…the ruling class has lost its consensus, i.e., no longer ‘leading’ [‘diriginte’] but only ‘dominant’, exercising coercive force alone, this means precisely that the great masses have become detached from their traditional ideologies, and no longer believe what they used believe previously, etc.
—Antonio Gramsci
jfID – Seorang pemikir politik Italia, Gramsci, dan seorang sosiolog Polandia, Zygmunt Bauman, pernah menggambarkan sebuah epos sejarah yang dikenal dengan istilah “interregnum” (“Zaman Kalabendu” Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, http://www.berdikarionline.com). Saya pernah memetaforakan peristiwa ini sebagai kondisi menstruasi pada wanita: serba canggung, uring-uringan, suntuk, dan bingung tentang apa yang semestinya dilakukan.
Dengan metafora menstruasi itu saya tak sedang mengungkapkan sebuah bias gender. Hanya saja, tak ada situasi eksistensial yang tepat untuk menggambarkan apa itu interregnum kecuali peristiwa fisiologis sekaligus psikologis tersebut. Pada peristiwa menstruasi wanita apa yang disebut oleh Heidegger sebagai momen eksistensial, di mana seorang manusia benar-benar dapat berkata “Jemeinigkeit” (in each case mine), terejawantahkan. Perintah para bos ataupun hujah dan hikmah dari para kyai setingkat wali pun akan dapat benar-benar membuat ngantuk.
Karena hal tersebut saya terkadang terkekeh, memilih diam atau berpura-pura untuk menghormatinya dan membiarkan situasi mengalir begitu saja. Sebab sungguh tak ada gunanya ketika melakukan sebentuk interupsi pada sesuatu yang kita tak punya pengalaman di sana. “Jemeinigkeit,” demikianlah penjelasan Heidegger atas situasi eksistensial yang menjadikan pengalaman seorang anak manusia bersifat unik dan tunggal. Pada situasi khusus semacam itu pertanyaan yang pantas untuk pertama kali diajukan pada mereka adalah “Maumu terus bagaimana?” Dan tentu kita sudah tahu jawabannya.
Kebingungan tentang apa yang semestinya dilakukan memang menjadi karakteristik utama sebuah peristiwa interregnum. Karena itulah Gramsci mencandra peristiwa itu sebagai sebuah situasi di mana yang lama tak lagi diikuti sementara yang baru belumlah pasti (“The old is dying and the new cannot be born,”). Para aktifis yang berapi-api mewacanakan pemecatan Presiden seumpamanya, tentu seandainya keinginannya tersebut terpenuhi mereka sudah siap dengan segala konsekuensinya. Tapi ternyata tak demikian. Mereka acap lupa tentang nubuah Gramsci di atas, bahwa kelas yang tampak berkuasa sejatinya tak benar-benar memimpin atau diharapkan memimpin. Itulah kenapa mereka tak mendapatkan respon yang nyata dari masyarakat sebagaimana yang mereka klaim (Atas Nama Jumbleng: Mengulik Politik Wani Wirang di Penghujung Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Bagi orang Jawa, atau bagi Ronggawarsita pada khususnya, waktu tak pernah dipahami secara linear, tapi sirkular atau melingkar (tepung gelang). Setiap epos dalam sejarah akan senantiasa terjadi kembali yang tentu dengan berbagai variannya yang ada. Maka ungkapan bahwa orang Jawa ilmunya adalah ngelmu titen mendapatkan kejelasan maknanya: mereka gemar mencatat sebuah peristiwa tertentu yang dalam jangka waktu tertentu akan berulang kembali (siklus). Inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai “jangka.”
Taruhlah berbagai upaya yang mempertanyakan atau bahkan menggugat berbagai kebijakan pemerintah dan isu seputar makar maupun pemakzulan presiden yang mencuat beberapa waktu lalu. Hal-hal seperti ini pernah terjadi pula pada kurun 2017-2019 dengan varian yang berbeda. Saat itu kita semua sudah tahu hasilnya, mereka semua gagal, Jokowi tetap sukses melenggang menjadi presiden negeri ini. Tanpa bermaksud untuk membela pria asal Solo tersebut, apa yang saya sebut sebagai pendekatan politik wani wirang telah menjadi salah satu karakteristik perpolitikan Indonesia kontemporer. Dan, setelah secara moral seharusnya patut membuat mereka wirang, karakter lainnya yang dominan adalah karakter “masturbasif” yang gamblang dalam upaya mereka untuk memakan dan menyingkirkan dengan segala cara orang-orang yang dahulu berposisi berseberangan, yang ironisnya, semua itu pun dilakukan dengan memanfaatkan kewenangan yang diberikan oleh rezim yang saat itu mereka lawan.
Memang, dalam satu perspektif, politik adalah juga sebentuk cara dalam meraih kekuasaan. Tapi seandainya politik dimaknai secara demikian tak berarti setelah meraih kekuasaan tak lagi menimbulkan persoalan. Sebab kekuasaan memang bisa didapatkan, tapi pengaruh adalah laksana pulung atau wahyu yang tak mudah untuk digayuh. Faktor inilah yang saya kira dapat menjelaskan situasi dan kondisi interregnum yang penuh berhiaskan sikap “masturbasif” dan kewirangan dalam terang Gramsci di atas.