jfid – Dalam ranah konflik yang tak pernah berkesudahan antara Israel dan Hamas, sebuah tragedi mengerikan telah menambah deretan kisah pilu: kematian para jurnalis.
Sebanyak 27 wartawan telah meregang nyawa, menjadi korban dalam perang brutal yang menggelegar sejak 7 Oktober 2023 lalu.
Mayoritas dari mereka adalah jurnalis Palestina, namun tak sedikit pula jurnalis dari Israel dan Lebanon yang turut merasakan kepahitan peperangan ini.
Namun, sebelum mereka, sekitar setahun yang laluA, satu nama menarik perhatian dunia: Shireen Abu Akleh. Ia adalah seorang jurnalis Palestina-Amerika yang telah mengabdi untuk Al Jazeera selama 25 tahun.
Dengan setia, ia menyampaikan laporan-laporan mendalamnya selama beberapa dekade di wilayah Palestina yang diduduki oleh Israel.
Sebagai sosok terkemuka dalam dunia jurnalistik Arab, Abu Akleh dianggap sebagai panutan bagi banyak jurnalis Palestina dan Arab, khususnya bagi perempuan yang bercita-cita tinggi.
Namun, pada tanggal 11 Mei 2022, saat mengenakan rompi pers biru yang melambangkan keberadaannya sebagai wartawan, Abu Akleh meregang nyawa akibat tembakan di tengah serangan Israel terhadap k1amp pengungsi Jenin di Tepi Barat.
Meskipun Israel dengan tegas menyangkal keterlibatan mereka dalam kematian tragis ini, laporan awal dari sesama jurnalis menuduh tentara Israel sebagai pelaku.
Hingga pada tanggal 5 September, Israel mengakui kemungkinan bahwa Abu Akleh telah “secara tidak sengaja” tertembak oleh pasukannya sendiri, meskipun penolakan untuk menginisiasi penyelidikan kriminal tetap menjadi posisi yang dipegang teguh.
Penyelidikan yang dilakukan oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat secara tegas menyimpulkan bahwa Israel bertanggung jawab atas kematian Abu Akleh.
Namun, meski bukti menguatkan kesaksian ini, Israel tetap bersikeras menolak tudingan tersebut. Forensic Architecture, sebuah organisasi penelitian independen, juga ikut campur dalam kasus ini dengan membantah klaim Israel pada tanggal 20 September.
Mereka menyatakan bahwa Abu Akleh disengaja dijadikan target dan bahkan ditolak bantuan medis yang seharusnya menjadi haknya.
Pada bulan November 2022, Departemen Kehakiman Amerika Serikat mengambil langkah berani dengan membuka penyelidikan resmi atas pembunuhan tragis ini.
Keputusan ini mendapat kecaman keras dari Israel, yang menolak bekerjasama dalam proses penyelidikan ini.
Reaksi terhadap kematian Abu Akleh meluas dan tak terbendung. Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Linda Thomas-Greenfield, menggambarkan kematian Abu Akleh sebagai “sangat mengerikan” dan menekankan perlunya penyelidikan transparan.
Dia menegaskan bahwa melindungi warga negara Amerika dan jurnalis adalah “prioritas utama” bagi pemerintahannya. Kantor Hak Asasi Manusia PBB juga mendesak untuk “penyelidikan independen dan transparan atas pembunuhan ini. Impunitas harus dihentikan.”
Gedung Putih juga bersuara tegas dalam menuntut penyelidikan menyeluruh. “Kami merasa sangat sedih dan sangat mengutuk pembunuhan jurnalis Amerika, Shireen Abu Akleh, di Tepi Barat,” ujar Ned Price, Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, melalui Twitter. “Penyelidikan harus segera dan menyeluruh, dan mereka yang bertanggung jawab harus diadili. Kematian ini adalah penghinaan terhadap kebebasan media di mana pun,” tambahnya.
Luis Miguel Bueno, juru bicara Uni Eropa untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, juga tak menyembunyikan kekagetannya atas pembunuhan Abu Akleh ketika dia tengah menjalankan tugas mulianya melaporkan serangan Israel di Jenin.
Sementara itu, keluarga Shireen Abu Akleh memperjuangkan keadilan dengan menuntut pertemuan dengan Presiden Biden selama kunjungannya ke Yerusalem minggu ini.
Mereka menuduh pemerintahan Amerika melindungi Israel dari pertanggungjawaban atas kematian tragis putri tercinta mereka.
Dalam semua kejadian yang mengguncang hati ini, satu hal menjadi semakin jelas: perlindungan bagi para jurnalis dalam konflik bersenjata harus ditingkatkan menjadi prioritas utama.
Mereka bukan hanya pemberi informasi, tetapi juga mata dan telinga dunia dalam situasi-situasi sulit ini. Mereka membawa suara bagi mereka yang terdiam dalam penderitaan.
Mereka membawa kebenaran ke permukaan, meskipun dalam kondisi yang paling berbahaya sekalipun. Dan untuk itu, mereka tidak hanya berhak, tetapi juga layak mendapatkan perlindungan yang mendalam dan tulus.