Berhentilah Berpikir Negatif, Corona Bukan Virus yang Sangat Mematikan

Moh. Busri By Moh. Busri
8 Min Read
- Advertisement -

Problematika Dialektik Ditengah Corona

jfID – Persoalan tentang menyebarnya virus Corona atau yang lebih dikenal dengan sebutan COVID-19 sampai hari ini masih menjadi pembahasan yang cukup ramai. Adanya sebuah himbauan dari berbagai kalangan untuk bersikap tenang dalam menyikapi hal itu, sepertinya sudah tidak dihiraukan oleh publik. Bahkan sejauh ini saya memahami langkah yang dilakukan oleh pemerintah malah semakin membuat publik semakin panik, entah hal ini hanya dirasakan oleh saya atau memang demikian kenyataannya.

Diawali dari pemerintah memberikan himbauan kepada masyarakat untuk bersikap tenang dengan adanya kabar COVID-19, sedangkan disisi lain presiden Joko Widodo selalu mengumumkan terkait perkembangan menyebarnya virus Corona di Indonesia, dan bagi saya hal itu secara tidak langsung akan membuat psikologi masyarakat Indonesia semakin dihantui oleh rasa ketakutan. Maka dari itu sampai hari ini kepanikan-kepanikan yang terjadi sangat sulit untuk diredam.

Di Amerika saja, pada 18 Maret 2020, jumlah korban yang telah terinfeksi virus Corona mencapai 2.300 orang, data tersebut dilansir oleh TEMPO.CO, pada 19 Maret 2020. Dengan jumlah korban sebanyak itu ternyata dapat dihadapi dengan tenang, bahkan sepertinya tidak begitu banyak media yang mempublikasikan terkait hal itu. Memang tidak sama seperti yang terjadi di Indonesia yang saya rasa kasus ini telalu dibesar-besarkan. Bukan bermaksud untuk meremehkan, namun isu yang beredar hari ini seakan menjadi teror. Seringkali beredar kabar tentang bertambahnya korban virus Corona, dan ternyata semua itu masih “suspect” yang pada akhirnya hasil tesnya negatif Corona.

Ad image

Adanya kewaspadaan dan antisipasi memang menjadi hal penting, karena mencegah merupakan langkah yang lebih baik dari pada mengobati. Namun jika dalam hal itu masyarakat tidak dapat memilah dan memilih kabar yang beredar maka sebenarnya hal tersebutlah yang akan membuat keadaan semakin runyam. Tidak sedikit kabar hoax yang beredar hari ini, bahkan lebih parahnya masyarakat semakin memperluas adanya kabar tersebut sehingga kabar tersebutpun semakin banyak pula dikonsumsi oleh orang lain.

Belum selesai persoalan beredarnya kabar hoax ditambah lagi dengan penggorengan opini publik oleh orang-orang yang berkepentingan atau lebih tepatnya sekumpulan oknum yang tidak bertanggungjawab. Seperti halnya perbincangan tentang fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI), yang akhir-akhir ini sangat marak sekali dibicarakan oleh masyarakat awam. Fatwa tersebut berisikan himbauan kepada umat muslim untuk sebaiknya mengganti Shalat Jum’at dengan shalat Dhuhur dirumah masing-masing.

Sebenarnya, jika ditinjau secara Syari’at Islam hal tersebut memang tidak salah, karena dipertimbangkan antara manfaat dan mudarat memang lebih besar mudaratnya. Izzu al-Din ibn Abdu al-Salâm, seorang tokoh kenamaan abad ke-13 pernah menulis dalam kitab Qawâ’idu al-Ahkâm fi Mashâlihi al-Anam, Juz 1, halaman 7, yang menjelaskan bahwa mewujudkan maslahah (kemaslahatan) dan menolak terjadinya mafsadah (kerusakan) hukumnya adalah wajib.

Senada dengan hal itu Prof. Dr. Quraisy Shihab yang merupakan pakar Ilmu Tafsir Al-Quran juga angkat bicara mengenai hal tersebut yang diunggah oleh “Detik News, pada 19 Maret 2020”. Menurutnya agama Islam selalu memberikan kemudahan bagi umatnya. Segala sesuatu yang dapat mengakibatkan kesulitan dapat terhindarkan dengan Islam, atau diupayakan menghindarinya. Maka dari hal itu, jika saja tetap dilaksanakan shalat Jum’at berjamaah dikhawatirkan orang yang terjangkit COVID-19 yang bertepatan juga ikut shalat berjamaah pada saat itu akan menularkan penyakitnya pada jamaah yang lain.

Terlepas dari persoalan fatwa MUI juga masih terdapat kekacauan-kekacauan lainnya. Seperti himbauan tentang pembelajaran tatap muka yang sebaiknya diganti dengan pembelajaran jarak jauh atau Pembelajaran Online. Sebagai akademisi saya merasa banyak sekali oknum tenaga pendidik yang menyalahgunakan himbauan tersebut. Seperti halnya efektivitas pembelajaran menjadi tidak maksimal karena tenaga pendidik hanya memberikan tugas kepada peserta didiknya tanpa ada penjelasan lebih lanjut terkait materi yang diberikan. Akibatnya peserta didik akan lebih terbebankan dengan tugas yang sebenarnya tidak mereka pahami, bahkan disisi lain dirinya juga memiliki beban psikologi dengan adanya COVID-19 yang kabarnya semakin parah.

Dengan kejadian tersebut, saya harap hal ini dapat disadari oleh para tenaga pendidik untuk setidaknya memberikan penjelasan lebih rinci agar peserta didik tidak merasa kebingungan dengan materi yang dipelajarinya. Sebagai tenaga pendidik harusnya mampu untuk merancang dan memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai dengan kondisi pembelajaran yang terjadi. Seperti, jika ranahnya adalah kuliah jarak jauh (Online) bisa dengan cara memberikan video yang berisikan rekaman penjelasan materi yang dibuat sendiri oleh tenaga pendidik, lalu dikirimkan kepada peserta didiknya, atau juga dapat langsung memberika penjelasan melalui aplikasi pembelajaran seperti “Ruang Guru”.

Imunitas Tubuh Salah Satu Jawaban Dalam Mencegah Corona

Kembali lagi pada pembahasan awal, saya sempat membaca data yang diperoleh dari “Liputan 6” pada 21 Maret 2020 kemarin, Immune Deficiency Foundation pernah mempublikasikan bahwa virus Corona akan lebih berpengaruh bagi orang yang memiliki imunitas rendah. Maka dari hal itu upaya meningkatkan imunitas tubuh adalah salah satu jawaban untuk mencegah COVID-19, yaitu dengan membiasakan hidup sehat seperti makan makanan bergizi, olah raga yang cukup, dan juga membiasakan hidup bersih. Hal ini sangat jarang diketahui dan disampaikan oleh banyak orang sehingga kondisi publik menjadi panik untuk menyikapi keadaan yang terjadi.

Bahkan virus Corona itu juga bukanlah virus yang sangat mematikan, karena masih terdapat virus yang lebih ganas dari hal tersebut seperti HIV dan EBOLA. Semua itu dijelaskan oleh Ahli Mikrobiologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Sugiono Saputra). “Kalau kita bandingkan ya, coronavirus ini memang sama juga seperti HIV dan Ebola, sama-sama ssRNA (single-stranded RNA) virus. Tapi kalau kita bandingkan keganasannya, jelas lebih ganas Ebola dan HIV/AIDS,” ungkap Sugiyono kepada Liputan6.com di Kantor LIPI, Cibinong pada Rabu 4 Maret 2020.

Bukan bermaksud meremehkan adanya virus tersebut, akan tetapi saya kira tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari kejadian ini. Karena pada nyatanya COVID-19 memanglah tidak sangat mematikan seperti kabar setiap hari menjadi teror bagi publik, melainkan hanya cara penularannya saja yang lebih mudah dari pada virus lainnya dan itupun juga dapat diatasi dengan imunitas tubuh yang baik. Dengan beberapa hal itu, setidaknya masyarakat Indonesia mampu untuk memilah dan memilih terkait kabar yang beredar, agar keadaan tidak semakin panik dan dapat menemukan solusi yang terbaik, sebab beredarnya berita HOAX lebih berbahaya dibandingkan COVID-19. Jadi seperti yang telah tersampaikan diatas, maka tindakan yang seharusnya dilakukan adalah menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh agar dapat tercegah dari ancaman virus apapun.

Tentang Penulis: Moh Busri, Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (Prodi PBSI). Aktif di PMII sekaligus Redaktur Pelaksana LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep.

- Advertisement -
Share This Article