jfid – Bank Indonesia (BI) akhirnya mengambil langkah berani dengan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6% pada Oktober 2023.
Keputusan ini diambil setelah delapan bulan berturut-turut menahan bunga acuan di level 5,75%. Apa alasan di balik kebijakan ini? Dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian Indonesia?
Alasan BI Naikkan Bunga
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pada Kamis (19/10/2023) menjelaskan bahwa kenaikan bunga acuan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, yang belakangan melemah terhadap dolar AS akibat ketidakpastian pasar keuangan global.
Selain itu, kenaikan bunga acuan juga dimaksudkan untuk memitigasi dampak inflasi barang impor atau imported inflation, sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3% plus minus 1% pada 2023 dan 2,5% plus minus 1% pada 2024.
Perry menyebut bahwa dinamika global terjadi sangat cepat dan menimbulkan lima perubahan utama, yaitu:
Pertumbuhan ekonomi global yang melambat dan divergensi sumber pertumbuhan antar negara yang masih lebar.
Tensi ketegangan geopolitik yang meningkat dan menyebabkan harga minyak dan pangan tinggi.
Suku bunga di negara maju, terutama Amerika Serikat, yang diperkirakan akan tinggi lebih lama hingga paruh pertama 2024.
Arus modal global yang volatil dan cenderung mengalir ke aset berisiko rendah.
Percepatan transformasi digital dan transisi hijau yang membutuhkan adaptasi struktural.
“Kami harus responsif dan antisipatif terhadap perubahan-perubahan ini. Kami harus menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap berkelanjutan,” ujar Perry.
Dampak BI Naikkan Bunga
Kebijakan BI menaikkan bunga acuan ini mendapat respons positif dari pasar. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat sekitar 0,5% menjadi Rp14.050 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (19/10/2023).
Ini merupakan level terkuat sejak Agustus 2023. Selain itu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga naik 0,8% menjadi 6.512,77 poin.
Analis ekonomi dari Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan bahwa kenaikan bunga acuan BI merupakan langkah tepat untuk menjaga stabilitas rupiah dan inflasi.
Ia menilai bahwa kenaikan bunga acuan tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena masih didukung oleh faktor-faktor lain seperti stimulus fiskal, vaksinasi, pemulihan konsumsi dan investasi, serta surplus neraca perdagangan.
Namun, ada juga dampak negatif dari kenaikan bunga acuan BI, terutama bagi sektor properti. Ketua Umum Real Estat Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida mengatakan bahwa kenaikan bunga acuan akan meningkatkan biaya modal bagi pengembang properti dan mengurangi daya beli konsumen.
Ia memperkirakan bahwa permintaan kredit pemilikan rumah (KPR) akan turun sekitar 10% akibat kenaikan bunga acuan.
“Kami berharap kenaikan bunga acuan ini hanya sementara dan tidak berlangsung lama. Kami juga berharap pemerintah dan BI dapat memberikan insentif lain bagi sektor properti, seperti relaksasi Loan to Value (LTV), penurunan Pajak Penghasilan (PPh) final, dan peningkatan subsidi perumahan,” kata Paulus.