jfid – Di sebuah kelas di sekolah dasar di Tel Aviv, seorang guru sedang mengajarkan pelajaran sejarah kepada murid-muridnya.
Dia menunjukkan peta Israel dan wilayah-wilayah yang dikuasainya, termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan.
Dia mengatakan bahwa tanah-tanah ini adalah milik bangsa Yahudi sejak zaman kuno, dan bahwa mereka harus mempertahankannya dari musuh-musuh mereka, terutama orang-orang Arab dan Muslim.
“Anak-anak, kalian tahu siapa yang ingin mengambil tanah kita?” tanya guru itu.
“Orang-orang Palestina!” jawab murid-murid serempak.
“Benar sekali. Orang-orang Palestina adalah orang-orang jahat yang tidak punya hak atas tanah ini. Mereka adalah teroris yang selalu menyerang kita dengan batu, pisau, roket, dan bom. Mereka juga tidak menghormati hak asasi manusia, agama, atau demokrasi. Mereka hanya ingin menghancurkan Israel dan membunuh kita semua,” kata guru itu.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” tanya seorang murid.
“Kita harus melawan mereka dengan segala cara. Kita harus membela diri dan negara kita. Kita harus mendukung tentara kita yang berjuang melawan mereka. Kita harus bersatu dan kuat sebagai bangsa Yahudi. Kita harus bangga menjadi orang Israel,” kata guru itu.
“Ya, kita harus!” seru murid-murid.
Ini adalah salah satu contoh bagaimana Israel mengajarkan anak-anaknya untuk membenci orang-orang Palestina dan Arab.
Menurut sebuah buku yang ditulis oleh Nurit Peled-Elhanan, seorang profesor pendidikan di Universitas Ibrani Yerusalem, buku-buku teks sekolah di Israel mempropagandakan rasisme dan ekstremisme di antara anak-anaknya.
Dia meneliti 17 buku teks sekolah Israel dan mengungkapkan indoktrinasi dan pemeliharaan rasisme anti-Arab.
“Dalam buku-buku ini, orang-orang Palestina tidak pernah ditampilkan sebagai manusia biasa, tetapi sebagai objek yang negatif dan merendahkan. Orang-orang Palestina sering digambarkan secara negatif sebagai ‘teroris’, ‘pengungsi’, dan ‘petani primitif’. Pembunuh Israel dirayakan sebagai pahlawan. Buku-buku teks Israel menggunakan terminologi militer untuk menanamkan pola pikir tempur. Sebagian besar kejahatan Israel terhadap orang-orang Palestina tidak disebutkan. Beberapa buku teks meremehkan atau membenarkan kejahatan Israel terhadap orang-orang Palestina,” kata Peled-Elhanan.
Buku-buku teks ini tidak hanya mempengaruhi persepsi anak-anak Israel terhadap orang-orang Palestina, tetapi juga terhadap diri mereka sendiri.
Mereka diajarkan untuk menganggap diri mereka sebagai korban yang selalu terancam, dan untuk mengabaikan hak dan penderitaan orang-orang Palestina. Mereka juga diajarkan untuk mengagungkan kekerasan dan martir sebagai nilai-nilai utama bangsa mereka.
“Anak-anak Israel dibesarkan dalam budaya yang mengagumi kekerasan dan menganggapnya sebagai solusi untuk semua masalah. Mereka dibesarkan dalam budaya yang menganggap kematian sebagai sesuatu yang mulia dan bermakna, asalkan dilakukan demi Israel. Mereka dibesarkan dalam budaya yang tidak mengenal belas kasihan atau empati terhadap orang lain, terutama orang-orang Palestina,” kata Peled-Elhanan.
Pendidikan yang diberikan oleh Israel kepada anak-anaknya tidak sesuai dengan Konvensi Hak Anak, sebuah perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Israel pada tahun 1991.
Konvensi ini menetapkan standar universal untuk perlindungan dan kesejahteraan anak-anak, termasuk hak mereka untuk hidup, berkembang, berpendapat, berpartisipasi, dan belajar dalam lingkungan yang damai dan toleran.
Namun, Israel tidak hanya mengabaikan hak-hak anak-anak Palestina, tetapi juga menggunakan hak-hak anak-anak sebagai senjata untuk melawan mereka.
Israel sering menuduh orang-orang Palestina menggunakan anak-anak sebagai perisai manusia, pejuang, atau penghasut, untuk membenarkan pembunuhan, penangkapan, penyiksaan, dan pengadilan militer terhadap mereka.
Israel juga menggunakan hak-hak anak-anak sebagai alat propaganda untuk membangun legitimasi untuk operasi militer dan pendudukan teritorialnya.
Israel juga mengeksploitasi hak-hak anak-anak untuk memperkuat kontrolnya atas pendidikan orang-orang Palestina. Israel mengawasi dan mengintervensi kurikulum, buku teks, ujian, dan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah Palestina, terutama di Yerusalem Timur.
Israel juga menghambat akses dan kualitas pendidikan orang-orang Palestina dengan menutup, merusak, atau mengambil alih sekolah-sekolah mereka, serta menghalangi pergerakan siswa dan guru dengan tembok pemisah, pos pemeriksaan, dan blokade.
Israel juga mencoba untuk mengasimilasi anak-anak Palestina dengan menawarkan insentif finansial atau fasilitas untuk sekolah-sekolah yang mengadopsi kurikulum Israel, yang mengajarkan bahasa Ibrani, sejarah Israel, dan loyalitas terhadap negara Yahudi.
Namun, banyak orang Palestina yang menolak tawaran ini, karena mereka melihatnya sebagai upaya untuk menghapus identitas, budaya, dan sejarah mereka.
Israel adalah salah satu negara yang paling melanggar hak-hak anak-anak di dunia, terutama anak-anak Palestina. Israel tidak hanya mengabaikan hak-hak anak-anak, tetapi juga menggunakannya sebagai senjata untuk memperburuk penderitaan mereka.
Israel juga mengajarkan anak-anaknya untuk membenci orang-orang Palestina dan Arab, dan untuk menghormati kekerasan dan martir sebagai nilai-nilai utama. Israel tidak peduli dengan masa depan anak-anak, baik yang Israel maupun yang Palestina, tetapi hanya dengan kepentingan dan ideologinya sendiri.