jf.id – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) diakui sebagai organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. PMII lahir pada 17 April 1960 yang bertepatan pada saat itu terjadi carut marut politik. Sedangkan berdirinya organisasi ini diharapkan untuk mampu menjawab dialektika politik, persoalan sosial, penindasan HAM, dan segala hal yang lainnya sebagaimana peran mahasiswa seperti biasa. Hari ini banyak sekali dialektika dalam pemahaman agama yang menjadi persoalan. Dari berbagai pemahaman tersebut memicu konflik yang sebenarnya menggugurkan eksistensi agama yang sesungguhnya. Maka dari hal itu, sebagai organisasi yang menjiwai ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an tentu kader PMII harus mampu menjawab persoalan tersebut.
Dalam ke-Islam-an, PMII berhaluan Ahlussunah Waljamaah (Aswaja) sebagai haluan keagamaan. Maka untuk menyikapi dialektika agama yang terjadi hari ini tentu tidak lepas dari kajian-kajian Ke-Aswajaan untuk mendasari segala gagasan yang dihasilkan. Dalam Manhajul Fikr wal Harokah (Metodologi berpikir dan bergerak) yang tertera dalam haluan Aswaja tidak lepas dari empat unsur, yaitu Tawasuth, Tasamuh, Tawazun, dan Ta’adul. Menurut M. Hasyim Latif dalam bukunya “Nahdatul Ulama Penegak Panji Ahlussunah Waljamaah” (2019:106) Fiqrah Tawassuthiyah (Pola pikir moderat) merupakan sikap senantiasa untuk Tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Sedangkan Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya kader Nahdatul Ulama (NU), dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
Sementara dalam pola sikap, M. Hasyim Latif (2019:110) menjabarkan bawa sikap kemasyarakatan bagi kader NU terbagi menjadi empat, yaitu Tawasuth, Tasamuh, Tawazun, dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Tawasuth dalam pola sikap merupakan sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan bersama. Pola sikap yang kedua Tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
Ketiga Tawazun yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah, dalam hal ini berkhidmah kepada Allah SWT, kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Terakhir Amar Ma’ruf Nahi Munkar yaitu selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik dan menolak semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sebagai kader NU yang mempunyai peran dalam lingkup kemahasiswaan, maka PMII tentunya mempunyai tanggung jawab besar untuk berpengaruh positif terhadap sosial. Dengan menanamkan nilai-nilai yang tertera sebagai Manhajul Fikr wal Harokah, tentu akan lebih mudah untuk bersikap pluralis. Asas Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, tidak sedikitpun bertentangan terhadap nilai keagamaan secara universal. Hanya saja kelompok yang kurang memahami secara mendalam tentang keagamaan seringkali membandingkan asas kenegaraan yang ada di Indonesia dengan hukum-hukum agama melalui pemahaman yang dipelintirkan. Sehingga seakan-akan kedua unsur tersebut saling berbenturan, dan paham semacam itulah yang sampai hari ini menjadi virus terhadap nilai-nilai nasionalisme dan sosialisme.
Selain nasionalisme, ada sosialisme yang juga sangat perlu ditanamkan dalam setiap individu rakyat Indonesia guna meredam dan menyelesaikan problematika yang tetap ramai sampai saat ini. Menurut Theimer dalam Franz Magnis-Suseno “Pemikiran Karl Marx” (2000:14), cita-cita sosialisme adalah sebuah gagasan bahwa kekayaan dunia ini merupakan milik semua, bahwa pemilikan bersama lebih baik daripada milik pribadi. Gagasan tersebut sangat baik jika dapat disadari dan diterapkan oleh seluruh rakyat Indonesia, sehingga tak ada lagi justifikasi bahwa negara ini milik kelompok tertentu, akan tetapi disadari bersama bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang harus dipeluk bersama, terlapas dari adanya perbedaan kelompok, baik itu kelompok agama, organisasi, ataupun suku sekalipun. Dari hal tersebutlah dengan didorong nilai Ke-Aswajaan maka kader PMII tentu memahami pentingnya kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu sebagai mahasiswa yang telah memiliki tiga fungsi (Agen of knowledge, Agen of sosial control, dan Agen of change) ditambah lagi sebagai kader PMII yang berada dalam naungan NU yang memegang teguh adanya kesatuan berbangsa, maka harus bisa bersikap positif untuk menyikapi permasalahan yang terjadi.
Berbicara tentang fanatisme agama sebenarnya pernah dikeritik oleh Feuerbach dalam Franz Magnis-Suseno (2000:66-71), yang pada intinya mengatakan bahwa manusia hanya dapat mengakhiri keterasingannya dan menjadi diri sendiri apabila ia meniadakan agama. Ia harus “menarik agama kedalam dirinya sendiri”. Ia harus menolak kepercayaan pada Tuhan yang maha kuat, maha baik, maha adil, maha tahu, supaya ia sendiri menjadi kuat, baik, adil dan tahu. Manusia harus membongkar agama agar ia dapat merealisasikan potensi-potensinya. Maksud dari Feuerbach tersebut mengkritik agama karena pada saat itu sudah seringkali terjadi kericuhan sosial yang mengatasnamakan agama, sementara agama itu sendiri tidak pernah mengajarkan nilai-nilai negatif. Maka ia menyampaikan bahwa manusia harus bisa menarik agama itu sendiri dalam dirinya, agar dapat menjadi pelaku aktif sebagai unsur ketuhanan yang meliputi maha baik, maha pemaaf, maha adil, dan segala hal yang lainnya. Jika nilai positif yang disampaikan oleh Feuerbach dapat ditarik tentu sosialisme akan tercapai sehingga perdamaian antar manusia benar-benar tercapai.
PMII yang pada dasarnya memang lahir ditengah permasalahan tentu hari ini juga harus bisa menyikapi masalah itu sendiri dengan acuan yang sudah jelas tertera dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) dan ajaran Ahlussunah Waljamaah. Asas-asas yang tercantum dalam negara Indonesia sudah jelas adanya dan tidak menyudutkan salahsatu kelompok, baik kelompok agama ataupun organisasi yang dalam hal itu tidak memiliki tujuan negatif untuk negara kesatuan republik Indonesia. Soekarno sebagai proklamator sekaligus presiden pertama republik Indonesia pernah mengatakan “Kalau jadi orang hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang islam jangan jadi orang Arab, kalau orang kristen jangan jadi orang yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini”. Maka tetaplah bersatu dengan perbedaan yang ada dengan menyadari bahwa semua itu merupakan sebuah kekayaan yang luar biasa.