaris di seluruh wilayah yang di eksploitir mengalami kerusakan lingkungan akibat penambangan liar dan eksploitasi hutan, AMDAL yang dibuat oleh pihak terkait misalnya, terkesan hanya menguntungkan pihak yang sepantasnya tidak diuntungkan, dan cendrung rekayasa.
Menurut info yang beredar, sekitar 70 persen atau 130 juta hektar daratan Indonesia merupakan kawasan hutan, dan sekitar 42 juta Hektar telah habis di tebang dan menjadi hutan gundul. Hal ini mengakibatkan kerusakan ekosistem, abrasi pantai, pemanasan global, cuaca yang tidak menentu dan lainya.
Pengelola tambang tidak bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan hidup, catat kemudian kasus lumpur Lapindo yang sampai sekarang belum sepenuhnya tertangani, kasus limbah emas di sekotong Lombok Barat yang dibuang ke sungai mengakibatkan ekosistem sungai rusak dan tercemar.
Kejadian-kejadian ini masuk dalam katagori kejahatan lintas daerah ( region crime ) karena di masing-masing daerah mesti terdapat tindakan seperti pembahasan di atas.
f. Krisis kepercayaan.
Penyalahgunaan kewajiban, hak dan wewenang pada lembaga-lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum terlah membuat hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem politik, hukum dan lembaga negara lainnya. Banyak kasus Hakim menerima gratifikasi, polisi yang melakukan tindakan korupsi dan lainnya, tak terkecuali para elit politik.
g. Krisis Manajemen Negara.
Teringat pada tahun 1999, ketika otonomi daerah menghasilkan penambahan jumlah daerah otonomi baru. Indonesia sekarang mempunyai 33 Provinsi, 399 Kabupaten, 98 Kota, 6694 Kecamatan, 8216 Kelurahan dan 69249 Desa.
Anggaran untuk penyelenggaraan di masing-masing instansi pemerintahan tersebut tentu menggunakan APBN yang di sedot habis dalam porsi APBN yang besar. Disisi lain, pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan disharmonisasi koordinasi. Bupati/walikota yang dipilih langsung oleh rakyat merasa tidak lagi bergantung kepada koordinasi Gubernur.
Mahalnya cost politik pada Pemilu telah mendorong terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh kepala Daerah terpilih untuk menutupi cost politik yang dihabiskan, akibatnya banyak sekali Gubernur, Bupati, Walikota, Kepala Desa/Kelurahan harus berhadapan dengan proses hukum dan jeruji bui.
h. Krisis Identitas dan Jati Diri Bangsa.
Merosotnya integritas akhlak anak bangsa, etika moral terjadi sepanjang tahun 2019 yang melibatkan masyarakat biasa ataupun pejabat negara. Mereke lebih mementingkan kepentingan sesat sehingga nilai patriotisme dan budaya bangsa diabaikan begitu saja tanpa ada rasa malu. Banyak kasus penyalahgunaan narkoba, para publik figur yang tak malu dipergoki berduaan di hotel tanpa ikatan perkawinan, maksiat masih berjalan, minuman keras seolah menjadi kebanggaan dan lainnya.
Nilai Agama, Adat, Budaya di ingkari, sehingga ditengah rakyat terjadi pelemahan kepekaan terhadap kepatutan ( sense of decency ), sehingga dengan tidak adanya kepekaan terhadap kepatutan ini, aparat penyelenggara negara dan kepemimpinan nasional dan daerah tidak amanah, jual beli hukum, agama hanya berlabel di KTP, nilai adat budaya hanya dijadikan retorika semata.
Kita sudah lupa tentang adat budaya ketimuran kita yang ramah, sopan, menghargai sesama, dan kita sudah abaikan nilai kebaikan yang di ajarkan agama, sehingga agama hanya dijadikan simbol diri bukan jati diri bangsa yang mengamalkan sila pertama dasar negara kita “ketuhanan yang maha esa”.
I. Krisis sistem politik.
Banyak hal yang sulit di bayangkan bisa terwujud di masa lalu sekarang bisa menjadi kenyataan. Itu menandakan bahwa reformasi bidang politik berjalan dengan pesat.
Kita tentu sadar bahwa Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota, Kepala Desa dipilih oleh rakyat. Akan tetapi perubahan besar dalam bidang politik semenjak reformasi ini tidak berpengaruh besar terhadap sikap dewasa berpolitik. Akibanya muncul sistem dan praktik perpolitikan yang abnormal yang menelurkan prilaku emosional dan tidak rasional bahkan transaksional dalam politik.
Partai politik tidak lagi mengembangkan budaya politik yang ber etika, dan ber moral, sehingga alternatifnya adalah politik uang menjadi pilihan utama untuk mendapatkan kedudukan politik, sehingga kepentingan memperjuangkan aspirasi rakyat berubah menjadi kepentingan pribadi akibat dari tindakan politik transaksional yang di bangun.
Dari sekian catatan di awal tahun 2020 untuk tahun 2019 yang disebutkan, kesimpulan yang bisa ditarik adalah kita sudah dipertontonkan bagaimana para elit sangat kritis dalam mengkritisi pemerintah untuk kebaikan, akan tetapi di balik sikap kritis tersebut terdapat beberapa aspek yang sudah disebutkan mengalami kritis yang sudah mencapai level mengkhawatirkan.
Orang elit yang berdebat di layar televisi ternyata hanya mempertahanan ego kepentingan masing-masing dengan embel-embelan rakyat yang mesti di bela, padahal perkataanya tersebut hanya bersifat sementara dan masa belakunya ketika debat saja.
Semoga Indonesia, Republik yang kita cintai ini di tahun 2020 menjadi republik yang didambakan oleh seluruh tumpah darah Indonesia.
Di televisi kita melihat para elit dan pembicara di setiap talk show tentang kebangsaan dan negara ini dengan lugas dan argumen masing-masing serta perspektif masing-masing.
Di lapangan kita dipertontonkan dengan suara-suara lantang menentang kebijakan yang sekiranya tidak pro rakyat. Akan tetapi di balik hal tersebut, terselip tindakan semua yang kami personifikasi kan dengan istilah NATO (No Action Talking Only) dan Talk More do Less.
Tentang Penulis: Muh Rizwan, kelahiran Lombok Tengah NTB, dan agen Intelektual jurnalfaktual.id.