jfid – Starlink, layanan internet berkecepatan tinggi yang dikembangkan oleh SpaceX, telah memasuki Indonesia.
Dengan janji untuk memberikan koneksi internet yang cepat dan andal di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur internet tradisional, Starlink telah menarik perhatian banyak orang.
Namun, pertanyaan besar yang muncul adalah: apa dampaknya terhadap tower BTS (Base Transceiver Station) yang saat ini menjadi tulang punggung infrastruktur telekomunikasi di Indonesia?
Starlink vs. Tower BTS
Starlink menggunakan satelit Low Earth Orbit (LEO) untuk menyediakan layanan internet. Ini berbeda dengan tower BTS yang mengandalkan jaringan terestrial.
Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong, Starlink tidak akan menggantikan posisi infrastruktur pemancar sinyal atau BTS.
Alasannya cukup sederhana: Starlink dan BTS masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan mereka sendiri.
Starlink, dengan satelitnya yang berada di orbit rendah, dapat menjangkau daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur kabel optik yang digunakan oleh BTS.
Ini membuat Starlink menjadi solusi yang menarik untuk daerah-daerah terpencil atau pedesaan di Indonesia. Namun, Starlink juga memiliki beberapa kelemahan.
Misalnya, pada Februari 2022, sudah ada 40 satelit Starlink yang berjenis LEO hilang karena badai geomagnetik di luar angkasa.
Di sisi lain, tower BTS memiliki keunggulan dalam hal stabilitas dan keandalan. Mereka telah terbukti mampu memberikan layanan telekomunikasi yang stabil dan andal selama bertahun-tahun.
Namun, BTS memiliki keterbatasan dalam hal jangkauan dan biaya. Membangun dan memelihara tower BTS di daerah-daerah terpencil bisa menjadi tantangan logistik dan finansial yang besar.
Prediksi
Menurut beberapa analisis, teknologi seperti Starlink dan BTS mungkin akan saling melengkapi daripada saling menggantikan.
Starlink dapat memberikan layanan di daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh BTS, sementara BTS akan terus melayani pelanggan di perkotaan dengan harga yang lebih kompetitif.
Namun, ini tidak berarti bahwa tower BTS tidak perlu berinovasi.
Sebaliknya, mereka harus terus beradaptasi dan berinovasi untuk tetap relevan di era digital ini.
Misalnya, beberapa perusahaan telekomunikasi sudah mulai bereksperimen dengan konsep “BTS terbang”, di mana BTS ditempatkan di wahana dirgantara high altitude platform station (HAPS) yang beroperasi di ketinggian 18-25 km.
Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian operasi satelit Starlink yang sekitar 550 km.
Kesimpulan
Jadi, apakah tower BTS akan terdistupsi oleh Starlink? Jawabannya mungkin tidak sejelas hitam dan putih.
Starlink dan BTS masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan mereka sendiri, dan mereka mungkin akan saling melengkapi daripada saling menggantikan. Namun, ini tidak berarti bahwa tower BTS bisa beristirahat dengan tenang.
Mereka harus terus berinovasi dan beradaptasi untuk tetap relevan di era digital ini.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, kita akan melihat tower BTS yang terbang di langit-langit Indonesia.