jfid – Perang antara Israel dan Palestina yang kembali memanas sejak awal Mei 2021 tidak hanya berlangsung di medan perang, tetapi juga di media massa dan media sosial.
Anda sudah menbaca judul diatas, nanti setelah anda membaca sampai selesai, anda akan menyadari kalau penulis pun tidak netral. Ada yang sedang penulis ingin masukkan ke alam bawah sadar anda.
Bagaimana cara media melaporkan dan menyajikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Yerussalem, Gaza, dan wilayah-wilayah lain yang menjadi saksi mata kekerasan dan kematian?
Apakah media bersikap netral, objektif, dan seimbang dalam memberitakan perang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini?
Ataukah media justru memihak salah satu pihak dan mempengaruhi opini publik dengan menggunakan istilah-istilah yang kontroversial, mengelabui, dan bermuatan framing?
‘Bentrokan’ dan ‘Konflik’
Istilah ‘bentrokan’ merupakan salah satu yang paling sering muncul dalam laporan media tentang situasi kekerasan yang sedang berlangsung di Yerussalem.
Menurut aktivis pro-Palestina, ‘bentrokan’ dapat menyiratkan persamaan dalam penggunaan kekerasan yang berarti bahwa kedua belah pihak sama-sama seimbang untuk disalahkan.
Masalahnya, dalam hampir semua kekerasan dalam peristiwa yang saat ini tengah terjadi, pihak keamanan Israel diketahui lebih mendominasi serangan dengan berpakaian dan bersenjatakan lengkap, sementara warga Palestina tidak.
Istilah itu dianggap telah menurunkan narasi kekerasan dengan menyetarakan antara kedua sisi dan itulah mengapa penggunaannya dinilai tidak tepat.
Hal yang sama juga berlaku dalam penggunaan istilah ‘konflik’. Berdasarkan sejarahnya, istilah itu memang kerap digunakan untuk menggambarkan hubungan antara Israel-Palestina.
Tetapi, penggunaan ‘konflik’ dalam situasi saat ini dinilai bermasalah karena mengaburkan penderitaan orang-orang Palestina di wilayah pendudukan yang lebih banyak diserang ketimbang memberi perlawanan.
Di mata banyak orang, situasi di Sheikh Jarrah maupun Yerussalem secara keseluruhan yang menimpa warga Palestina, bukanlah sebuah ‘konflik’ melainkan aksi pembantaian.
‘Sengketa properti’
Dalam suatu peristiwa, sejumlah politisi dan media menyebut kontroversi di lingkungan Sheikh Jarrah adalah sebuah ‘sengketa properti’ (property dispute).
Secara harfiah, hal ini tidak sepenuhnya salah. Tetapi secara moral, penggunaan istilah itu terdengar tidak jauh berbeda dengan perselisihan ‘biasa’ antara seorang tuan tanah dan penyewa.
Padahal, apa yang terjadi sebagaimana peristiwa terkait Sheikh Jarrah adalah upaya pengusiran paksa warga Palestina dari rumah-rumah mereka oleh pengadilan Israel yang mengakui klaim pemilik tanah Yahudi.
Ini adalah bagian dari kebijakan pendudukan dan kolonisasi Israel yang bertujuan mengubah demografi dan status Yerussalem sebagai kota yang diinginkan oleh Israel.
Dengan menggunakan istilah ‘sengketa properti’, media seolah-olah mengabaikan konteks politik dan sejarah yang melatarbelakangi masalah ini.
‘Teroris’ dan ‘Ekstremis’
Istilah ‘teroris’ dan ‘ekstremis’ sering digunakan oleh media untuk menyebut kelompok Hamas, yang menguasai Jalur Gaza dan menjadi lawan utama Israel dalam perang saat ini.
Istilah-istilah ini memang memiliki definisi yang bervariasi dan tidak ada konsensus internasional tentang siapa yang dapat disebut sebagai ‘teroris’ atau ‘ekstremis’.
Namun, penggunaan istilah-istilah ini cenderung bersifat peyoratif dan menggambarkan pihak yang melakukan kekerasan sebagai tidak beradab, tidak rasional, dan tidak berhak mendapatkan simpati atau dukungan.
Istilah-istilah ini juga mengesampingkan alasan-alasan politik, sosial, atau ekonomi yang mendorong pihak yang melakukan kekerasan untuk bertindak demikian. Dengan demikian, istilah-istilah ini dapat menutup ruang dialog dan negosiasi antara kedua belah pihak.
‘Agama’, ‘Islam’ dan ‘Arab’
Istilah ‘agama’, ‘Islam’ dan ‘Arab’ sering digunakan oleh media untuk menjelaskan yang terjadi antara Israel-Palestina sebagai sebuah perang antara Yahudi dan Muslim, atau antara Israel dan dunia Arab.
Istilah-istilah ini dapat menimbulkan kesan bahwa perang ini adalah sebuah perang agama atau peradaban yang tidak dapat diselesaikan secara damai.
Padahal, perang ini sebenarnya lebih bersifat politik dan nasionalis, yang berkaitan dengan klaim atas tanah, hak, dan kedaulatan.
Istilah-istilah ini juga mengabaikan fakta bahwa tidak semua orang Palestina adalah Muslim atau Arab, dan tidak semua orang Yahudi atau Israel mendukung kebijakan pemerintah Israel.
Dengan menggunakan istilah-istilah ini, media seolah-olah memecah belah dan memolarisasi masyarakat di berbagai belahan dunia.
‘Israel – Hamas’ Lebih Baik ‘Israel – Palestina’ atau ‘IDF – Hamas’
Istilah ‘Israel – Hamas’ sering digunakan oleh media untuk menyebut perang yang terjadi antara pihak yang melakukan serangan dan balasan.
Istilah ini dapat menimbulkan kesan bahwa Hamas adalah satu-satunya perwakilan atau pemimpin rakyat Palestina, dan bahwa Israel adalah negara yang monolitik dan homogen.
Padahal, Hamas adalah salah satu dari banyak kelompok politik dan militer yang ada di Palestina yang juga ikut bergabung dalam perjuangan bersama al-Qassam (sayap militer hamas), dan mungkin semua warga Palestina mendukung atau terlibat dalam aksi-aksi Hamas atau mungkin warga Palestina mendukung aksi-aksi Hamas.
Demikian pula, Israel adalah negara yang memiliki berbagai macam pandangan dan kepentingan politik, dan tidak semua warga Israel mendukung atau terlibat dalam aksi-aksi pemerintah Israel.
Dengan menggunakan istilah ‘Israel – Hamas’, media seolah-olah mengabaikan keragaman dan kompleksitas yang ada di kedua belah pihak.
Tidak Imbang, dan seolah-olah menempatkan Hamas sebagai terorist yang tidak mewakili rakyat Palestina serta menunjukkan bahwa Israel adalah entitas yang sah, kompak dan kuat.
Sebagai alternatif, beberapa pengamat menyarankan untuk menggunakan istilah ‘Israel – Palestina’ atau ‘IDF – Hamas’ untuk menyebut perang ini.
Istilah ‘Israel – Palestina’ dapat mengakui bahwa perang ini adalah antara dua bangsa yang memiliki kepentingan hak dan tuntutan atas tanah. Ini lebih mudah, karena akan terhubung dengan latar belakang sejarah atau akar masalahnya.
Istilah ‘IDF – Hamas’ dapat mengakui bahwa ini adalah antara dua kekuatan militer yang memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk menghormati hukum humaniter internasional, dan bahwa solusinya harus melibatkan penghentian kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Ibarat tim sepakbola, IDF – Hamas, mewakili negara masing-masing, kemudian beradu kekuatan untuk menentukan mana yang menang atau mana yang kalah. Agar publik makin menyadari dan menilai apakah ada pertempuran yang sportif dan tidak blunder.
Kesimpulan
Konflik Israel-Palestina adalah sebuah konflik yang kompleks dan sensitif, yang membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dari berbagai aspek.
Media memiliki peran penting dalam memberikan informasi dan edukasi kepada publik tentang konflik ini, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk bersikap adil, akurat, dan berimbang dalam melaporkannya. Itu teorinya.
Namun, dalam praktinya nyaris mustahil, cenderung bias, bias kanan atau kiri. Sedikit media di dunia yang mewakili “keseimbangan” atau “netralitas” atau benar-benar valid. Apalagi media yang memang digunakan untuk propaganda.
Oleh karena itu jfid, adalah media opini berita atau opini tentang fakta, karena akan selalu menyuguhkan konten sesuai menurut sudut pandang dan ideologi sang penulis tanpa dipengaruhi oleh kekuatan eksternal manapun, atau minimal yang sesuai dengan keyword algoritma mesin pencari.