Antara Angker dan Berkah: Malam Jumat Ngeri-ngeri Sedap

Lukman Sanjaya By Lukman Sanjaya
8 Min Read
Antara Angker Dan Berkah: Malam Jumat Ngeri Ngeri Sedap
Antara Angker Dan Berkah: Malam Jumat Ngeri Ngeri Sedap
- Advertisement -

Bagi sebagian orang, kata-kata ini mungkin tidak asing lagi. Malam Jumat Kliwon adalah salah satu malam yang dianggap paling angker dan keramat oleh masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan sekitarnya.

Malam ini dipercaya sebagai waktu turunnya makhluk-makhluk halus, seperti genderuwo, kuntilanak, pocong, dan lain-lain.

Banyak orang yang tidak berani keluar rumah saat malam Jumat Kliwon tiba, atau jika terpaksa, harus membawa perlindungan seperti kemenyan, bunga setaman, atau bacaan doa.

Namun, dari mana asal-usul kepercayaan ini? Apakah ada dasar ilmiah atau sejarah yang dapat menjelaskan fenomena ini?

Ad image

Ataukah ini hanya mitos belaka yang berkembang secara turun-temurun tanpa bukti? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita simak ulasan berikut ini.

Asal-Usul Malam Jumat KliwonMenurut beberapa sumber, asal-usul malam Jumat Kliwon berkaitan dengan tradisi puasa selama 40 hari yang dilakukan oleh masyarakat Jawa sejak zaman dahulu.

Puasa ini dipercaya dapat menolak bahaya dan membawa berkah.

Malam Jumat Kliwon adalah malam terakhir dari puasa ini, yang dianggap sebagai puncak dari amalan tersebut.

Pada malam ini, orang-orang yang berpuasa akan melakukan ritual khusus, seperti memasang sajen, ruwatan, mandi kembang, atau ziarah ke makam leluhur.

Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi ini mulai berubah. Banyak orang yang tidak lagi mengamalkan puasa 40 hari, tetapi tetap melakukan ritual khusus pada malam Jumat Kliwon.

Hal ini membuat malam ini menjadi semakin mistis dan angker, karena dianggap sebagai waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan alam gaib.

Selain itu, ada pula pengaruh dari kepercayaan Islam, yang menganggap malam Jumat sebagai malam yang mulia dan berkah.

Selain itu, ada pula faktor lain yang mempengaruhi keangkeran malam Jumat Kliwon, yaitu sistem penanggalan Jawa.

Penanggalan Jawa adalah penanggalan yang menggabungkan unsur-unsur dari penanggalan Hijriyah, penanggalan Surya, dan penanggalan Bulan.

Penanggalan Jawa memiliki lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.

Setiap hari pasaran memiliki makna dan karakter tersendiri. Kliwon adalah hari pasaran yang paling istimewa, karena dianggap sebagai hari yang mengandung energi positif dan negatif sekaligus.

Kliwon juga berarti “kelima”, yang melambangkan kesempurnaan dan keseimbangan.

Jadi, ketika malam Jumat bertepatan dengan hari pasaran Kliwon, maka malam itu menjadi malam yang sangat kuat dan berpengaruh.

Malam ini dapat menjadi malam yang baik atau buruk, tergantung dari niat dan perbuatan orang yang mengalaminya.

Malam ini juga menjadi malam yang rawan dan rentan, karena banyak makhluk halus yang bergerak dan mencari mangsa.

Oleh karena itu, banyak orang yang berhati-hati dan waspada saat malam Jumat Kliwon tiba.

Mitos dan Mistis Malam Jumat Kliwon Kepercayaan terhadap keangkeran malam Jumat Kliwon semakin diperkuat dengan banyaknya cerita dan film horor yang menggambarkan malam ini sebagai malam yang seram dan menakutkan.

Banyak orang yang mengklaim pernah mengalami atau menyaksikan hal-hal aneh dan gaib saat malam Jumat Kliwon, seperti mendengar suara-suara misterius, melihat penampakan-penampakan hantu, atau merasakan gangguan-gangguan jahat.

Beberapa tempat yang dianggap sebagai lokasi angker pada malam Jumat Kliwon adalah kuburan, rumah kosong, jalan sepi, pohon besar, atau bangunan tua.

Salah satu contoh bangunan tua yang dianggap angker pada malam Jumat Kliwon adalah Rumah Kantil di Kotagede, Yogyakarta.

Rumah ini adalah rumah peninggalan zaman kolonial Belanda, yang konon pernah menjadi tempat tinggal seorang wanita cantik bernama Nyi Kantil.

Nyi Kantil adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu hitam dan sering berhubungan dengan makhluk halus.

Ia juga dikenal sebagai perempuan yang suka menggoda dan memikat pria, bahkan sampai membunuh mereka.

Konon, pada malam Jumat Kliwon, Nyi Kantil akan muncul dan mencari korban baru.

Namun, apakah cerita-cerita ini benar adanya? Ataukah ini hanya hasil dari imajinasi dan sugesti orang-orang yang terpengaruh oleh mitos dan mistis malam Jumat Kliwon? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat dari sudut pandang yang lebih rasional dan ilmiah.

Menurut beberapa ahli, ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini, seperti faktor psikologis, sosial, budaya, dan lingkungan.

Faktor psikologis berkaitan dengan kondisi mental dan emosional seseorang yang mempengaruhi persepsi dan interpretasi terhadap realitas.

Jika seseorang memiliki kecenderungan untuk percaya terhadap hal-hal gaib, maka ia akan lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang berkaitan dengan itu, seperti malam Jumat Kliwon.

Sebaliknya, jika seseorang memiliki sikap skeptis dan rasional, maka ia akan lebih sulit untuk percaya terhadap hal-hal gaib, dan lebih cenderung mencari penjelasan logis dan ilmiah.

Faktor sosial berkaitan dengan pengaruh dari lingkungan sosial dan komunikasi massa terhadap sikap dan perilaku seseorang.

Jika seseorang hidup di lingkungan yang percaya terhadap hal-hal gaib, maka ia akan lebih mudah menerima dan mengikuti kepercayaan tersebut, karena adanya tekanan sosial dan norma budaya.

Sebaliknya, jika seseorang hidup di lingkungan yang tidak percaya terhadap hal-hal gaib, maka ia akan lebih mudah menolak dan mengkritik kepercayaan tersebut, karena adanya dukungan sosial dan informasi alternatif.

Faktor budaya berkaitan dengan nilai-nilai, tradisi, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Jika seseorang berasal dari budaya yang kaya akan unsur-unsur mistis, seperti budaya Jawa, maka ia akan lebih mudah menghargai dan menghormati kepercayaan terhadap hal-hal gaib, karena adanya rasa identitas dan kebanggaan budaya.

Sebaliknya, jika seseorang berasal dari budaya yang lebih modern dan rasional, seperti budaya Barat, maka ia akan lebih mudah mengejek dan menentang kepercayaan terhadap hal-hal gaib, karena adanya rasa superioritas dan kemajuan budaya.

Faktor lingkungan berkaitan dengan kondisi fisik dan atmosfer yang ada di sekitar seseorang. Jika seseorang berada di tempat yang gelap, sepi, dan sunyi, maka ia akan lebih mudah merasa takut dan cemas, karena adanya rasa tidak aman dan tidak nyaman.

Hal ini dapat memicu imajinasi dan sugesti yang negatif, yang dapat menimbulkan persepsi dan interpretasi yang salah terhadap hal-hal yang ada di sekitarnya.

Sebaliknya, jika seseorang berada di tempat yang terang, ramai, dan bising, maka ia akan lebih mudah merasa tenang dan santai.

- Advertisement -
Share This Article