jfid – Bangkrut. Kata itu mungkin terdengar menakutkan bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang memiliki bisnis atau utang. Namun, tahukah Anda bahwa ada beberapa negara di dunia yang pernah mengalami kebangkrutan?
Ya, negara-negara yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan dan kesejahteraan rakyatnya, ternyata juga bisa gagal membayar utang dan menghadapi krisis ekonomi yang parah.
Lantas, apa penyebab dan dampak dari kebangkrutan negara-negara tersebut? Bagaimana mereka bisa bangkit kembali dari keterpurukan? Dan apakah Indonesia berisiko mengalami hal yang sama? Simak ulasan berikut ini untuk mengetahui jawabannya.
Sri Lanka: Bangkrut karena Covid-19 dan Pinjaman China
Salah satu negara yang baru-baru ini dinyatakan bangkrut adalah Sri Lanka. Negara pulau di Asia Selatan ini tengah dilanda krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang berlarut-larut. Penerimaan negara dari sektor pariwisata dan ekspor menurun drastis, sementara pengeluaran untuk penanganan kesehatan dan bantuan sosial meningkat.
Selain itu, Sri Lanka juga terbebani oleh utang luar negeri yang besar, terutama dari China. Menurut data Bank Dunia, utang luar negeri Sri Lanka pada 2020 mencapai US$ 51 miliar atau setara dengan Rp 729 triliun (asumsi kurs Rp 14.300). Utang itu termasuk pinjaman dari pemerintah asing serta dana talangan IMF.
Akibatnya, Sri Lanka mengalami kesulitan likuiditas dan devisa. Nilai tukar rupee Sri Lanka terus melemah terhadap dolar AS. Cadangan devisa Sri Lanka juga menyusut hingga hanya cukup untuk membayar impor selama tiga bulan. Sri Lanka pun gagal membayar cicilan utangnya yang jatuh tempo pada Juni 2021.
Kebangkrutan Sri Lanka ini berdampak buruk bagi rakyatnya. Harga-harga barang kebutuhan pokok melonjak, inflasi meningkat, dan kemiskinan bertambah. Pemerintah Sri Lanka harus mengambil langkah-langkah pengetatan moneter dan fiskal untuk mengatasi krisis. Sri Lanka juga berharap mendapatkan bantuan dari IMF, China, dan negara-negara lain.
Venezuela: Bangkrut karena Krisis Minyak dan Sanksi AS
Venezuela adalah negara yang kaya akan minyak, namun ironisnya justru mengalami kebangkrutan. Venezuela telah mengalami krisis ekonomi sejak 2014, ketika harga minyak dunia anjlok. Padahal, minyak merupakan sumber pendapatan utama negara ini.
Selain itu, Venezuela juga menghadapi masalah politik dan sosial yang rumit. Pemerintahan Presiden Nicolas Maduro dianggap otoriter dan korup oleh sebagian besar rakyatnya. Venezuela juga menjadi sasaran sanksi ekonomi dari AS dan negara-negara Barat lainnya, yang menuduh Maduro melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Akibatnya, Venezuela tidak mampu membayar utang luar negerinya yang mencapai US$ 150 miliar atau sekitar Rp 2.025 triliun. Venezuela pun menyatakan diri dalam kondisi default pada 2017. Nilai tukar bolivar Venezuela merosot hingga hampir tidak berharga. Inflasi di Venezuela mencapai angka jutaan persen per tahun.
Kebangkrutan Venezuela ini menyebabkan krisis kemanusiaan yang mengerikan. Rakyat Venezuela mengalami kelaparan, kekurangan obat-obatan, listrik, air bersih, dan bahan bakar. Jutaan orang Venezuela terpaksa meninggalkan negaranya untuk mencari penghidupan di negara-negara tetangga.
Yunani: Bangkrut karena Utang dan Austerity
Yunani adalah negara anggota Uni Eropa yang pernah mengalami kebangkrutan pada 2015. Yunani menghadapi krisis utang yang disebabkan oleh pengelolaan keuangan negara yang buruk, korupsi, dan penghindaran pajak. Utang Yunani pada 2015 mencapai 360 miliar euro (Rp 5.000 triliun), atau sekitar 180% dari PDB negara itu.
Untuk mengatasi krisis, Yunani mendapatkan bantuan dana talangan dari Uni Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF. Namun, bantuan itu disertai dengan syarat-syarat ketat yang mengharuskan Yunani melakukan reformasi struktural dan kebijakan austerity (penghematan anggaran).
Kebijakan austerity ini berdampak negatif bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat Yunani. Pemerintah Yunani harus memangkas belanja publik, menaikkan pajak, menurunkan upah, dan memotong tunjangan sosial. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Yunani terhambat, pengangguran meningkat, dan kemiskinan meluas.
Yunani berhasil keluar dari program bantuan dana talangan pada 2018, setelah menunjukkan perbaikan ekonomi dan fiskal. Namun, utang Yunani masih tetap tinggi dan menjadi beban bagi negara itu. Yunani juga masih harus berjuang untuk pulih dari dampak pandemi Covid-19 yang menghantam sektor pariwisata.
Ekuador: Bangkrut karena Krisis Minyak dan Kebijakan Populis
Ekuador adalah negara Amerika Latin yang juga pernah mengalami kebangkrutan. Ekuador mengalami krisis ekonomi ketika harga minyak jatuh pada 2014. Padahal, minyak merupakan sumber pendapatan utama negara ini.
Selain itu, Ekuador juga menderita akibat kebijakan populis yang diterapkan oleh mantan Presiden Rafael Correa. Correa meningkatkan belanja publik untuk program-program sosial, infrastruktur, dan subsidi. Namun, hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan penerimaan negara.
Untuk menutupi defisit fiskal, pemerintah Ekuador berutang luar negeri dengan biaya yang sangat tinggi. Bahkan sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40% dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Ekuador pun gagal membayar utangnya pada 2019 dan menyatakan diri dalam kondisi default. Ekuador kemudian mendapatkan bantuan dari IMF sebesar US$ 6,5 miliar atau sekitar Rp 92 triliun. Namun, bantuan itu juga disertai dengan syarat-syarat reformasi ekonomi dan fiskal.
Kebijakan reformasi ini menimbulkan protes dari rakyat Ekuador, terutama ketika pemerintah mencabut subsidi bahan bakar pada 2019. Harga bahan bakar melonjak hingga 100%, menyebabkan kenaikan biaya transportasi dan barang-barang lainnya. Rakyat Ekuador melakukan demonstrasi besar-besaran yang berakhir dengan kekerasan.
Argentina: Bangkrut karena Krisis Mata Uang dan Kreditur Bandel
Argentina adalah negara Amerika Latin yang sudah dua kali dinyatakan gagal bayar utang (default) yakni pada 2001 dan 2014. Argentina menghadapi krisis mata uang yang disebabkan oleh ketidakstabilan politik dan ekonomi.
Pada tahun 2001, Argentina gagal bayar utang sebesar US$ 100 miliar atau sekitar Rp 2.025 triliun. Hal ini menyebabkan nilai tukar peso Argentina anjlok hingga 75% terhadap dolar AS. Inflasi di Argentina melonjak hingga mencapai 40% per tahun.
Pada tahun 2014, Argentina kembali gagal bayar utang setelah para krediturnya menolak penawaran
negosiasi restrukturisasi utangnya. Hal ini terjadi karena ada sekelompok kreditur yang disebut “vulture funds” (dana buas) yang menuntut pembayaran penuh dari utang Argentina. Dana buas ini adalah para spekulan yang membeli utang Argentina dengan harga murah saat negara itu mengalami krisis, lalu menagihnya dengan bunga tinggi.
Kebangkrutan Argentina ini berpengaruh besar bagi rakyatnya. Perekonomian Argentina mengalami resesi, pengangguran meningkat, dan kemiskinan meluas. Rakyat Argentina juga harus menghadapi kenaikan harga-harga, penurunan daya beli, dan kelangkaan barang-barang.
Argentina berhasil mencapai kesepakatan dengan para krediturnya pada 2020, setelah melakukan negosiasi panjang. Argentina setuju untuk membayar sekitar US$ 65 miliar atau sekitar Rp 928 triliun dari utangnya, dengan potongan sekitar 45%. Argentina juga mendapatkan kelonggaran waktu pembayaran hingga 2030.
Indonesia: Aman dari Bangkrut?
Setelah mengetahui kisah-kisah negara-negara yang bangkrut, mungkin Anda bertanya-tanya, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia berisiko mengalami hal yang sama?
Menurut data Kementerian Keuangan, utang luar negeri Indonesia pada Maret 2021 adalah US$ 417,5 miliar atau sekitar Rp 5.960 triliun. Utang itu terdiri dari utang pemerintah sebesar US$ 206,9 miliar atau sekitar Rp 2.959 triliun dan utang swasta sebesar US$ 210,6 miliar atau sekitar Rp 3.011 triliun.
Jumlah utang luar negeri Indonesia tersebut setara dengan 39% dari PDB negara ini. Angka ini masih di bawah batas aman yang ditetapkan oleh Bank Dunia, yaitu 60% dari PDB. Selain itu, rasio utang terhadap PDB Indonesia juga lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia (62%), Singapura (127%), dan Thailand (51%).
Namun, bukan berarti Indonesia bisa tenang-tenang saja. Indonesia tetap harus berhati-hati dalam mengelola utangnya agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Indonesia juga harus meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak dan non-pajak, serta mengoptimalkan penggunaan utang untuk membiayai pembangunan yang produktif dan berdampak positif bagi rakyat.
Selain itu, Indonesia juga harus waspada terhadap faktor-faktor eksternal yang bisa mempengaruhi kondisi ekonominya, seperti pandemi Covid-19, perubahan harga komoditas global, gejolak politik dan keamanan, serta kebijakan moneter negara-negara besar. Indonesia juga harus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, inflasi, dan cadangan devisa.
Dengan demikian, Indonesia bisa menghindari risiko kebangkrutan dan menjaga kesejahteraan rakyatnya. Bangkrut, bukan akhir segalanya, tapi lebih baik dicegah daripada diobati.