jfid – Jakarta – Mia Silverman (20) adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi di Universitas New York. Dia memiliki cita-cita menjadi seorang psikolog klinis yang membantu orang-orang dengan masalah kesehatan mental.
Namun, ada satu hal yang menghambat impian Mia, yaitu alerginya yang parah terhadap hampir semua jenis makanan.
Mia mengalami kondisi alergi yang sangat langka, yang membuat tubuhnya bereaksi hebat terhadap lebih dari 50 jenis makanan. Dia alergi terhadap kacang, biji-bijian, produk susu, ikan, telur, MSG, perasa dan pewarna buatan, serta banyak buah dan sayuran.
Jika dia menyentuh atau menelan makanan-makanan tersebut, dia bisa mengalami anafilaksis, yaitu reaksi alergi berat yang bisa mengancam nyawanya.
“Sejak lahir, saya kesulitan mencerna makanan seperti produk susu. Ketika saya berusia 2 tahun, ayah membawa pulang kue yang berisi kacang-kacangan. Tenggorokan saya langsung tercekat, seluruh tubuh penuh ruam dan muntah-muntah,” cerita Mia kepada detikcom.
Mia harus dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan suntikan epinefrin untuk menstabilkan kondisinya. Sejak saat itu, dia harus selalu membawa obat penolong dan alat suntik otomatis di tasnya. Dia juga harus berhati-hati dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi.
“Saya cenderung makan makanan utuh seperti steak dan pasta. Begitu mulai mengonsumsi makanan olahan pabrik, di situlah masalahnya dimulai,” ujarnya.
Mia mengaku sulit untuk mencoba makanan baru atau eksotis, karena takut akan kandungan alergennya. Dia juga tidak bisa menikmati makanan favoritnya seperti cokelat, kopi, dan saffron, karena hanya bisa menyantapnya dalam jumlah sedikit.
“Kalau saya makan terlalu banyak cokelat atau kopi, saya akan merasa gatal-gatal dan sesak napas. Saffron juga bisa membuat saya pusing dan mual. Jadi saya harus mengontrol porsi saya,” katanya.
Alergi Mia tidak hanya mempengaruhi kesehatannya, tetapi juga kehidupan sosialnya. Dia sering merasa terkucilkan dari teman-temannya karena tidak bisa ikut bersenang-senang di restoran atau pesta. Dia juga mendapat ejekan dan bully dari orang-orang yang tidak memahami kondisinya.
“Keluarga saya menyaksikan saya mengalami anafilaksis di restoran dan dilarikan ke rumah sakit, namun mereka yakin bahwa semua yang saya alami itu dibuat-buat,” ungkap Mia.
Mia merasa frustrasi dengan perlakuan orang-orang terhadap dirinya. Dia merasa tidak ada yang mau mendengarkan atau memahami perjuangannya. Dia pun mencari dukungan dari komunitas online yang terdiri dari orang-orang dengan alergi serupa.
Mia juga mendapat bantuan dari seorang ahli alergi dan imunologi, Dr. Zainab Abdurrahman, yang bekerja di Rumah Sakit Anak Ibu dan Bayi di Toronto, Kanada. Dr. Zainab adalah salah satu dokter yang menangani kasus alergi makanan yang langka dan kompleks.
“Kasus Mia adalah salah satu yang paling menantang yang pernah saya tangani. Dia memiliki alergi yang sangat luas dan sensitif, yang membatasi pilihan makanannya secara drastis. Dia juga mengalami stres psikologis akibat alerginya,” jelas Dr. Zainab kepada detikcom.
Dr. Zainab mengatakan bahwa alergi makanan adalah reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap protein tertentu dalam makanan. Reaksi ini bisa bervariasi dari ringan hingga berat, tergantung pada tingkat sensitivitas dan paparan alergen.
“Gejala alergi makanan bisa meliputi gatal-gatal, ruam, pembengkakan, mual, muntah, diare, sesak napas, penurunan tekanan darah, hingga syok anafilaktik. Syok anafilaktik adalah kondisi darurat medis yang bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani,” paparnya.
Dr. Zainab menambahkan bahwa penyebab alergi makanan belum diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor risiko yang diduga berperan, seperti genetika, lingkungan, usia, dan pola makan.
“Beberapa orang memiliki riwayat keluarga dengan alergi makanan atau penyakit alergi lainnya, seperti asma atau eksim. Beberapa orang juga tinggal di daerah dengan polusi udara tinggi atau kurang terpapar mikroba baik. Beberapa orang juga mengonsumsi makanan tertentu terlalu sering atau terlalu dini,” ungkapnya.
Dr. Zainab mengatakan bahwa tidak ada obat untuk alergi makanan, tetapi ada beberapa cara untuk mengelolanya. Cara utama adalah menghindari makanan yang menyebabkan alergi dan membawa obat penolong seperti antihistamin atau epinefrin jika terjadi reaksi.
“Beberapa orang juga bisa mendapatkan terapi desensitisasi, yaitu pemberian dosis kecil alergen secara bertahap untuk meningkatkan toleransi tubuh. Namun, terapi ini hanya tersedia untuk beberapa jenis alergi seperti kacang tanah atau susu sapi,” katanya.
Dr. Zainab juga menekankan pentingnya dukungan psikososial bagi orang-orang dengan alergi makanan, terutama yang memiliki kondisi langka seperti Mia.
“Orang-orang dengan alergi makanan sering merasa kesepian, tertekan, cemas, atau marah karena keterbatasan mereka. Mereka juga sering menghadapi diskriminasi, stigma, atau kurangnya pemahaman dari orang lain. Mereka membutuhkan dukungan dari keluarga, teman, dokter, guru, dan komunitas untuk mengatasi masalah-masalah ini,” tuturnya.
Dr. Zainab berharap bahwa dengan adanya edukasi dan advokasi tentang alergi makanan, orang-orang seperti Mia bisa mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak.
“Saya berharap bahwa suatu hari nanti, alergi makanan tidak lagi menjadi halangan bagi siapa pun untuk mencapai impian mereka. Saya berharap bahwa suatu hari nanti, Mia bisa menjadi psikolog klinis yang hebat dan membantu banyak orang,” pungkasnya.
Demikianlah kisah Mia Silverman, wanita yang alergi hampir semua makanan dan rela dikucilkan demi bertahan hidup. Semoga kisahnya bisa menjadi inspirasi bagi kita semua untuk tidak menyerah pada tantangan hidup.