jfID – “…Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru,” demikianlah sabda Menteri Pedidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Tersirat dan tersurat dalam pernyataan itu adalah betapa penting peran guru dalam mencapai perubahan. Guru menjadi agen terdepan dalam sebuah perubahan masa depan. Pendidikan masa depan berikut kualitas dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh guru.
Tak dapat disangkal bahwa guru adalah faktor paling penentu keberhasilan pendidikan. Sistem pendidikan boleh berubah, kurikulum boleh berganti, sarana prasana pendidikan boleh berkembang, namun semuanya tinggal sia-sia jika kualitas guru rendah. Kualitas guru menjadi hal paling penting dan tak bisa ditawar-tawar. Kebijakan pemerintah sebagus apa pun tak akan mampu berhasil meningkatkan kualitas pendidikan jika tidak diikuti dengan peningkatan kualitas guru.
Siapa yang paling bertanggung jawab dan berkewajiban dalam peningkatan kualitas guru? Tak lain dan tak bukan adalah negara atau pemerintah sebagai penyelenggara tata kelola negara. Selama ini, pemerintah memang tidak abai dalam berupaya meningkatkan kualitas guru. Namun, harus diakui bahwa upaya peningkatan kualitas guru belum dilakukan secara simultan, merata, dan berkesinambungan.
Beberapa tahun terakhir ini pemerintah berupaya mendongkrak peningkatan kualitas guru dengan mecoba menggunakan parameter Uji Kompetensi Guru (UKG). Parameter UKG saat ini dianggap sebagai sebuah kebutuhan untuk memetakan kualitas guru di seantero tanah air. Pemerintah melalui kemendikbud merancang setidaknya setiap tahun, seperti ujian nasional, para guru akan menempuh UKG dengan standar nilai yang terus dinaikkan mulai skor 5,5 pada awal pelaksanaan UKG di tahun 2012 hingga skor 8,0 pada tahun 2019. Uji Kompetensi Guru ini selain memetakan kualitas guru juga diharapkan menjadi dasar bagi program peningkatan kualitas guru melalui pelatihan. Walau tidak ada vonis lulus atau tak lulus, tetapi nilai yang diperoleh guru dijadikan patokan dalam memberi pelatihan yang berbeda bagi setiap guru.
Realitanya uji kompetensi guru ini tidak sepenuhnya sempurna. Kompetensi guru tak bisa dinilai dari ujian yang hanya berlangsung dua jam saja, sama persis seperti siswa yang belajar tiga tahun namun kompetensi hanya diukur dalam beberapa jam saja di jadwal ujian nasional. Lebih-lebih uji kompetensi bagi para guru ini konon dirancang untuk mengukur kompetensi akademik, kompetensi sosial dan komptensi kepribadian. Sungguh suatu hal yang absurd mengukur tiga ranah komptensi yang sedemikian luas hanya dengan soal pilihan dan berlangsung hanya dalam bilangan jam saja. Lebih aneh bin ajaib, uji komptensi ini tidak pernah menyertakan penilaian kinerja guru di kelas atau hanya menekankan pada uji pengetahuan, uji penguasaan teori dan uji administrasi guru. Untuk memberikan gambaran kualitas kinerja guru secara utuh. Sebenarnya yang paling utama adalah melihat praktik mengajar guru di kelas apakah yang disampaikannya bisa dipahami siswa atau tidak. Dengan melihat praktik mengajar guru akan mendorong terciptanya model pembelajaran yang aktif, kreatif, dinamis, variatif dan menyenangkan.
Apapun kelemahan UKG yang berurat pada proses penilaian kinerja yang kurang objektif, kurang detil, kurang menyeluruh ternyata menunjukkan hal yang kurang membahagiakan yaitu masih belum idealnya (kalau tidak ingin menyatakan rendahnya) kualitas guru. Kondisi kualitas guru yang kurang ideal ini dipicu banyak faktor. Faktor-faktor itu antara lain, minat dan sumber daya awal menjadi guru, kondisi kewilayahan (geografis), heterogenitas anak didik, sarana dan prasarana yang tidak merata, serta jumlah guru dan siswa yang tidak seimbang.
Setelah mengetahui belum idealnya kualitas guru, maka UKG seperti pada niatannya semula adalah menjadi dasar bagi program peningkatan kualitas guru melalui pelatihan. Seyogyanya pelatihan bagi guru harus dilakukan secara berkesinambungan dengan melihat kebutuhan guru yang berbeda satu dengan yang lain. Pada kenyataannya, pelatihan bagi guru selama ini hanya marak pada saat adanya pergantian kurikulum baru, itu pun tidak berlangsung berkesinambungan. Pelatihan guru hanya berbasis pada proyek bukan pada filosofis dan fungsinya. Pelatihan yang jarang ini pun tidak dilaksanakan secara merata. Ada guru yang berkali-kali dipanggil dan dikirim mengikuti pelatihan namun sebaliknya ada guru yang sama sekali belum pernah dipanggil atau diikutkan dalam pelatihan guru.
Di sisi lain, supervisi guru di lapangan lemah. Selama ini supervisi dianggap oleh guru sebagai beban karena lebih ditekankan pada administrasi. Celakanya pula beban administrasi guru sangat bejibun dan tak semuanya praktis dan berguna untuk dilaksanakan di lapangan. Kepala sekolah dan pengawas sebagai supervisor seharusnya berlaku sebagai mitra atau konsultan yang baik bagi guru. Untuk itu mungkin istilah “pengawas” yang berkesan menakutkan dan angker perlu diganti dengan istilah “konsultan” atau “mitra” sehingga terjadi diskusi atau dialektika yang dinamis antara guru, pengawas, dan kepala sekolah.
Pengawas dan kepala sekolah harus mengubah paradigma dan fokus administrasi sebagai evaluasi guru, menjadi paradigma pendampingan sertas kemitraan yang bersama-sama membuka peluangnya terciptanya kreativitas mengajar. Pengawas dan kepala sekolah tak hanya mempunyai rekam jejak penilaian guru namun menjadi patner yang secara dialektika mencari berbagai alternatif pembelajaran yang kreatif dan out the block, berbagi pengalaman, bertukar ide, dan menawar solusi. Kalau hal ini dilakukan maka kualitas guru akan meningkat yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan kita di masa depan. Semoga!