Bagaimana Pemasar Menghadapi Seruan Boikot Produk Pro Israel?

Rasyiqi
By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
6 Min Read
Boikot Mungkin Tidak Akan Membuat Israel Berubah Pikiran
Boikot Mungkin Tidak Akan Membuat Israel Berubah Pikiran
- Advertisement -

jfid – Konflik antara Israel dan Palestina telah memicu gelombang protes global, termasuk aksi boikot terhadap brand-brand yang diduga mendukung Israel. Bagaimana pemasar harus merespons fenomena ini?

Konflik Israel dan Palestina bukanlah hal baru, tetapi eskalasi kekerasan yang terjadi pada Oktober 2023 telah menarik perhatian dunia. Serangan udara Israel yang menewaskan ratusan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak, telah memicu kemarahan dan solidaritas dari berbagai negara dan kelompok.

Salah satu bentuk protes yang dilakukan oleh masyarakat pro-Palestina adalah dengan melakukan boikot terhadap brand-brand yang dianggap mendukung Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Boikot ini dimotori oleh gerakan BDS (Boycott, Divestment and Sanctions), yang mengajak masyarakat untuk tidak membeli produk-produk dari perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan hukum internasional oleh Israel.

Beberapa brand yang menjadi sasaran boikot adalah Starbucks, McDonald’s, Disney, Nestle, Coca-Cola, dan Danone. Alasan boikot bervariasi, mulai dari menyumbang dana atau makanan gratis untuk pasukan Israel, memiliki pabrik atau investasi di wilayah yang diklaim oleh Palestina, hingga menyatakan sikap netral atau pro-Israel di media sosial.

Boikot ini tidak hanya terjadi di negara-negara mayoritas Muslim, tetapi juga di negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Bahkan, beberapa selebriti dan tokoh publik, seperti Roger Waters, Mark Ruffalo, Bella Hadid, dan Trevor Noah, juga turut menyuarakan dukungan mereka untuk Palestina dan mengkritik kebijakan Israel.

Lantas, bagaimana dampak boikot ini bagi brand-brand yang terlibat? Apakah boikot ini efektif dalam mengubah perilaku konsumen dan memengaruhi reputasi brand? Dan yang terpenting, apa yang harus dilakukan oleh pemasar untuk menghadapi situasi ini?

Dampak Boikot

Menurut Drew Kerr, ahli krisis dari The Four Corners Group, boikot terhadap brand pro-Israel tidak akan berlangsung lama, karena konsumen cenderung kembali ke kebiasaan belanja mereka setelah isu ini mereda. Kerr mengatakan bahwa boikot biasanya hanya mempengaruhi penjualan jangka pendek, dan tidak berdampak signifikan pada loyalitas konsumen atau citra brand.

Kerr mencontohkan kasus boikot terhadap Bud Light, yang dilakukan oleh komentator konservatif setelah brand tersebut berkolaborasi dengan influencer trans Dylan Mulvaney. Kerr mengatakan bahwa boikot tersebut tidak mengurangi popularitas Bud Light, yang tetap menjadi minuman beralkohol paling laris di AS.

Namun, Kerr juga mengakui bahwa boikot dapat menjadi ancaman serius bagi brand jika didukung oleh pemerintah atau organisasi besar, yang memiliki pengaruh dan sumber daya lebih besar.

Kerr mencontohkan kasus boikot terhadap Rusia dan Belarus setelah invasi Ukraina pada 2022, yang dilakukan oleh konsumen dan perusahaan Barat. Akibatnya, Rusia dan Belarus mengalami penurunan ekspor, investasi, dan pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, Kerr juga menekankan bahwa boikot dapat menimbulkan risiko reputasi bagi brand, terutama di era media sosial, di mana opini publik dapat berubah dengan cepat dan viral. Kerr mengatakan bahwa brand harus berhati-hati dalam mengelola komunikasi mereka, agar tidak terjebak dalam kontroversi atau kesalahpahaman.

Strategi Pemasar

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh pemasar untuk menghadapi boikot terhadap brand pro-Israel? Menurut Kerr, tidak ada jawaban yang pasti, karena setiap brand memiliki situasi dan tujuan yang berbeda. Namun, Kerr memberikan beberapa saran umum yang dapat dipertimbangkan oleh pemasar, yaitu:

Mengetahui posisi dan nilai brand

Kerr mengatakan bahwa brand harus mengetahui dengan jelas apa yang menjadi misi, visi, dan nilai mereka, serta bagaimana hal tersebut sejalan dengan harapan dan kebutuhan konsumen mereka. Kerr mengatakan bahwa brand harus konsisten dan transparan dalam menyampaikan posisi dan nilai mereka, agar tidak menimbulkan kebingungan atau kekecewaan di kalangan konsumen.

Mendengarkan dan memahami konsumen

Kerr mengatakan bahwa brand harus mendengarkan dan memahami apa yang menjadi perasaan, pendapat, dan keinginan konsumen mereka, terutama yang terkait dengan isu-isu sosial dan politik. Kerr mengatakan bahwa brand harus berkomunikasi dengan konsumen secara empatik dan respektif, serta menunjukkan bahwa brand peduli dan responsif terhadap masalah yang mereka hadapi.

Menyesuaikan strategi dan taktik

Kerr mengatakan bahwa brand harus menyesuaikan strategi dan taktik mereka sesuai dengan situasi dan kondisi yang berubah. Kerr mengatakan bahwa brand harus fleksibel dan kreatif dalam menghadapi tantangan dan peluang yang muncul. Kerr mengatakan bahwa brand harus mengevaluasi dan mengukur efektivitas dari strategi dan taktik mereka, serta melakukan perbaikan dan peningkatan jika diperlukan.

Kesimpulan

Boikot terhadap brand pro-Israel merupakan salah satu bentuk protes yang dilakukan oleh masyarakat pro-Palestina terhadap konflik Israel dan Palestina. Boikot ini dapat berdampak pada penjualan, loyalitas, dan reputasi brand, tergantung pada skala, durasi, dan intensitasnya. Pemasar harus merespons boikot ini dengan bijak dan strategis, dengan mengetahui posisi dan nilai brand, mendengarkan dan memahami konsumen, serta menyesuaikan strategi dan taktik.

- Advertisement -
Share This Article