jf.id – Malam itu, sebuah mobil biru-oranye berhenti di antara Plaza Indonesia dan bundaran HI. Tiga orang pengamen tak dapat mengelak. Tidak salah lagi! Itu adalah mobil petugas Pelayanan, Pengawasan, Pengendalian Sosial (P3S). Petugas berpakaian biru-biru itu mengelilingi pengamen, mungkin takut pengamen itu melarikan diri. Beberapa dari mereka mengambil video untuk laporan ke kantor.
Beberapa bukti berupa uang receh, tiga alat musik dan kolekan (tempat penampung uang hasil mengamen) dilihat dengan seksama oleh beberapa petugas. Mereka tak dapat mengelak lagi meski tiga orang pengamen itu bersikeras menolak dikatakan sebagai pengamen, melainkan sekedar iseng bermain musik di sekitar bundaran HI.
”Kami bukan pengamen, pak. Saya punya KTP!”
”Sudahlah, tidak perlu mengelak disebut pengamen. Hari ini kami tidak akan menangkap. Kami masih memberikan sosialisasi. Kalau nantinya kalian masih mengamen di sini, akan kami bawa untuk ditertibkan. Mereka yang terjaring razia, akan kami bawa ke Dinsos untuk dibina. Meski kalian punya KTP, tapi ada perda yang melarang pengamen, pengemis dan gelandangan di kota,” kata salah seorang petugas yang nampaknya berpangkat paling tinggi.
Tiga orang pengamen itu tak membantah, hanya mengiyakan kata-kata pria di depannya. ”Kami bukan melarang orang mencari nafkah, tapi tolong jangan beroperasi di jalan-jalan ring satu. Karena jalan ini jadi sorotan.” Tambah petugas itu.
Tak lama berselang, setelah puas mengambil gambar, dan memberikan sosialisasi, tiga orang pengamen itu dilepaskan. Mereka menyarankan agar pengamen itu menepi ke jalanan gelap dekat Hotel Kempinski dan tidak menampakkan diri di pinggiran jalan bundaran HI.
Sebelumnya, seorang pengemis yang membawa anak juga ditangkap oleh P3S. Dengan sinis, perempuan yang telah bebas lantaran ditebus keluarganya itu berkata, ”semua gelandangan dan pengemis akan dirazia. Itu sebabnya saya jarang ke bundaran HI.”
Mungkin petugas P3S yang merazia pengemis, pengamen dan gelandangan itu bekerja sesuai dengan prosedur: pengawasan, sosialisasi dan dilanjutkan penertiban. Tapi, pertanyaan yang menggelitik adalah anjuran kepada tiga pengamen itu untuk menghindari wilayah-wilayah ring satu atau jalanan utama Jakarta. Mengapa? Karena di jalan itu dilewati pejabat-pejabat penting negara serta para tamunya. Atau ada alasan lain yang lebih prinsipil yang membuat ”sampah kota” tak boleh berada di sana.
Meski bukan pertama kalinya kejadian semacam itu hadir di depan hidung saya, tapi rasanya di kota besar berwajah kusut itu, kemanusiaan benar-benar dikotak-kotakkan. Rupanya di kota berudara kotor itu terdapat semacam ”manusia kelas dua” yang tak boleh beredar di pinggir jalanan tempat pejabat melintas. Area itu benar-benar harus steril dan tak boleh ada pemandangan yang mengganggu.
Kata seorang kawan, ”saya rasa—selain bermental korup, merasa gemagah dan menjadi bos—para punggawa pemerintah itu suka membohongi dirinya. Ia memastikan pikirannya tak dibikin rusuh dengan ’manusia kelas dua’ yang dianggap sebagai indikator kegagalan kinerja mereka mengurus negara. Mata para tamu negara hanya boleh disuguhi dengan kerapian. Haram hukumnya mata mereka dikotori dengan ketimpangan ekonomi, drama ketidakadilan, dan ledakan-ledakan spontan khas ’masyarakat buangan’ yang (dianggap) kampungan.”
Tapi, sebaliknya. Saya justru berbaik sangka bila para pejabat yang nampak risih dengan kehadiran gelandangan, pengamen dan pengemis bukannya tidak meneladani kisah kekhalifahan Umar, Usman dan Ali. Saya yakin punggawa pemerintah di daerah atau pusat telah ratusan kali mendengar kisah keharuan dan rasa bersalah para khalifah ketika ada rakyatnya yang kelaparan, merebus batu dan terjepit hidupnya. Tentu saja tuan-tuan pejabat terhormat itu paham bila setetes air mata keteraniayaan nasib akibat ketimpangan sosial dari mata kawula alit adalah jalan tol maha lancar menuju ke neraka.
Yang membedakan pejabat pemerintah usai Kanjeng Nabi Muhammad dengan pejabat Indonesia hari ini adalah cara pandang mereka pada jabatan. Kalau dulu, tidak ada yang berebut menjadi kholifah karena takut pada ancaman Allah atas pemimpin yang abai pada nasib rakyat. Berbeda dengan di NKRI, lewat partai mereka berebut untuk mendaftar dengan optimisme tinggi mampu mengurus rakyat.
Meski begitu, saya yakin itu bukan penghalang kepedulian pada nasib rakyat. Karena pada dasarnya punggawa pemerintah di pusat dan daerah tetap punya kegelisahan pada kemiskinan di Indonesia. Soal itu prioritas ke berapa, itu urusan nanti. Resah saja dulu, aksi nyata belakangan. Kalau pun ada langkah praktis yang perlu ditempuh adalah dengan menyiagakan P3S agar setidaknya wilayah strategis yang jadi sorotan dan ikon Indonesia bebas dari pemandangan yang tidak menyenangkan. Dan para pemerintah hari ini juga boleh berdalih: ”kan di zaman sekarang berbeda dengan di zaman kekhalifahan Umar and friend. Kompleksitas dari akar persoalan kemiskinan juga jauh berbeda dengan dulu.”
Baiklah, tuan-tuan. Saya paham derita anda semua. Di tengah perenungan dan kontemplasi anda semua mengatasi persoalan kemiskinan beserta dampak sosialnya ini anda butuh tempat yang tenang. Di perjalanan usai ngantor seharian di ruang ber-AC tak boleh dikotori oleh pemandangan menjemukan yang semakin mengumumkan kegagalan anda di mata rakyat yang lain, apalagi bila dampak kemiskinan di pusat kota sampai jadi bahan gunjingan di luar negeri.
Perjalanan dinas demi bangsa dan negara anda tidak boleh terganggu oleh kemacetan karena peristiwa remeh-temeh, seperti penjual kopi bersepeda yang merubung bagai lalat di jalanan ring satu. Tentu saja kemacetan pengganggu perjalanan anda itu murni salah para pedagang kopi bersepeda dari Madura. Kemacetan itu juga perlu dialamatkan ke pekerja-pekerja nanggung yang ingin melepas penat dan berkumpul di bundaran HI. Dan jangan lupa, kemacetan itu adalah salah tukang parkir di sana.
Maka tak heran bila sekarang pedagang kopi harus kucing-kucingan dengan Satpol PP. Pegawai rendahan yang cari hiburan murah di bundaran HI perlu diusir dengan pengeras suara. Tukang parkir di sana, sekali waktu perlu dimintai satu-dua bungkus rokok oleh para polisi agar jera. Tapi, kalau untuk kemacetan di tengah malam lantaran mobil mewah yang sedang adu kecepatan mengalami kecelakaan itu bisa tuan-tuan pejabat pahami. Karena waktu orang kaya itu adu balap di jalan ring satu, para pejabat yang terhormat sudah dikeloni istri tercinta dan mimpi indah di rumah.
Saya pikir untuk itulah pemerintah perlu sebuah lembaga pengawas, pengendalian sosial. Di Indonesia ini, kalau ada kulit yang gatal perlu ada pihak yang sigap untuk menggaruk. Garuk saja terus kalau perlu sampai mlincet. Tak jadi soal kuku yang dipakai menggaruk itu penuh kuman atau tidak, cara menggaruknya benar atau tidak. Tak usah dipusingkan bakal jadi persoalan baru atau tidak, bakal lebih banyak meneteskan air mata keteraniayaan rakyat atau tidak.
Garuk saja dulu, tanpa perlu ditelaah apa yang jadi penyebab gatal. Karena melacak penyebab darah kotor itu perlu waktu lama, studi mendalam, biaya tinggi dan keberanian menyelenggarakan pemerataan ekonomi serta ketegasan pada dalang penyebab penggumpalan modal di beberapa titik, juga kapitalisme.
Mungkin Harvey dalam bukunya Social Justice and the City benar adanya. Menurutnya, negara telah memainkan peran utama dalam reproduksi kapitalisme dan lingkungan perkotaan. Dan di Indonesia, Jakarta telah menjelma menjadi kota di mana ajang perjuangan kelas—sebagai akibat dari kapitalisme—berlangsung secara tidak adil. Ada kelas yang berjuang dengan segala fasilitas, akses dan sumber daya tanpa kontrol. Sementara kelas lain yang lebih rendah berjuang sendiri secara serabutan dan seolah terlihat tanpa kontrol. Dan perjuangan paling bawah ini harinya tidak lepas dari bayang-bayang mengerikan kerangkeng dingin Dinsos.
Dan untuk soal kerangkeng bagi para gelandangan, lagi-lagi pemerintah boleh berdalih: ”mereka yang terjaring razia akan diberikan sosialisasi, pendidikan dan latihan kerja agar dapat lebih mandiri.” Tapi, lagi-lagi saya hanya punya kata ”semoga”, terutama agar setelah keluar dari kerangkeng, masyarakat kelas bawah itu tak perlu berurusan dengan kepungan manipulasi kredit bank yang memiskinkan, persaingan tidak sehat pemilik modal besar yang mampu membeli sebuah regulasi.
Tanpa perlu melewati kerangkeng, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan kerja, telah banyak cerita tentang perjuangan mantan pengamen, gelandangan dan pengemis yang berusaha bangkit dari keterpurukan. Beberapa di antara mereka membangun usaha kecil-kecilan. Tapi, lagi-lagi kejamnya persaingan mengembalikan mereka ke jalanan atau tempat yang mereka anggap minim risiko tercaploknya modal kecil mereka oleh modal yang lebih besar.
Tentu saja, air mata rakyat yang sudah jatuh bangun berkali-kali ini lebih menyesakkan. Dan tentu saja P3S tak perlu ambil pusing orang-orang yang bakal mereka cokok. Asal berkeliaran di jalanan ring satu, mereka perlu dibersihkan.
Jakarta, 6 Januari 2019
Citra D. Vresti Trisna