Jurnalfaktual.id, – Dalam satu tahun terakhir ini, sungguh menjamurnya penghisap dan konsumsi yang bernama rokok elektrik (vape) dikalangan generasi Muda menegah ke atas dan bahkan mulai merambah ke lapisan bawah.
Semakin menjamur dan dipridiksi akan semakin meningkat dari tahun ketahun, rokok elektrik yang dikunsumsi oleh generasi melenia, generasi muda dan tuan, tentu akan berdanpak langsung bagi tingkat pendapatan masyarakat yang terbiasa membeli rokok batangan.
Jika dicermati, gaya hidup dan tingkat kesadaran akan solidaritas antara vape alias rokok elektrik dengan rokok kretek, maka akan kita jumpai perebedaan class dan nilai persaudaran.
Dimana si perokok elektrik dengan gaya hidup yang hedon dan berstatus sosial ke atas, dibandingkan dengan rokok kretek yang merakyat, bisa berbagi, suasana bikin hidup dan dinikmati oleh semua kalangan.
Menikmati rokok kretek dan filter yang sudah merakyat, seakan terasa menikmati keringat para petani tembakau, para pekerja rokok dipabrik dan pedagang kaki lima yang sudah lama menguntungkan hidupnya.
Bisa dibayangkan, jika saja PT samporna, PT Djarum, Gudang Garam dan kretek tradisonal lainya gulung tikar. Bukan akan berakibat pada, kegemaran masyarakt bertani tembakau, akan hilang dan gudang-gudang penampung tembakau yang Ramai pekerjanya hilang juga.
Dan inilah yang disebut dengan siklus rokok, dari zaman penjajahan sampai Indonesia merdeka tetap saling menguntungkan.
Tapi apa Iya, bisa gulung tikar produksi rokok kretek, itu sangat tidak mungkin, sebab selera rakyat tetaplah tembakau.
Namun beda dengan cerita dan khawatiran bagi petani tembakau di lombok, bila saja semakin tinggi permintaan (dimene), maka akan semakin banyak juga suplay nya.
Dan Ini harus diantisipasi, sebab dengan meluasnya vape rokok elektrik tentu akan berdampak juga bagi para petani.
Setidaknya ke khawatiran dan cerita dari Lombok NTB yang sudah mulai berdampak dan dirasakan oleh para petani di Lombok, bisa menjadi acuan bagi pangambil kebijakan.
Dan harus diakui juga, bila saja, permintaan pasar (tembakau) menurun dan produktivitas petani tembakau semakin berkurang, maka yang akan terjadi bagi para pekerja yang sudah terbiasa di lahan pertanian,maka tempat berladang solusinya bagi petani lombok adalah menjadi TKI/TKW ke Luar Negeri.
Kilas balik apa yang telah disumbangkan oleh para petani tembakau di Lombok NTB untuk negara khususnya tembakau virginia. Lombok dikenal sebagai tembakau terbaik di dunia selain tembakau virginia Brazil.
Sejak bertahun-tahun prouduksi tembakau virginia Lombok juga menjadi penyumbang terbesar untuk kebutuhan industri rokok nasional, mencapai 80 persen lebih dari kebutuhan yang ada.
Apa yang telah disumbangkan oleh para petani Lombok untuk NTB, kadang tidak sebanding dengan penerimaan bagi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang juga cukup tinggi.
Lihat saja peningkatan DBHCHT dari tahun me tahun yang diperoleh NTB terus mengalami peningkatan. Pada 2018, DBHCHT yang diperoleh NTB dari pemerintah pusat sebesar Rp248,8 miliar lebih, meningkat menjadi Rp295,6 miliar lebih di tahun 2019.
Dari sekian anggaran DBHCT dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.12/PMK.07/2019, DBHCHT untuk NTB pada 2019 sebesar Rp295,6 miliar lebih. Dengan rincian, untuk Pemprov NTB Rp88,6 miliar lebih, Bima Rp9,7 miliar, Dompu Rp5,2 miliar, Lombok Barat Rp15,5 miliar, Lombok Tengah Rp48,3 miliar, Lombok Timur Rp54,3 miliar, Sumbawa Rp9,3 miliar, Kota Mataram Rp49,8 miliar, Kota Bima Rp2,06 miliar, Sumbawa Barat Rp3,01 miliar dan Lombok Utara Rp9,4 miliar.
Pertanyaan publik adalah sudahkah Dana DBHCHT tersebar ke Kabupaten bisa mengatasi kelangkaan bibit benih, obat, Bahan bakar omprogan dan pupuk serta apakah juga bisa mensejahterakan petani tembakau?
Begitu juga dengan,jika dana sudah transfer ke Kabupaten petanipun tidak diajak duduk bersama menyusun program yang dibutuhkan petani.
Untuk itu juga, hadirnya negara dan pemerintah daerah harus bisa menjawabnya. Dari sikap dan respon Kepala Bappeda NTB, Ir. Wedha Magma Ardhi, M.TP., yang dimuat pada Suara NTB, Selasa, 27 Agustus 2019 mengaku masih mengecek program-program prioritas yang anggarannya bersumber dari DBHCHT.Namun, ia mengatakan anggaran DBHCHT yang menjadi bagian provinsi maupun kabupaten/kota peruntukannya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Apa yang menjadi respon publik dan keberpihakan teman-teman Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, jika dicermati narasi stetmen dan sikap yang disampaikan kepada Gubernur bahwa” ratusan miliar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang digelontorkan pemerintah pusat ke NTB belum mampu menyejahterakan petani tembakau.
Bahkan masih banyak petani yang miskin” Begitu juga dengan yang disampaikan oleh Ketua APTI Lombok Timur (Lotim) ” mengatakan selama ini Pemda, baik provinsi dan kabupaten/kota jarang melibatkan petani atau perwakilan petani dalam penyusunan program/kegiatan penggunaan DBHCHT seharusnya, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk petani tembakau yang ada di daerah ini. Sesuai aturan, DBHCHT dipergunakan untuk meningkatkan kualitas bahan baku”.
Merujuk dari kenyataan yang ada selama ini bisa dilihat taraf hidup petani tembakau, sudah bagus atau bisa sejahterah.
Untuk membangun dan memperluas cakupan penerima manfaat dari DBHCT, maka harus ada komitmen pemerintah daerah untuk memanfaatkan anggaran, agar kualitas tembakau tetap terjaga. Begitu juga dengan para petani tembakau untuk masuk binaan perusahaan. Karena petani yang tidak bermitra ini, harga tembakaunya dibeli murah.
Memproteksi peredaran dan prospek rokok elektrik juga menjadi tanggungjawab pemerintah, agar keberlanjutan petani tembakau yang masih kategori miskin dan Belum merasa belum merasakan dampak adanya DBHCHT.
Untuk tetap optimis melanjutkan bertani tembakau. Begitu juga tugas pemerintah meyiapkan langkah-langkah, semisal payung hukum peraturan daerah (perda) yang mengatur keberlanjutan petani tembakau dan kesejahteraannya.
Semoga saja apa yang selama ini dirasakan petani tembakau, tidak terjadi lagi. Begitu juga dengan ancaman rokok elektrik yang bisa jadi akan semakin meluasnya di NTB. Wallahu’alam bisaawab.
Tentang Penulis: Suaeb Qury adalah Ketua LTN-NU NTB