Rembulan di Jelaga Malam

Rasyiqi
By Rasyiqi
14 Min Read
Ilustrasi gambar
Ilustrasi gambar

Cerita Pendek

Oleh : Herry Santoso

jfID – SOROT lampu menyilaukan berpendaran ditingkahi suara musik cadas mendetap-detap seolah meninju dada setiap orang yang ada di bawah balkon, yang sedang mengerumuni dance stage. Aku pun tetap duduk di kursi menghadap ke meja marmer. Sendirian. Tak lama kemudian seorang perempuan dengan tubuh seksi dan postur semampai melangkah pelan menaiki panggung “istimewa” itu dengan busana minim, vulgar sekali. Beberapa bagian lekuk tubuhnya yang terawat indah dibiarkan tampak mencuat : dari bagian tungkai hingga pangkal paha, dari ujung jemari hingga ketiak, dan dari lehernya yang jenjang hingga separo dadanya. Semua pengunjung terdiam tatkala wanita penari striptease itu mulai meliuk dan menggeliat seiring alunan musik klasik yang anggun mendayu. Orang-orang — yang nyaris semua laki-laki — itu berdecak kagum. Lampu sorot pun padam, dan ketika menyala lagi tak selembar benang pun tampak menempel di permukaan kulit mulus penari telanjang itu. Kembali ia menggeliat-geliat erotis. Musik pun berganti irama rap dan rock  menggedor dada. Semua mata melototi tubuh bugil yang menggelinjang-gelinjang itu  mengeksploitasi gerak dan ekspresi orgasme, sebelum akhirnya tubuh itu pun luruh  terlentang dilantai dengan bitir-butir keringat membasahi sekujur bilur-bilur otot genitalnya tampak mengundang decak kagum penonton. Lampu pun kembali padam dibarengi aplaus panjang memenuhi ruangan. 

      Aku tercenung. Tetap duduk di kursi menghadap ke meja pualam bundar. Aku termangu-mangu beberapa saat, mencoba menganalisa itu tontonan seni ataukah pornografi. Sulit mengapresiasi. Tak seberapa lama penari erotis itu membuyarkan anganku berganti busana santun dan menyusulku untuk duduk semeja.

      ” Berapa tahun kontrakmu di diskotek ini ?” tanyaku dengan ekspresi dingin.

     Ia menunjukkan satu jari, seraya menuang Wet Martini-35  di sloki dan menyodorkan kepadaku tetapi dengan halus aku menolaknya. 

      “Maaf, aku tidak minum alkohol.  Minumlah jika kamu suka, tetapi…”

      “Tetapi kenapa ?” tanyanya menukas.

      ” Tetapi jagalah kesehatanmu. Kandungan alkohol 35% akan berpengaruh besar terhadap kesehatanmu, termasuk kulitmu bisa tidak semulus sekarang lagi.” kataku serius. Ia menatap wajahku dengan saksama. Sinar matanya agak sayu dan lindap. Mungkin kelelahan, atau lebih tepatnya mulai mabuk.  Mungkin. Betul dugaanku, ia meletakkan kepalanya di atas permukaan meja marmer itu. Perlahan kuusap rambutnya yang lebat, ia tidak bereaksi seraya kuangkat kepalanya dan kurengkuh agar ia berdiri, dan aku  memapahnya untuk keluar ruangan itu.

     “Kita keluar dari sini. Kamu mabuk. ” bisikku di telinganya yang bersandar di bahuku. Kurengkuh pinggangnya yang ringkih itu dan kami berusaha menuju parkiran. Di pintu depan dua security menghadang, namun mereka bersikap hormat ketika tahu yang kupapah adalah penari striptiase ikonis di diskotek itu. Tak lama kemudian mobilku bergerak keluar meninggalkan pelataran gedung diskotek itu dan segera kupacu ke arah luar kota melalui jalan tol.  Menjelang ujung tol mobilku keluar memasuki jalan kampung yang menuju rumahku di pinggang perbukitan. Terpaksa aku memapah kembali tubuh perempuan mabuk itu serta merta  membuka pintu rumah dan mendudukkannya di sofa ruang tengah. Aku segera membersihkan ranjang, mengganti badcover,  selimut, dan bantal sebelum balik mengangkat tubuh perempuan itu. Aku menidurkannya di ranjang. Kubuka seluruh pakaiannya, bahkan juga memasang pampers, karena orang mabuk biasanya cenderung ngompol, setelah memasang baju tidur aku menyelimutinya. Aku segera ke dapur membuat sarapan sendiri : membakar roti, mengolesi mentega dan daging asap, membuat susu, serta-merta membawanya ke meja kamarnya, namun perempuan  itu sudah bangun dan mengamatiku. Aku memberi isyarat agar dia sarapan. Ia tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya. Perempuan itu pun menuju washtapel mengambil sikat gigi dari tasnya, dan berkumur serta cuci muka, sebelum kembali duduk di sofa. Menyusulku.

     “Kamu sendirian di villa ini, “

      Aku mengangguk sambil mengunyah makanan. 

      “Istrimu ?” mata itu menatapku lurus. Ia mulai sarapan.

     ” Wafat. ” kataku pendek.

     ” Itu fotonya ?” ia menunjuk potret kami di meja sudut. 

      “Cantik. ” gumamnya, dan  beranjak menyibakkan gorden jendela, mengamati orang-orang yang tengah memetik pucuk teh.

      “Kebunmu ?” tatapnya. Aku tak menjawab.    

     “Tidakkah kamu merasa takut hidup seorang diri di villa ini ?”

     “Takut. “

     “Takut ?”

     “Ya.”

     “Lalu apa yang kamu takutkan ? Pasti rumah ini berhantu !”

      Aku menggeleng.

     “Terus apa ?”

     ” Mati. “

     ” Mati ? Maksudmu ?”

     ” Hidup adalah kematian yang tertunda, dan aku belum siap untuk itu karena masih bergelimang dosa-dosa. Lebih-lebih di tengah pandemi Covid 19 seperti saat ini. Kita tidak tahu, esok atau lusa, atau bahkan nanti umur kita akan berakhir. “

     Perempuan itu tertegun. Aku pun segera ke kamar mandi. Ia mengamatiku dengan diam ketika aku memasang dasi.

     “Kuharap kamu tetap di sini bila kamu suka. Untuk segala kebutuhanmu kamu bisa memanggil Pak Narko, atau Bik Lupi, istrinya. ” kataku.  Aku pun segera memanggil pembantuku itu. Tak seberapa lama Bik Lupi tergopoh datang nenemuiku.

     “Layani dia sebaik mungkin apa pun yang ia butuhkan. Beri dia masker baru, dan ambilkan busana yang lebih santai. “

     ” Injih, Den. Calon, Aden, ya ?” tanya Bik Lupi sambil mengerling nakal. Sok tahu.

     “Ya. ” jawabku pendek. Mereka pun bersalaman sebelum  pembantuku itu pergi dengan pekerjaan rutinnya.

     “Aku mau ke kantor dulu.”

     “Sebentar !” katanya. Ternyata pancinganku mengena. Ia serta-merta mendekatiku dan membenarkan letak dasiku yang memang sengaja kupasang kurang semetris.

     “Sudah. Selamat bertugas, Kangas, eh…Tuan, ” ucapnya dan mengiringiku menuju halaman samping tempat sopirku menunggu.

     “Bila mau jalan-jalan kamu bisa minta kunci mobil ke Bik Lupi ,” ucapku sebelum pergi meninggalkannya. Ia mengangguk setengah membungkuk. Santun.

                    ***

     SENJA mulai menua ketika aku sampai di rumah. Tidak biasanya aku pulang kantor lebih dini, karena biasanya aku pulang paling awal jam 8.00 malam. Aku sengaja ingin mengecek perempuan eksotik itu apa yang ia lakukan di rumahku seharian tadi. Jangan-jangan ia kabur tanpa sepengetahuan pembantuku, karena kuduga ia tidak akan betah hidup di tempat yang sepi. Untuk itu aku memasuki rumah diam-diam, melangkah menuju kamar di mana perempuan itu berada, tapi langkahku tercekat di depan pintu tatkala mendengar sesuatu yang mencengangkan : orang mengaji Alqur’an. Lebih terperangah lagi ketika aku masuk kamar tampak perempuan itu duduk terpekur dengan masih mengenakan mukena. Ia melantunkan suaranya begitu indah, fasih,  dan merdu hingga meresap ke dasar sanubari.   

       “Assalamu’alaikum….” ucapnya seusai ia membaca. Ia menoleh dan tersenyum kepadaku. 

     “Wa’alaikum salam…” balasku. Ia bergegas turun dari ranjang sembari menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada menyambutku.

      “Teruskan. Aku tertegun. Kukira malaikat turun dari langit, ” kataku masih termangu-mangu. Pandangan mataku segera beredar ke seputar kamar,  kurasakan ada  yang beda. Tampak vas bunga di meja dengan anggrek merah yang artistik. Juga alas tidur dan karpet yang berganti indah menyejukkan. 

     “Siapa yang membuat “beda” ini semua?” 

      “Bila Tuan kurang suka aku akan mengembalikannya seperti semula. ” jawabnya landai.

     “O, tidak, tidak,” tukasku, “tapi…” suaraku tersendat.

     “Tapi, mengapa, Tuan ?”

     “Tapi, jujur, aku merasa kecil di depanmu. Suasana yang pernah hilang selama nyaris empat tahun, kini muncul kembali….” kataku tulus.

    “Maksud, Tuan ?”

    “Panggil saja aku, Dony. Jangan “tuan”, karena itu tidak lazim. Maaf, Rembulan, aku hampir lupa suasana kamar seperti  ini dan…” suaraku tersendat, “dan termasuk melupakan Tuhan…” ucapku tertelan. Ia tersenyum manis. Manis sekali. Tak kuduga ada lesung pipit di pipinya, wajahnya bersih dan sumringah.

     “Sebaliknya saya, mengucapkan terima kasih setulusnya kepada Anda, yang telah membawa saya ke mari sehingga saya bisa istirahat di sini. Selanjutnya saya mohon diri untuk kembali ke habitatku semula. ” ujar Rembulan dengan nada tenang. Aku tidak menimpali kalimatnya itu. Ia pun melepas mukenanya seraya berganti pakaian yang ia kenakan tadi malam. Kami pun segera duduk di ruang tamu. 

     “Tidakkah kamu berkenan untuk menemaniku di sini ?” aku nenatap wajahnya.  Ia menunduk dan ketika mengangkat wajahnya mata itu tampak berkaca-kaca dan menggeleng pelan.

     “Apakah kamu ingin kembali ke profesimu sebagai penari erotis ?”

      Ia menunduk lagi dan mengangguk patah-patah.

      “Tidakkah ada pekerjaan lain yang lebih mulia daripada striptease dance itu ?”

      Ia tak menjawab. Di luar ada senja jatuh di antara renai gerimis. Aku pun segera memanggil Pak Narko untuk mengantarkan Rembulan di tempat kostnya. 

      “Jika kamu menemui kesulitan hubungi di nomor ponselku di kartu nama ini. Aku terbuka untukmu, dan ini ada sedikit uang sekadar ongkos taksi. ” ucapku sembari menyodorkan anflop. Ia tidak mau menerimanya, tetapi aku segera memaksakannya. Ia  mencium tanganku sebelum pergi…

                ***

      Sudah kali yang kelima aku mendatangi diskotek yang ditutup itu. Maklum di tengah Pandemi Covid 19,  tetapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa  benar-benar merasa kehilangan Rembulan. Untuk itu setiap kali aku pulang kantor selalu menyempatkan diri meski untuk sekadar menengok tempat itu, dengan  begitu rasanya cukup mengurangi rinduku yang menghimpit.

      ” Diskoteknya tutup, Om !”  kata abang ojol yang mangkal di depan gedung itu.

      ” Lalu ke mana para pekerjanya, ” tanyaku tanpa malu-malu.

      “Mereka pada pulang kampung Om, kecuali satu  yang masih tinggal di kota ini lantaran terpapar Covid 19. “

      “Hah ?!” aku kaget karenanya, “Siapa dia ?”

      “Rembulan. Si primadona, ia dalam isolasi Covid 19 di rumah sakit kota. ” jelasnya yang membuatku gelisah, hingga tanpa basa-basi lagi aku pun segera pergi memacu mobil ke rumah sakit kota. Untunglah aku punya sahabat seorang dokter yang bekerja di situ.

      “Sungguhkah pasien itu pacarmu Dony ?” tanya dokter Hardi, saat kutemui.

       “Ya. Bisakah aku menemuinya Dokter ?” ucapku setengah memohon.

       “Bisa. Saat ini pula ia akan pulang. Hasil pemeriksaan Swaw-nya dinyatakan negatif. ” 

       “Oh ?” 

       “Dan sebaiknya kau menunggu di loby karena ia sudah di lif. “

       “Baikkah, ” ucapku dengan rasa syukur. Diam-diam ada rasa bahagia meluap-luap di dadaku. Tak seberapa lama menunggu di loby dari jejauhan tampak Rembulan berjalan didampingi dua orang perawat dan dokter sahabatku. 

       “Rembulan !” panggilku. Ia tampak ragu tapi segera kulambaikan tanganku ke arahnya. Ia masih termangu-mangu namun segera aku berlari kepadanya dan menggandeng tangannya menuju ke mobil.

        “Tuan kok di sini ? “

        “Betapa hatiku haru-biru ketika kudapat kabar kau terpapar Covid 19, Rembulan….”

       “Dari mana Tuan tahu tentang diriku ?”

       “Setiap pulang kerja aku selalu menyempatkan diri melongok gedung itu sekadar menumpah rinduku padamu dan tukang ojol yang memberiku kabar tentang kamu…” kataku berterus terang. ” Untuk itu kumohon kamu sudi balik ke rumahku lagi karena aku….”suaraku tersendat. “Aku menginginkan kamu menggantikannya, Rembulan…” ucapku tertelan. 

      Ia tak menjawab. Aku penasaran hingga menepikan mobilku dan berhenti di pinggir jalan.

       “Maukah kau, Rembulan ?” tanyaku lagi sembari menatapnya serius. Ia menunduk dan ketika nengangkat wajahnya ia  mengangguk pelan. Kuraba dengan jemariku wajah cantik itu, ia berderai airmata dan tersedu memelukku. Di luar ada senja semakin menua juga hujan yang membasahi bumi…***

Blitar, 25 Juli 2020

Catatan Redaksi: Herry Santoso, adalah Intelektual dan Cerpenis Indonesia kelahiran Blitar. Hampir dalam separuh Hidupnya, diabdikan pada dunia Kebahasaan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article