Oleh : Herry Santoso
Jurnalfaktual.id, – Demokrasi di Indonesia bukan yang terbaik meski merupakan terbesar ke-3 di dunia, setelah AS dan India. Sayangnya semakin kita masuk ke dalam ranah demokrasi, dapat diapresiasi bahwa demokrasi kita identik dengan pembusukan politik ( democracy is synonymous with political rot ).
Dikatakan demikian, karena, pertama, demokrasi kita berbiaya tinggi ( high cost ), jadi demokrasi kita identik dengan kaum kapitalis-borjuis.
Demokrasi hanya milik orang kaya sedangkan kaum bawah hanya kebagian remah-remah dan jargon demokrasi. Demokrasi kita identik dengan money politic, serta jual-beli suara dengan bentuk lain. Kedua, demokrasi kita penuh dengan kampanye hitam ( black campign ), bahkan intrik dan trik adu domba, fitnah,dan ujaran kebencian.
Demokrasi yang sejatinya merupakan sarana membangun kokohnya integritas, justru kerap meregang persatuan dan kesatuan bangsa. Ketiga, demokrasi kita tidak memiliki jaringan penghubung politik dengan konstituen yang kuat. Sebagai bukti, parpol tidak mampu menjadi tali aspirator dengan grass roots justru terjebak pada kehidupan yang penuh ekslusivisme, serta “menjauh” dengan kepentingan rakyat, dan keempat, demokrasi kita korup dan tidak beradab, misalnya, hanya melahirkan politisi yang tidak disiplin, arogansi, dan sombong, serta merasa adhigang-adhigung di depan rakyat kecil.
Contoh konkret, rapat perdana pelantikan parlemen hasil Pemilu 2019 lebih separo anggota yang absen, atau hanya pindah tidur, dan cenderung berperilaku korup.
Pilkades
Sunguhpun pilkades tetap bukan sebagai wujud eksistensi demokrasi terbaik, namun relatif lebih berkualitas daripada pelaksanaan demokratisasi di tingkat elite. Paling todak pilkades minim kecurangan, dan (rakyat) mudah menyadari untuk merajut kembali persatuan pasca kontestasi politik.
Meskipun demikian, pilkades tetap menjadi arena demokrasi high cost lantaran ajang money politic, lebih-lebih untuk memimpin di wilayah desa yang surplus. Ini pun detengarai sebagai rembasan kultur demokrasi modern yang sedang berlaku di negeri ini.
Pendek kata, demokrasi di Indonesia sudah menyimpang dari pakem kultur Indonesia yang sebenarnya, yaitu : suka bermusyawarah, menghargai pendapat orang lain, toleran, dan memiliki rasa sosialis yang tinggi.
Femomena itu sejatinya merupakan dampak laten daripada “amandemen UUD 1945” yang sangat gegas dan seakan dipaksakan. Alhasil, serta-merta pula melahirkan demokrasi yang justru menjauh dari akar budaya bangsa yang adhiluhung lantaran demokrasi modern yang bebas tak berbatas tersebut hanya memiliki kecenderungan keberpihakan pada kaum elite untuk berbagi kekuasaan.
Mungkinkah model demokrasi muthakir tersebut yang akan mengantar bangsa ini ke gerbang perikeadilan dan perikemakmuran ? Walahu’alam bissawab.
Herry Santoso, adalah pemerhati sosial, budaya, dan politik tinggal di Blitar Jawa Timur.